Sorbatua Siallagan Menolak Semua Tuduhan atas Dirinya

Komunitas Masyarakat Adat (MA) Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan, membacakan pledoi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu, 7 Agustus 2024. 

Di dalam pledoi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Simalungun, Sorbatua Siallagan, menegaskan dirinya bukan penjahat. Ketua Komunitas Masyarakat Adat (MA) Umbak Siallagan ini, mengatakan semua yang dituduhkan dan didakwakan atas dirinya tidak pernah ia lakukan.

Oleh Hady Kurniawan Harahap |  Editor: Budi P Hutasuhut

Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negri Simalungun dalam persidangan yang digelar Rabu, 7 AGustus 2024,  Sorbatua Siallagan duduk di kursi biru, menghadap Hakim Ketua. Mengenakan kemeja warna putih dengan list biru, laki-laki 65 tahun yang didakwa melakukan pembakaran lahan dan menduduki kawasan Hutan Negara serta izin konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL), itu menundukkan kepala. 

Selama ini Sorbatua Siallagan menjadi bagian dari perjuangan Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan untuk menuntut tanah adatnya,  yang tumpang tindih dengan izin konsesi PT. TPL. Namun, karena aktivitasnya yang berladang, ia di laporkan oleh PT. TPL dan diculik paksa oleh Polda Sumatera Utara bulan Maret 2024 lalu. 

Ia mengeluarkan secarik kertas yang sudah ditulis tangan, lalu ia membacakan pembelaan pribadinya. “Di usia yang sudah 65 tahun ini, saya dituduh membakar hutan dan menguasai hutan negara tanpa izin. Saya tegaskan, sejarah dan faktanya kami Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah lebih dulu ada di Dolok Parmonangan," katanya dengan suara yang bergetar.

Ia melanjutkan: "Saya tidak pernah melakukan kejahatan dan saya bukanlah pelaku kriminal. Kalaulah karena kejadian yang dituduhkan yang meskipun tak pernah saya lakukan ini menjadikan saya seorang terdakwa, kini saya serahkan kepada putusan Yang Mulia Majelis Hakim. Dan di atas segala itu, saya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan para leluhur."

Ia mennjelaskan, dirinya dan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Siallagan akan selalu memperjuangkan tanah adat mereka karena itu wasiat leluhur  untuk diteruskan ke generasi selanjutnya. "Saya hidup dan mati di atas tanah adat kami. Apapun yang terjadi, tak akan menyurutkan perjuangan saya dan komunitas kami untuk selalu memperjuangkan dan mempertahankan tanah adat kami dari perampasan dan klaim pihak lain. Karena itu adalah “tona” dari leluhur kami”. 

Di akhir sesi pembacaannya, Sorbatua Siallagan mengutip pepatah Batak yang mengartikan tentang perlakukan yang adil bagi seluruh manusia, yang berbunyi “Parhatian so tarajun, hu atas so ra mukkit, hu toru so ra monggal, ikkon si tikkos ni ari, si jujur ni ninggor”. 

Berliana Manik, istri dari Sorbatua Siallagan yang duduk di belakangnya, seketika menitikkan air mata. Setiap kali persidangan digelar, Berliana berangkat Subuh bersama komunitas adat yang lain dari kampungnya di Dolok Parmonangan,  yang berjarak 20 km ke Pengadilan Negeri Simalungun. Dia selalu setia menyemangati sang suami dalam setiap kali bersidang. 

Begitu juga solidaritas dari komunitas Masyarakat Adat dan Mahasiswa yang setiap kali sidang, mereka menyampaikan aspirasi di hadapan pengadilan. Berbagai aksi teatrikal dan lagu-lagu penyemangat dilantunkan untuk menyuarakan aspirasi terhadap kasus kriminalisasi yang di hadapi Sorbatua Siallagan dan komunitas adat keturunan Ompu Umbak Siallagan. 

Hendra Sinurat, Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyampaikan dalam Nota Pembelaan mereka terhadap Sorbatua Siallagan, bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima karena UU yang digunakan tidak memiliki kekuatan mengikat sehingga bertentangan dengan asas legalitas serta dalam fakta persidangan tidak ditemukan bukti yang jelas dan menyakinkan. 

"Dari fakta-fakta persidangan tidak ditemukan bukti bahwa Sorbatua melakukan pembakaran hutan seperti yang didakwakan pada dakwaan pertama. Tidak ada bukti juga kalau Sorbatua menduduki kawasan hutan sebagaimana dalam dakwaan kedua," ucapnya. 

Dalam Nota Pembelaan (Pleidoi) yang dibacakan di persidangan, mereka juga menduga proses hukum yang dilakukan terkesan dipaksakan dan pelanggaran hak asasi manusia. 

"Patut diduga proses hukum ini dipaksakan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kami menganggap proses upaya hukum ini terdapat upaya membungkam terdakwa selaku pemangku masyarakat adat," kata Hendra .

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes