Tukang Politik di Arena Pilkada

Setiap kali menjelang pemilihan kepala daerah seperti saat ini, saya ingat Rasyid Khalifa. Ia seorang pendongeng yang mashur, tokoh rekaan Salman Rushdie dalam novel Harun dan Samudra Dongeng.  Keandalannya dalam mendongeng mengundang decak kagum siapa saja, karena ia mampu menghadirkan realitas dongengan menjadi seakan-akan nyata dalam kehidupan para pendengarnya.

Oleh: Budi Hatees | Direktur Research and Programs Sahata Institute 

Nama Rasyid santer ke mana-mana, hingga membuat seorang pemimpin partai politik merasa harus memanfaatkan kemampuan tersebut.  Pemimpin partai politik itu mendatangi Rasyid dan memintainya meramaikan kampanye mereka dengan menyampaikan dongengan. 

Si pemimpin partai mengatakan, ia tidak bisa menerima ulah para musuhnya yang menyebarluaskan berita-berita buruk tentang dirinya, karena rakyat menerima informasi itu seperti mereka meminum susu. 

“Untuk alasan ini, aku mengharapkan Anda, Tuan Rasyid, akan menceritakan kisah-kisah bahagia, kisah pujian, dan orang-orang akan mempercayaimu, merasa bahagia, serta kemudian memilihku," kata si pemimpin partai politik.

Rasyid seorang yang jujur,  menolak menceritakan kisah-kisah kebohongan yang penuh bumbu. Ia menolak permintaan si pemimpin partai politik dengan alasan tidak sesuai dengan hati nuraninya. 

Di dunia nyata, dunia kita di Indonesia,  baik dalam situasi normal maupun dalam kondisi hiruk-pikuk karena pertarungan Pilkada seperti saat ini, kita kesulitan menemukan figur seperti Rasyid.  Tapi kita tidak perlu susah-payah menemukan manusia yang ingin menjadi orang yang didekati oleh para calon pemimpin.

Mereka punya hasrat yang menggebu-gebu untuk selalu dekat dengan para pemimpin partai politik, apalagi bila pemimpin partai politik itu ingin menjadi penguasa. Tanpa diminta, mereka akan menyodorkan diri.  Berbagai cara akan dilakukan, termasuk menyaru dan bertingkah-laku seolah-olah memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mewujudkan keinginan seseorang yang ingin menjadi penguasa.

Padahal mereka hanya orang-orang yang ingin seperti Rasyid, tapi  dengan kemampuan luar biasa untuk menipu. Jumlah mereka melimpah di sekitar kita, nyaris sama jumlahnya dengan orang-orang yang gemar merapat membentuk barisan di belakang si calon pemimpin untuk menjadi pemandu sorak. 

Bermodalkan suara, sedikit nekad seolah-olah pasukan berani mati, mereka akan melakukan apa saja agar keberadaannya ditandai dan dicatat oleh si calon penguasa.

Setiap kali menjelang Pilkada, bahkan, dua tahu atau setahun  sebelum Pilkada digelar,  para Rasyid yang penipu ini akan bermunculan. Mereka mengaku andal mendongeng (membangun citra),  lalu meyakinkan siapa saja yang ingin jadi penguasa politik bahwa jasa mereka bisa dipergunakan. Untuk lebih meyakinkan, mereka membentangkan biografi  hasil kerjanya yang sukses membuat orang lain menjadi penguasa sekalipun hasil kerja itu tidak bisa diuji secara metodelogis.

Tapi siapa yang perduli soal uji-menguji, karena kehendak untuk menjadi penguasa membuat siapa saja lupa bernalar rasional. Sebaliknya, jika seorang Rasyid yang palsu mampu menawarkan gagasan yang nir-nalar, para calon penguasa akan merasa hal itu sebagai sebuah kebetulan yang tidak boleh disiasiakan. Hanya para penipu yang bisa menjalankan skenario untuk menjadi penguasa yang menolak nalar-rasional.

Begitulah realitas para politisi hari ini. Mereka menemukan habitusnya dalam Pilkada sebagai salah satu realitas politik hari ini. Untuk menjadi penguasa, mereka tidak perlu paham ideal politik. Cukup mempelajari apa yang diwariskan Niccolo Machiavelli, Il Principe. Buku yang masyur itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Sang Penguasa, berisi petunjuk dan cara mempertahankan dan merebut kekuasaan, sekalipun cara-cara yang dipilih harus berbohong, menipu, dan menindas.

Cara-cara licik seperti itu tidak seiman dengan kita di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Bagi kita, seorang penguasa (pemimpin) haruslah orang yang punya nilai-nilai moral dan etika, karena seorang pemimpin adalah contoh,  anutan bagi orang banyak.  Sayangnya, moral dan etika seperti apakah yang dimaksud, sama-sekali tidak pernah ada yang mampu menerangjelaskannya.

Segala sesuatu, pokonya, dikaitkan dengan tradisi. Bahwa seorang pemimpin yang punya moral dan etika itu merupakan sebuah keniscayaan dalam tradisi. Tidak ada tawar-menawar soal itu, dan tidak perlu lagi diterangjelaskan karena semua orang sudah memahamkannya. Bukan persoalan bila tingkat pemahaman masyarakat soal moral dan etika itu sangat dangkal, hanya pada tataran permukaan. Subtansinya diabaikan, karena yang terpenting adalah penampilan di panggung depan.

Rasyid yang penipu, paham betul soal ini. Tipu-menipu memberinya pengalaman luar biasa untuk selalu menjadi aktor di belakang layar. Ia mengangkat citra seseorang calom penguasa, memoles segala yang buruk pada orang itu, dan melekatkan citra yang bisa diterima orang banyak. 

Penampilan diri para calon pemimpin di ranah publik tak ditentukan oleh diri itu sendiri an sich,  tetapi oleh kekuatan di luar diri.

Kekuatan di luar diri inilah yang dimainkan orang dengan membangun konsep diri calon penguasa.  Konsep diri yang sering tidak punya kesesuaian dengan diri si calon penguasa, tetapi sama seperti lukisan atau ekspektasi rakyat tentang sosok penguasa yang mereka kehendaki. Jika dominan masyarakat menginginkan sosok penguasa yang alim dan bermoral agar tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme saat berkuasa, citra itulah yang ditanamkan dan dikuatkan.

Citra yang ditumbuhkan sebagai imajinasi politik pada diri pemilih. Yasraf Amir Piliang dalam tulisannya, “Aura Demokrasi” terbit di Kompas edisi 27 Juni 2014,  memahamkan imajinasi politik sebagai bayangan, gambaran, lukisan, ilustrasi, atau potret ideal seorang pemimpin dalam pikiran seseorang, yaitu seorang pemimpin sebagai ego-ideal.

Imajinasi politik tidak memerlukan nalar-rasional, juga tidak perlu ada kesesuaian dengan realitas. Seorang calon penguasa petahana yang korup, yang karena kekuasaannya mampu memanipulasi hukum selama ini, bisa saja muncul sebagai Dewa di mata rakyat.  

Si calon penguasa yang korup dikemas seperti barang (dalam penampilan fisik) sebagai orang alim, ustad, atau, malah sebagai Wali ke-10.  Semua hal dikonsep, dari yang kasat mata sampai yang tak tampak. Cara bicara di depan publik, cara bersikap, dan perilaku altruisme di kedepankan. 

Seorang calon penguasa tiba-tiba punya keperdulian memberi makan anak yatim, menyantuni orang tua jompo, dan membagi-bagikan sembako kepada pakir-miskin. Media sosial bisa dipakai untuk meruntuhkan pemahaman nalar-rasional dengan menumbuhkan imajinasi, sehingga pemahaman orang tentang calon pemimpin menjadi tidak utuh.  

Irasional masyarakat membuat mereka menempatkan calon penguasa yang korup sebagai figur idola yang harus dimenangkan, sementara lawan politik sebagai musuh yang harus dihancurkan.

Masyarakat tidak punya kecakapan bernalar untuk mengetahui kebenaran tentang seorang calon pemimpin, apalagi jika nalar-rasional itu digerogoti.  Mereka akan menilai segala sesuatu dari perspektif tradisional. Apa yang tampak, itulah yang senyatanya bagi masyarakat. Meskipun mereka sadar, setiap calon pemimpin ditandai dengan kegemarannya menyampaikan janji politik, dan seorang pemimpin terpilih ditandai dengan kegemarannya mendustai janji politik.

Tingkat kesadaran masyarakat tidak permanen, karena tingkat pengetahuannya tidak berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Kesadaran masyarakat atas sesuatu hanya didasarkan pada selera umum, pada apa yang menjadi pendapat publik. 

Kalau calon penguasa A mendapat sanjungan yang dominan dari masyarakat umum, maka calon penguasa A punya peluang besar untuk memenangi pertarungan politik. Siapa pun tidak akan mempersoalkan bila calon penguasa A ternyata pernah menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Malah, orang akan rela menjadi pembelanya sambil membayangkan konsep malaikat melekat pada diri si calon penguasa A tersebut. 

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes