Nusron Wahid yang Tahu Kalau Dia Sedang Guyon

Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, menjadi perbincangan publik karena menyebut negara sebagai penguasa tanah dan boleh mengambil tanah rakyat.

Oleh Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion 

Hanya Nusron Wahid yang tahu apakah ia guyon, atau memang bersungguh-sungguh ingin menguasai tanah rakyat yang terlantar atas nama negara.  Yang jelas,  persoalan tanah bagi wargabangsa adalah persoalan klasik yang memposisikan negara sebagai "penipu" ulung. 

Negara acap memakai tanah milik warga tanpa sistem sewa, mengatasnamakan pemakaian itu untuk kepentingan bersama, padahal yang terjadi justru untuk kepentingan sebuah korporasi guna meningkatkan profit bisnisnya.  Di atas tanah warga, muncul korporasi besar yang mengeruk potensi sumber daya alam -- sebut saja mineral -- lalu membayar pajak kepada negara, dan meninggalkan kerugian berupa polusi kepada rakyat yang memiliki tanah.

Dalam prinsip ekonomi,  para pelaku usaha yang tak memiliki tanah,  dibebani dengan membayar sewa jika ingin memakai tanah untuk lokasi usahanya. Mengenai sewa-menyewa ini menjadi domain negara, di mana negara menciptakan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dari si pemilik tanah. 

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid,  membawa suara pemerintah yang mengelola negara. Ia mengatakan, rakyat tidak memiliki tanah, seakan-akan negara sudah ada sebelum rakyat ada.  Lantaran itu, tanah-tanah yang ada dan tidak dikelola oleh rakyat akan diambil alih oleh negara. 

Logika Nusron Wahid yang seorang menteri  sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional,  tentu saja logika yang dipakai negara. Bahwa, bagi negara, hukum tentang pertanahan di Indonesia tidak dimulai dari penguasaan kepemilikan tanah pada zaman dahulu, tetapi dimulai ketika negara mengeluarkan sertifikat dan izin lokasi yang disebut negara sebagai "pemberian hak". 

Akibatnya, Nusron Wahid meyakini, bahwa persoalan tanah di negeri ini merupakan persoalan kepastian hukum. Persoalan tanah, bagi Nusron Wahid,  bukan persoalan keadilan dan hasil guna dalam pengaturan kepemilikan tanah. Lantaran negara lebih mengutamakan kepastian hukum, maka negara memberikan sertifikat dan izin lokasi kepada siapa saja yang memiliki akses ke petugas. Akibatnya, banyak lahan yang memiliki sertifikat dan izinnya dikantongi oleh individu dan korporasi, berubah menjadi tanah terlantar. Namun, ketika rakyat yang ingin berusaha menggarap tanah terlantar itu, rakyat justru diposisi sebagai penyerobot yang dapat ditindak secara hukum.

Padahal, kebijakan pemberian sertifikat dan izin lokasi oleh negara, sering tidak memperdulikan latar belakang dan sejarah tanah yang hendak disertifikasi. Tidak jarang, tanah yang merupakan milik masyarakat adat -- sebagain besar wargabangsa adalah anggota dari masyarakat adat dan negara mengakui eksistensi mereka dalam sila-sila Pancasila -- direbut dan diserahkan kepada para pemohon sertifikat dan izin lokasi. Di dalam proses pemberian izin itu, persoalan legal atau illegal sering bukan menjadi faktor utama yang diperhatikan, karena petugas yang memberikan sertifikat lebih memilih faktor "kau senang aku senang".

Terbiasa dengan faktor "senang sama senang" dalam memberikan sertfikat dan izin lokasi tanah membuat para pejabat negara percaya dan meyakini, bahwa seluruh tanah yang ada di negeri ini milik negara. itu sebabnya, negara sering memasang papan pengumuman yang berbunyi "Tanah Ini Milik Negara", meskipun yang disebut negara itu ternyata BUMN yang menguasai tanah-tanah milik masyarakat adat. 

Masyarakat adat sering tak mengerti bagaimana bisa tanah adatnya dikuasai oleh BUMN di bidang kehutanan seperti Perum Perhutani,  PT Inhutani, PT Palawi Risorsis, PT Pola Inti Rimba,  PT Taman Hutan Asri. Atau, bagaimana bisa perusahaan yang baru saja lahir seperti PT Agrinas Palma Nusantara, bisa menguasai ribuan hekatre lahan yang merupakan tanah adat.  

Nusron Wahid harusnya menjelaskan soal itu kepada wargabangsa. Bukan malah menguatkan bahwa wargabangsa harus tunduk pada keputusan negara. Kalau negara mau ambil tanahmu, maka negara akan melakukannya tanpa persetujuanmu. 

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes