Pilkada Serentak di Kabupaten Tapsel Hanya Mengurusi Siapa yang Paling Dekat dengan Jakarta

Pilkada serentak di Kabupaten Tapanuli Selatan hanya berkutat pada persoalan siapa di antara dua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang paling dekat dan punya akses dengan pemerintah pusat di Jakarta.  Ini bukti bahwa para calon pemimpin tak punya cukup gagasan untuk mendorong Kabupaten Tapanuli Selatan lebih mandiri.

Penulis: Budi P Hutasuhut

Gus Irawan Pasaribu, bekas anggota DPR RI yang menjadi calon Bupati Tapanuli Selatan periode 2024-2029, menghubungi salah seorang koleganya saat menjadi anggota legislatif. Lewat telepon genggam, Gus meminta kolega yang masih anggota DPR RI itu agar mengalokasikan anggaran untuk perbaikan Batu Jomba di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. 

Sejak awal Gus menghubungi koleganya, mereka berbicara, dan akhirnya si kolegha menyepakati, semua disiarkan lewat jejaring media sosial. Itu adegan kampanye politik, sebuah upaya sangat serius dari Gus untuk meyakinkan rakyat Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa dirinya sangat dekat dengan orang-orang Jakarta. Ia membangun citra sebagai calon kepala daerah yang layak dipilih masyarakat, karena ia bisa mengambil dana-dana pusat untuk Kabupaten Tapanuli Selatan.

Menariknya, Gus berpikir kalau apa yang ia lakukan itu sesuatu yang luar biasa. Sebab, ia berkeyakinan, dinamika pembangunan daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan tidak menggeliat selama ini karena tidak banyak anggaran dari pusat yang sampai ke daerah. Kondisi ini terjadi, karena Gus berkeyakinan bahwa para pejabat pemerintah di Kabupaten Tapanuli Selatan tidak mampu "menerobos" sekat-sekat yang ada di Jakarta, sehingga tidak kebagian dana.

Citra sebagai "orang yang paling dekat dengan Jakarta" ini dilekatkan kepada Gus Irawan Pasaribu. Jaringan media sosial yang dipakai untuk kampanye, memblow up citra sebagai "orang yang akan didengarkan pusat". Dikisahkan tentang Gus sebagai anggota legislatif di DPR RI sudah biasa membawa anggaran dari pusat ke daerah, dan memberikannya ke masyarakat yang menjadi konstituennya di daerah pemilihan (Dapil) 2 Sumatra Utara. 

Di sisi lain, Dolly Pasaribu, calon Bupati Tapanuli Selatan yang berangkat dari independen, tak mau kalah.  Petahana yang te;lah jadi Bupati Tapanuli Selatan periode 2019-2024, membeberkan prestasi-prestasi skala nasional selama lima tahun menjadi kepala daerah. Prestasi berupa penghargaan yang diberikan kementerian/lembaga itu, digadang-gadang sebagai bukti bahwa Dolly Pasaribu dikenal di pusat karena prestasinya luar biasa. 

Salah satu prestasi itu berkaitan dengan mempertahankan status WTP (wajar tanpa pengecualian) laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dalam APBD selama lima tahun berkuasa. Prestasi terkait WTP ini punya implikasi positif terhadap insentif-insentif APBN, sehingga anggaran dari pusat banyak yang mengucur ke Kabupaten Tapanuli Selatan. 

Kita tak paham cara berpikir para kandidat kepala daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan. Keduanya mengamini bahwa daerah harus tergantung kepada kemurahan hati Jakarta. Dan ini bukan cerita baru kalau disebut tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi. Bahkan, pemerintah daerah sudah sampai pada tahap merelakan dirinya diperlakukan sebagai apa saja oleh pemerintah pusat asalkan mendapat anggaran yang bersumber dari APBN. 

Kita pun melihat realitas ketika para Kepala Daerah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurusi hal-hal yang punya nilai insentif, dan mengabaikan sumber daya alam yang sebetulnya mampu mengkerek nilai pendapatan asli daerah melebihi total insentif yang diperoleh dari pemerintah pusat.

Ini kegagalan dari konsep otonomi daerah, di mana pemerintah daerah, setelah reformasi pada 1998,  bukan saja belum punya gagasan yang otentik dan orisinal untuk menjadi daerah otonom, tetapi buta sama sekali dalam memahamkan perkara yang penting ini. 

Fenomena ini bisa dibuktikan dari rendahnya produktivitas produk-produk hukum di daerah, yang mengakibatkan banyak sumber daya yang tidak dikelola secara kreatif dan inovatif untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan fakta yang mencengangkan ini sedang berlangsung di Kabupaten Tapanuli Selatan.  

Jakarta sebagai pusat, yang kini dipimpin Presiden Prabowo Subianto,  punya gagasan luar biasa untuk membangun kebersamaan dengan membentuk koalisi besar agar harmoni dalam berbangsa dan bernegara bisa terjaga. Semua pihak dilibatkan dan terlibat dalam pemerintahan. Tidak ada oposisi, semua punya posisi. 

Tentu, ini bukan gagasan baru karena karakter warga bangsa Indonesia sudah terbiasa untuk selalu berada dalam gerbong yang sedang bergerak, dan tidak ada seorang pun di negara kita ini yang bersedia ketinggalan kereta.    

Dampak dari watak kultural seperti ini, bangsa kita jarang melahirkan pemikiran dan gagasan yang kritis. Segala yang kita andalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya meminjam gagasan dan pemikiran yang diciptakan oleh orang di negara lain. Kita terbiasa menerima hal-hal baru dengan permisif,  mengadobsinya tanpa sikap kritis karena menganggap produk orang dari negara lain telah sangat bagus, dan kita menolak mengakui telah melakukan kekeliruan apabila timbul permasalahan krusial di belakang hari.

Kita tak punya gagasan, tak ada kebijakan, dan tanpa kedua hal itu, kita mengalami stagnasi. Begitulah realitas yang terjadi, termasuk di lingkungan pemerintah daerah. Sebab, pemerintah daerah masih terpesona dengan politik kekuasaan negara Orde Baru yang hagemonik. 

Di masa lalu, hagemonik kekuasaan negara yang ditopang kekuatan politik dari partai tunggal dengan pengawalan ketat dari militer, menciptakan rasa takut kepada siapa saja yang tidak mau membungkuk pada kehendak pusat. Mereka yang punya watak kultur membungkuk, merasa senang karena diayomi oleh penguasa.

Masyarakat kita tidak bisa membedakan antara diayomi dengan dikendalikan. Mereka merasa dirinya luar biasa karena dekat dengan elite di pusat pemerintahan. 

Menjadi pemimpin di Kabupaten Tapanuli Selatan tak cukup hanya mengandalkan kedekatan dan kemudahan akses dengan pemerintah pusat. Calon pemimpin di kabupaten yang kaya sumber daya alam ini harus orang yang punya kreativitas dan integritas, bukan orang yang selalu ingin tergantung pada kemurahan hati para pejabat negara di Jakarta. 

Sayangnya, dua calon Kepala Daerah dalam Pilkada serentak di Kabupaten  Tapanuli Selatan, sama-sama mengklaim paling dekat dengan pemerintah pusat, terutama dengan jajaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait kondisi tanjakan batu jomba yang semakin parah. 

Batu Jomba merupakan seruas jalan sepanjang 1 km di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang setiap tahun selalu rusak akibat kondisi alam. Jalan itu senantiasa longsor karena berada tepat di atas kondisi tanah yang labil, sehingga solusinya hanya ada satu: pindahkan jalan itu ke lokasi dengan konsi tanah lebih stabil. 

Persoalan muncul akibat Kepala Daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan, sejak ibu kotanya dipindahkan dari Kota Padang Sidimpuan ke Kota Sipirok pada 2007 lalu, selalu merasa bahwa jalur Batiu Jomba yang melintasi kawasan Aek latong itu bukan wewenang pemerintah daerah. Ruas jalan itu merupakan bagian dari Jalan Lintas Tengah Sumatra, dan karena itu menjadi wewenang pusat. 

Kepala daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan, sejak lama, takut kepada pusat.  

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes