Semakin dekat hari pemilihan dalam pilkada serentak di Kota Padangsidimpuan, semakin terasa bahwa apa yang sedang berlangsung bukan sebuah proses demokrasi yang berkualitas.
Masyarakat calon pemilih, orang-orang yang kelak dipimpin oleh salah satu dari tiga pasangan calon Wali Kota Padangsidimpuan dan Wakil Wali Kota Padangsidimpuan, ternyata tidak terlalu perduli kepada siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Masyarakat lebih perduli kepada uang yang dapat mereka peroleh dari siapa pun yang ingin jadi Wali Kota Padang Sidimpuan periode 2024-2029.
Pilkada sudah berubah sebagai pasar demokrasi. Masyarakat menjual suara, dan para calon kepala daerah adalah konsumennya. Negosiasi terjadi layaknya di pasar tradisional. Tawar-menawar harga. Masyarakat menentukan harga sesuai perkembangan pasar, calon kepala daerah harus membayarnya. Jika menawar di bawah harga, resikonya kehilangan pemilih.
Realitas ini tidak mengherankan. Ini bisa terjadi karena masyarakat kita memang dipersiapkan dan mempersiapkan diri sebagai konsumen. Hidup dan kehidupan mereka sebagai warga bangsa, selama ini dikondisikan untuk selalu menjadi pembeli. Mereka, karena jumlah warga sangat banyak, dirancang untuk selalu menjadi pembeli.
Masyarakat kita adalah masyarakat konsumen. Jika menginginkan sesuatu, mereka harus mengeluarkan uang. Tidak ada uang, tak ada barang. Dan, tentu, mereka terbiasa dengan hal seperti itu, dan terbawa-bawa ke dalam kehidupan sehari-hari.
Budaya adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang. Menjadi pembeli setiap hari dilakukan oleh masyarakat kita. Budaya menjadi pembeli adalah budaya yang paling sering dilakukan masyarakat kita. Dalam kondisi apapun, sekalipun tidak punya uang, masyarakat kita akan menjadi pembeli. Kekurangan uang akan ditutupi dengan budaya baru, meminta atau meminjam.
Masyarakat yang memiliki budaya belanja tidak perduli pada kemampuannya memproduksi. Bagi mereka, memproduksi itu bukan perkara penting. Yang paling penting adalah memiliki barang.
Masyarakat di Kota Padangsidimpuan pun seperti itu. Jangan heran jika urusan-urusan memproduksi barang maupun jasa nyaris tidak pernah kita temukan di kota ini. Kalau pun ada, bisa dipastikan akan ada penirunya dalam waktu dekat. Akibatnya, seperti yang kita lihat selama ini, setiap kali ada unit usaha baru yang muncul, dalam hitungan hari akan muncul para pengekornya.
Malangnya, para pengekor benar-benar mencontoh semua hal yang diikutinya. Tidak ada inovasi baik pada aspek produksi, manajemen, dan, bahkan, marketing. Semua sama. Tidak heran jika di Kota Padangsidimpuan muncul coffee shoop di mana-mana, dan setiap kafe shop tidak berbeda antara satu dengan lainnya. Pengunjungnya pun orang yang sama, berpindah dari satu coffee shoop ke tempat lainnya.
Meniru dan tidak original serta tak punya kreativitas untuk berinovasi menjadi hal yang identik dengan masyarakat Kota Padangsidimpuan dalam segala dinamika kehidupannya. Para aparat pemerintah, misalnya, ketika menyusun peraturan daerah (Perda), ternyata melakukan copy paste terhadap peraturan daerah yang dibuat daerah lain.
Ini ciri khas masyarakat konsumen. Itu sebabnya, saat pilkada digelar, mereka akan lebih tertarik memperdagangkan suaranya. Sebab, kehidupan mereka sudah terbiasa dengan segala sesuatu harus berbayar, maka mereka akan meminta bayaran atas suara yang akan diberikan.
Malangnya, para calon kepala daerah menganggap hal itu sebagai tren demokrasi. Mereka menyediakan anggaran khusus untuk membayar suara masyarakat. Maka, bisa dibayangkan, akan seperti apa hasil pilkada serentah tahun 2024 ini.
Posting Komentar