Jangan Buru-Buru Menyalahkan Tambang Illegal

Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal terlalu buru-buru menyalahkan rakyat yang melakukan kegiatan penambangan emas dan menutup kegiatan itu tanpa solusi.

Harus diakui, pemerintah daerah belum punya kajian secara holistik perkara tambang emas rakyat, terbukti karena belum pernah ada regulasi pemerintah terkait usaha tambang rakyat. Selama ini, Bupati Madina hanya sibuk melarang tambang illegal, tapi tak pernah mengeluarkan regulasi tentang tambang rakyat itu. 

Pemerintah daerah hanya berpihak kepada pemilik modal seperti PT Sorikmas Mining. Perusahaan yang wilayah tambang 66.200 hektare ini konon belum memproduksi selama puluhan tahun.  Ini jelas aneh, karena puluhan tahun tak berproduksi, kenapa PT Sorikmas Mining tetap hidup. Bukankah untuk kegiatan tambang membutuhkan anggaran sangat besar, dan mustahil PT Sorikmas Mining mau membuang-buang anggaran selama puluhan tahun kalau tidak ada hasilnya.

Pemerintah daerah harus memahami masyarakatnya. Di berbagai desa di Kabupaten Mandailing Natal, masyarakat merasa bahwa mereka berdiri di atas timbunan emas. Logam mulia itu ada di mana-mana di bawah kaki mereka, dan itu sudah menjadi kepercayaan yang diwariskan turun-temurun. 

Di masa lalu, para orang tua bercerita, orang-orang sering mendapatkan gumpalan emas secara tidak sengaja saat bekerja di sawah, atau saat memancing di sungai. Cerita yang terdengar seperti mitos itu, selama bertahun-tahun pada masa Orde Baru, disimpan masyarakat sebagai kisah penghibur hati. 

Pasca Orde Baru, setelah Kabupaten Mandailing Natal menjadi daerah otonomi baru pada 1999 -- lepas dari Kabupaten Tapanuli Selatan -- sumber daya alam di Madina mulai dikeruk. 

Sejumlah perusahaan tambang mendapatkan izin usaha tambang (IUP) yang waktu itu regulasinya masih memberikan kekuasaan kepada Bupati Mandailing Natal.  Bupati Mandailing Natal mengeluarkan banyak izin untuk perusahaan penambanmgan. Ada perusahaan pemegang IUP untuk mineral bauksit, tembaga, dan mineral-mineral lain.  Tak ada satu pun investor yang khusus menambang mineral emas.  

WIUP (wilayah izin usaha penambangan) yang dikantongi perusahaan pemegang IUP merupakan lahan milik masyarakat, baik milik pribadi maupun milik masyarakat adat. Pemerintah menetapkan wilayah izin penambangan di atas lahan milik rakyat. 

Kita ambil cpontoh masyarakat di Tapus, Kecamatan Lingga Batu, salah satu masyarakat di perkampungan lama (tua) di daerah tersebut, memiliki tanah adat yang sangat luas. 

Tanah warisan dari leluhur warga, secara tiba-tiba diberikan pemerintah daerah sebanyak 1.400 hekatre untuk PT Madinah Madani Mining (M3). Masyarakat yang tak tahu menahu, tiba-tiba didatangi pemerintah bersama pihak PT M3 untuk clear and clrear  lahan. Semua warga yang memiliki kebun di lahan yang merupakan tanah adat, diminta meninggalkan lahannya. 

Untuk hak yang diwariskan secara turun-temurun dan merupakan sumber mata pencaharian masyarakat, pemerintah daerah bersama perusahaan memberikan pembayaran alakadar yang dalam istilah masyarakat disebut pago-pago. Dalam manajemen perusahan, uang pago-pago ala kadar itu ditafsirkan sebagai uang pembelian lahan. Bagi masyarakat, pago-pago adalah uang penanda bahwa perusahaan mempergunakan lahan mereka.

Masyarakat tak menolak, karena pemerintah daerah ada di belakang untuk mendukung masyarakat. Dengan alasan kehadiran perusahaan akan membuka lowongan pekerjaan, masyarakat pun  manut.

Masyarakat selalu manut kepada pemerintah, karena meyakini bahwa pemerintah akan berpihak pada kepentingan masyarakat. 

Namun, dalam proses belakangan, ternyata PT M3 bukan menambang bauksit  melainkan menambang mineral emas. Masyarakat yang bekerja di penambangan mengatakan, mineral yang diambil PT M3 dari tanah masyarakat adalah emas. Masyarakat pun bergejolak dan meminta pembagian secara transparan, tetapi perusahaan merasa rakyat tak lagi punya hak karena lahan mereka sudah dibeli. 

Merasa ditipu perusahaan dan pemerintah daerah, masyarakat bergolak dan meminta agar perusahaan itu diusir dari daerah mereka. Akhirnya jadi kenyataan, perusahaan yang melakukan penambangan emas secara illegal itu, diusir dari Kabupaten Madina. Namun, dampak dari ulah PT M3, demam emas yang selama puluhan tahun diredam masyarakat Madina, akhirnya bangkit. 

Merasa emas yang ada di bawah kakinya diambil orang lain dan dibantu pemerintah, masyarakat mulai melakukan penambangan di tanah milik sendiri. Namun, lantaran untuk kegiatan penambangan dibutuhkan modal besar dan peralatan yang berteknologi tinggi, masyarakat mencari investor sendiri. Lahan-lahan mereka ditawarkan kepada investor dengan perjanjian tertentu. 

Sejak itu, satu per satu pemodal datang ke Madina untuk menambang emas dari tanah milik masyarakat. Ada yang sukses, tidak sedikit yang gagal. Namun, usaha tambang ini ternyata berkembang pesat dan mampu mengangkat kesejahteraan rakyat. 

Sayangnya, pemerintah daerah menilai usaha rakyat ini sebagai kesalahan fatal, mengkategorikan kegiatan penambangan sebagai illegal. 

Sebab itu, pemerintah daerah di Kabupaten Madina perlu memikirkan ulang untuk melegalisasi pertambangan rakyat, dan bukan memvonis pekerjaan mereka sebagai tindak illegal. Regulasi di negeri ini mengatur keberadaan tambang rakyat atau penetapan wilayah tambang rakyat dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi. 

Jika pemerintah daerah memang ingin rakyatnya sejahtera dari pekerjaan tambang emas, sebaliknya kegiatan ini dilegalisasi. Tentu, pemerintah daerah membutuhkan banyak persyaratan untuk melegalisasinya, termasuk mengeluarkan peraturan-peraturan daerah terkait kontribusi tambang emas rakyat terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.   

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes