Polres Simalungun Tak Hadiri Sidang Praperadilan Kasus Penculikan Masyarakat Adat Sihaporas

Polres Simalungun tidak menghadiri sidang praperadilan terkait penculikan lima orang masyarakat adat Sihaporas oleh oknum Polres Simalungun pada 22 Juli 2024 pukul 03.00 WIB silam. Sidang yang seharusnya digelar di Pengadilan Negeri Simalungun pada Senin, 5 Agustus 2024 itu akhirnya ditunda. 

Penulis: Hady K Harahap | Editor: Anwar Dhani Giawa

Sidang yang dipimpin Anggreana E. Roria Sormin, S.H., M.H., dijadwalkan ulang pada 12 Agustus 2024. "Pihak termohon sudah kami surati tetapi tidak menghadiri persidangan," ujar Anggreana.

Kuasa hukum masyarakat adat Sihaporas dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), Boy Raja Marpaung, menjelaskan bahwa praperadilan ini bertujuan menguji proses penyidikan, penyelidikan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan oleh Polres Simalungun. 

"Belum masuk ke pokok perkara yang ditersangkakan kepada empat orang saudara kita yang ditahan," kata Marpaung. 

Ia menambahkan,  mereka telah berjuang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, namun Polres Simalungun tidak hadir untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka yang telah melakukan penyiksaan dan penculikan terhadap masyarakat adat yang tengah tertidur.

Di luar persidangan, ratusan massa yang terdiri dari organisasi mahasiswa dan masyarakat adat menggelar aksi dengan membentangkan spanduk dan berorasi di depan Pengadilan Negeri Simalungun. Spanduk bertuliskan "Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat kecam penculikan terhadap Masyarakat Adat, Copot Kapolres Simalungun, Tutup TPL."

Doni Munte menyatakan, tujuan aksi ini adalah sebagai bentuk protes mahasiswa dan masyarakat adat terhadap tindakan penculikan oleh oknum Polres Simalungun. "Aparat berperilaku keparat," ujarnya. 

Dia menjelaskan, peristiwa penculikan pada 22 Juli 2024 pukul 03.00 WIB menjadi buntut dari aksi proses itu lima orang masyarakat adat Sihaporas diculik oleh oknum Polres Simalungun. Saat kejadian, termasuk seorang ibu dan anak-anak berusia 10 tahun menjadi korban kekerasan dan dibentak. 

"Seorang ibu juga diborgol dan dibentak, bahkan anak berumur 10 tahun pun dipiting para keparat itu," ungkap Doni Munte.

Cavin Fernando Tampubolon, perwakilan mahasiswa, menambahkan bahwa Kapolres Simalungun telah mencatat sejarah baru sebagai kapolres yang melakukan pelanggaran HAM. "Masih seumur jagung sudah bertingkah," ungkap Cavin.

Mersi Silalahi, salah satu istri korban penculikan, menyatakan kekecewaannya atas ketidakhadiran Polres Simalungun saat persidangan. "Kami kecewa dengan Polres Simalungun, saat PT TPL meminta melakukan penangkapan kepada kami masyarakat kecil jam 03.00 dini hari pun dilakukan, tetapi ketika Pengadilan yang meminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, tidak mau hadir. Dasar pengecut," ungkap Mersi.

Sekitar pukul 04.00 WIB, masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan mulai mempersiapkan bekal yang akan dibawa ke Pengadilan Negeri Simalungun. Kemudian, sekitar pukul 07.00 WIB, mereka berangkat menuju Polres Simalungun dengan menggunakan mobil pick-up untuk mengawal persidangan tersebut dan tiba sekitar pukul 10.00 WIB.

Sebelumnya diberitakan, Polres Simalungun melakukan penculikan terhadap 5 warga Masyarakat Adat Sihaporas, pada senin, 22 Juli 2024 pukul 03.00 WIB dini hari. 

Masyarakat memprotes dan mengadukan nasibnya ke wakil rakyat di DPRD Simalungun. Perwakilan anggota DPRD Simalungun menerima audiensi perwakilan dari Masyarakat Adat Sihaporas di ruang komisi IV pada hari Jumat, 26 Julli 2024. 

Anggota DPRD Simalungun yang hadir adalah Maraden Sinaga, Mariono dari Fraksi PDIP, Arifin Panjaitan, Junita Veronika Munthe, Walpiden Tampubolon dari Fraksi Demokrat, Tumpak Silitonga dari Fraksi Nasdem, Lisnawati Sirait dari Fraksi Perindo. 

Maraden Sinaga, anggota DPRD Simalungun dari Daerah Pemilihan VI yang menjadi bagian dari lokasi Masyarakat Adat Sihaporas, di Nagori/Desa Sihaporas, . Pamatang Sidamanik, menyayangkan kejadian tersebut, karena menurutnya itu merupakan tindakan represif yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian, dan juga dugaan keterlibatan pihak perusahaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap Masyarakat Adat Sihaporas. 

Baren Ambarita, perwakilan dari Masyarakat adat Sihaporas menyampaikan, kejadian penculikan ini merupakan bentuk tindakan represif oleh aparat kepolisian karena tidak ada dialog yang terjadi langsung main tangkap. “Menurut kami ini pelanggaran berat, maka kami mengadulah ke DPRD Simalungun. Kalau bisa persoalan ini harus dibahas di Komisi III DPR RI,” kata Baren.

Lebih lanjut Baren menyampaikan,  bahwa masyarakat Adat LAMTORAS sudah lama memperjuangkan hak-haknya di Sihaporas, ini adalah akibat dari  persoalan agraria, di mana tanah adat kita, Keturunan ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, dikuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL) sampai saat ini.  

“Kami tidak rela, tanah kami itu di kuasai oleh TPL seterusnya. Mulai tahun 1998 masa reformasi, kami sudah bergerak memperjuangkannya. Tahun 2000 sudah ada rekomendasi dari DPRD Simalungun ini, pada masa Pak Samaidun dan sudah turun ke Sihaporas bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun dan Pemerintah Daerah Simalungun. Hasilnya DPRD Simalungun mengeluarkan merekomendasikan, agar persoalan tanah adat Sihaporas segera di selesaikan eksekutif, tapi sampai sekarang belum ada keputusan Pemerintah Daerah Simalungun dan tanah masih tetap di kuasai oleh PT. Toba Pulp Lestari,” tegas Baren. 

Lebih lanjut Baren menjelaskan, sudah sampai  4 kali masyarakat adat Sihaporas berurusan dengan hukum karena memperjuangkan tanah adat ini. Pada tahun 2002 atas nama Arisman Ambarita di penjara karena memperjuangkan tanah adat ini, kemudian tahun 2004 atas nama Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita, lalu tahun 2019 atas nama Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita dan pada tahun 2024 ini kembali lagi di tangkap atas nama Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Parando Tamba. 

"Ini sudah perjalanan panjang bagi perjuangan kami. Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019 pun sudah merekomendasikan kepada Pemkab Simalungun agar membentuk TIM identifikasi, terhadap tanah Ompu Mamontang Laut Ambarita di Sihaporas, tapi tidak ada sampai sekarang, Bupati tidak membuat TIM itu, makanya surat rekomendasi itu tidak berjalan sampai sekarang. Kalau penjaranya diberikan kepada kami untuk  menyelesaikan persoalan ini, itu tidak bisa, harusnya akar persoalan ini yang harus di selesaikan. Maka itu kami menyerahkan persoalan ini kepada bapak DPRD Simalungun ini lah, untuk segara di proses agar bisa bekerja dengan nyaman di tanah adat kami," katanya. 

Mangitua Ambarita, selaku tetua adat Sihaporas menambahi, sebenarnya kami sudah berupaya menjalankan prosedur yang di sediakan oleh pemerintah. Namun belum ada hasil yang maksimal sampai saat ini. Perlu saya sampaikan bahwa leluhur kami di Sihaporas sudah ada sekitar tahun 1800 an, sudah ada 11 generasi di Sihaporas, jika dihitung  1 generasi 25 tahun berarti kami sudah ada lebih 200 tahun yang lalu ada di sana, juga ada bukti-bukti di lapangan, seperti batas-batas kampung, bekas perkampungan lama dan makam. Namun karena lambatnya pemerintah memproses ini sehingga selalu saja terjadi konflik di lapangan. 

Sementara Hengky Manalu, mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyampaikan, ada tumpang tindih klaim yang terjadi di tanah adat Sihaporas, ketika Pemerintah mengklaim sepihak tanah adat Sihaporas menjadi Hutan Negara, kemudian memberikan kepada perusahaan PT. TPL tanpa pernah melibatkan masyarakat adat dalam prosesnya, sehingga terjadi penolakan dari masyarakat adat atas kehadiran perusahaan, karena berbagai dampak telah dirasakan masyarakat atas kehadiran perusahaan ini, seperti sumber air yang di rusak, hutan untuk kebutuhan ritual adat juga sudah di rusak, di tambah dengan perjuangan masyarakat adat harus menghadapi kriminalisasi dari aparat. 

"Menurut kami ini adalah bentuk diskriminasi oleh pemerintah terhadap masyarakat adat, karena sudah sangat lama terjadi," tegas Hengky. 

Tumpak Silitonga mewakili fraksi Nasdem menyampaikan, hal ini perlu kita tindaklanjuti agar segera di selesaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  supaya kejadian ini tidak berlarut-larut. Sedangkan Mariono dari fraksi PDIP, mengatakan akan mendorong Pansus (panitia khusu) untuk mendalami persoalan tanah dari masyarakat adat Sihaporas. 

Lebih lanjut Mariono, menyampaikan akan meminta kepada pimpinan DPRD Simalungun untuk segera mendorong pembentukan pansus, setelah itu, akan di dorong kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyelesaikan persoalan. 

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes