Para Kandidat Wali Kota Padangsidimpuan Andalkan Bantuan Sosial

Saat debat publik kedua kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padangsidimpuan digelar beberapa waktu lalu, tiga calon kepala daerah membahas perihal program pemerintah pusat di daerah terkait bantuan sosial seperti PKH (Program Keluarga Harahapan).  

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion

Calon-calon pemimpin masyarakat di Kota Padangsidimpuan ini tampaknya sepakat bahwa hal-hal yang berkaitan dengan bantuan sosial masih sangat penting, sehingga perlu dilakukan pendataan ulang untuk memperbaiki data calon penerima PKH, karena realitas selama ini menunjukkan orang yang sudah meninggal pun masih dapat bantuan.  

PKH itu program yang dilaksanakan Kementerian Sosial. Kedudukan daerah dalam program ini hanya sebagai mitra pemerintah pusat, yakni sebagai pihak yang akan diberitahu pemerintah pusat tentang siapa dari warganya yang akan menerima bantuan sosial. 

Tentu saja mereka yang akan masuk dalam data PKH adalah orang-orang yang keluarganya tak punya harapan sehingga harus diberi bantuan sosial agar punya harahapan dalam kehidupannya. Mereka yang didata dalam PKH adalah keluarga yang secara ekonomi tidak sejahtera. 

Dengan begitu, program PKH merupakan sebuah fakta tentang betapa masih banyak warga di sebuah kabupaten/kota yang hidupnya tidak sejahtera, sehingga perekonomian mereka harus dibantu pemerintah pusat. Malangnya, tiga calon pemimpin di Kota Padangsidimpuan masih mengandalkan PKH itu untuk membantu masyarakatnya.

Pada tahun 1966, sekitar enam ribu penerima bantuan sosial berunjuk rasa di seluruh Amerika Serikat.  Bersama anak-anak, para perempuan berbaris di gedung DPR negara bagian, menduduki kantor-kantor bantuan sosial setempat. Mereka menuntut manfaat yang lebih baik dari program pemerintah, dan mereka menyebut bantuan sosial untuk keluarga sebagai "penghinaan". 

Bagi mereka, sistem bantuan sosial, merupakan upaya pemerintah menghukum rakyatnya. Sebab, bantuan sosial yang terus-menerus diberikan dengan aturan-aturan yang bertunjuan menghasilkan statistik orang miskin, juga pengawasan yang invasif, menimbulkan rasa malu yang terus-menerus bagi rakyat. Sebab itu,  mereka menuntut pendapatan tahunan yang terjamin, karena semua rakyat itu berjuang dalam kehidupan.

Rakyat Amerika Serikat  meminta pemerintah menghargai bagaimana rakyatnya berjuang dalam hidup agar bisa sejahtera. Penghargaan dari pemerintah berupa kebijakan yang menciptakan fondasi ekonomi berbasis perawatan, di mana pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkualitas akan membuka peluang bagi rakyat untuk sejahtera dalam kehidupannya.

Masyarakat kita di Indonesia, apalagi di Kota Padangsidimpuan, tentu saja berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat.  Kita sebagai warga bangsa yang meyakini filsafat hidup Pancasila, tidak punya rasa malu jika mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Bila memungkinkan, mereka berharap dibantu terus-menerus dalam segala dinamika kehidupan, dan tidak jadi soal jikia bantuan itu membuat hidup mereka menjadi seperti benalu yang tumbuh di pohon.

Pada dekade 1980-an, di beberapa lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok, pada masa Gubernur Raja Inal Siregar menggelorakan gerakan Marsipature Huta Na Be (Martabe), para perantau yang sukses di perantauan berlomba-lomba memberikan bantuan sosial kepada keluarga-keluarga tidak mampu yang ada di kampung halamannya.  Kaum-kaum lemah di sejumlah desa di Kecamatan Sipirok, anak yatim dan para janda, tiba-tiba didata dan mendapat kiriman uang dari elite-elite nasional yang berasal dari desa mereka.

Sebut saja elite seperti Arifin M. Siregar, direktur Bank Indonesia sekaligus Menteri Ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang berasal dari Desa Simaninggir, Kecamatan Sipirok. Rutin setiap bulan, tokoh putra daerah yang sukses di perantauan ini mengirimkan bantuan sosial berupa uang untuk anak-anak berprestasi. Begitu juga halnya dengan Ali Mochtar Hoeta Soehoet, rektor Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, rutin tiap bulan mengirimkan uang bagi anak-anak yatim dan para janda di Kelurahan Hutasuhut.

Bantuan sosial dari para elite yang merupakan putra daerah itu, ternyata justru menjadi bumerang. Pasalnya, mereka yang mendapat bantuan keuangan tiap bulan, memilih tidak mau bekerja karena sudah ada uang bulanan yang diterima. Bantuan sosial itu menciptakan masyarakat yang malas berusaha. Masyarakat yang merasa tidak perlu bekerja karena kebutuhan hidupnya telah terpenuhi.

Masyarakat seperti itu juga muncul ketika pemerintah pusat memberikan bantuan sosial dalam bentuk PKH.  Bantuan yang rutin diterima masyarakat itu mernjadi pendapatan pasti bulanan bagi masyarakat, yang justru membuat mereka tidak perlu bekerja untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. 

Bukan hal yang aneh melihat masyarakat penerima bantuan dari pemerintah, baik berupa uang maupun barang seperti kebutuhan hidup sehari-hari, justru memilih menghabiskan apa yang diterimanya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktif. Tidak jarang, bantuan beras justru dijual agar bisa hidup berfoya-foya. 

Itu sebabnya, sangat disayangkan bila tiga calon pemimpin di Kota Padangsidimpuan ini masih mengandalkan bantuan sosial sebagai program kerja jika terpilih menjadi Wali Kota Padangsidimpuan. 

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes