Apakah aspek kultural itu menentukan dalam Pilkada serentak di Kota Padang Sidimpuan?
Oleh : Budi P Hutasuhut | Peneliti budaya Angkola
Pertanyaan itu diajukan salah seorang calon Wali Kota Padang Sidimpuan yang akan menjadi kontestan Pilkada serentak pada 27 November 2024 mendatang, ketika sepekan lalu saya bertamu ke ruangan kerjanya.
Saya paham, pertanyaan itu ia ajukan kepada saya karena ia ingin memahami masyarakat Kota Padang Sidimpuan yang akan memilih para calon Wali Kota Padang Sidimpuan. Saya pikir hanya orang yang betul-betul ingin memahami masyarakat yang ingin mengenali antropologi dari masyarakat bersangkutan.
Tapi saya tidak langsung menjawab pertanyaannya. Ingatan saya segera meloncat pada pengalaman sejumlah aktivis yang saat ini sedang berkegiatan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Mereka bergiat di sebuah non goverment organization (NGo) yang berkonsentrasi pada persoalan lingkungan, yang mempekerjakan para peneliti dari ragam disiplin ilmu pengetahuan dengan passion yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Ada yang berkonsentrasi pada sosiologi, ada yang punya disiplin antropologi dan menguasai etnografi, dan ada yang fasih perihal hukum yang berlaku di negara ini. Pada dasarnya, mereka ingin menerapkan perspektif holistik dalam melihat fenomena-fenomena lokal, dan itu mereka lakukan agar setiap kesimpulan yang dibuat tidak terkesan asal-asalan.
Dua hari sebelum saya bertemu, pimpinan sebuah NGo yang sedang berkegiatan di wilayah Kecamatan Arse, Kabupaten Tapanuli Selatan, dan membangun basecamp di Kota Sipirok, itu menghubungi telepon genggam saya dan mengajak diskusi. Mereka datang dari Kota Sipirok ke tempat saya di Kota Padang Sidimpuan, khusus untuk berdiskusi dengan saya terkait sejarah kultural masyarakat Kecamatan Arse.
Sebelumnya, kami sudah sering berdiskusi tentang kebudayaan Angkola, dan mereka mengalami kesulitan untuk menemukan literatur tentang kebudayaan sebagain besar masyarakat yang tinggal di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel) ini. Ketika mereka melakukan penelitian, mereka menemukan realitas yang berbeda di daerah yang menjadi subjek penelitian mereka.
Kata mereka, masyarakat di dalam satu desa di Kecamatan Arse ternyata terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok yang sulit menyatu antara satu dengan lainnya, dan masing-masing kelompok memiliki pemimpin lokal yang sangat dihormati.
Dampak dari polarisasi itu, sulit menyatukan masyarakat satu desa untuk menerima inovasi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sebagai masyarakat, sehingga terkesan seolah-olah masyarakat itu merasa nyaman dengan persoalan-persoalan sosial yang mereka hadapi dan seolah-olah tidak pernah ada persoalan dalam kehidupan mereka.
Kesan lain yang bisa ditangkap, masyarakat tidak merasa bahwa polarisasi dan keterbelahan mereka sebagai warga satu desa itu telah menghancurkan integritas mereka, di mana kesatuan dan persatuan menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan.
Saya hanya tersenyum menanggapi simpul awal yang mereka buat. Saya sering ke Kecamatan Arse, yang sejak awal menjadi bagian dari Kecamatan Sipirok dan oleh masyarakat setempat disebut sebagai Sipirok Narobi, dan berinteraksi dengan masyarakat budaya yang ada di kecamatan itu. Dan, tentu, sulit memahami masyarakat setempat tanpa lebih dahulu memahami sejarah mereka.
Tiba-tiba terlintas apa yang pernah saya baca tentang teori akulturasi dari John Berry. Pada tahun 1984 kerangka akulturasi yang dikembangkan Berry menggabungkan dua pertanyaan inti: “Apakah dianggap bernilai untuk mempertahankan identitas khas dan karakteristik kelompok budaya sendiri?” dan “Apakah dianggap bernilai untuk mempertahankan hubungan positif dengan kelompok saya dan orang lain dalam masyarakat?”
Pada tataran inilah akan terasa betapa merusaknya peraturan daerah (Perda) penggabungan desa yang disahkan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan pada masa pemerintahan Bupati Syahrul M. Pasaribu. Perda itu menghapus eksistensi masyarakat-masyarakat adat yang ada di desa-desa dan merupakan representasi dari apa yang disebut bonabulu, di mana Perda lebih tegas sebagai semangat pemerintah daerah untuk memaksakan agar seluruh masyarakat terintegrasi antara satu dengan lainnya sebagai warga desa.
Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan belum memahami tentang sejarah budaya masyarakatnya, tapi sudah berani membuat kebijakan dalam bentuk Perda penggabungan bonabulu menjadi desa, di mana setiap bonabulu dijadikan dusun. Dengan kata lain, Perda itu memaksakan agar masyarakat beradaptasi dengan perubahan atas nama kepentingan pemerintah itu, dan mengabaikan adanya retensi atau penolakan budaya.
Implikasinya akan sangat terasa pada saat Pilkades digelar. Setiap bonabulu yang telah berubah jadi dusun, akan berusaha mendorong kelompok budayanya menjadi Kepala Desa. Ketika satu Kepala Desa terpilih dan ia menjadi representasi bonabulu yang sudah menjadi dusun itu, dampaknya akan mempertajam keterbelahan masyarakat. Warga dari dusun (bonabulu) yang calonnya kalah, tidak akan menerima Kepala Desa yang berasal dari dusun (bonabulu) lain.
Kecamatan Arse itu terdiri dari Desa Aek Haminjon, Dalihan Natolu, Nanggar Jati, Nanggar Jati, Huta Padang, Natambang Roncitan, Pardomuan, Gunung, Sipogu, dan Kelurahan Arse Nauli serta Kelurahan Lancat. Batas wilayah desa-desa di Kecamatan Arse ini belum tertata, dan Perda tentang penggabungan desa tidak disertai peta yang menunjukkan batas wilayah. Akibatnya, wilayah masyarakat adat di Kelurahan Lancat, misalnya, ternyata ada dalam wilayah Desa Somba Debata Purba, sementara desa itu ada dalam wilayah Kecamatan Saipar Dolok Hole.
Kembali ke pertanyaan tentang "apakah aspek kultural (budaya) itu menentukan dalam Pilkada serentak di Kota Padang Sidimpuan?"
Dibandingkan daerah-daerah lain di wilayah Tabagsel, Kota Padang Sidimpuan lebih dahulu menerima modernisasi yang bernama pendidikan formal yang diperkenalkan kolonialisme Belanda. Meskipun Kweekschol Tano Bato di wilayah Mandailing Natal termasuk lembaga pendidikan formal pertama di Pulau Sumatra, sekolah yang dibangun Willem Iskander itu bukan bagian dari kebijakan kolonialisme untuk mengendalikan pengetahuan rakyat jajahan.
Kolonialisme Belanda mulai mengendalikan pengetahuan masyarakat lokal di Tabagsel sejak Kweekschool Padang Sidimpuan berdiri pasca penutupan Kweekschool Tano Bato akibat kematian Willem Iskander.
Sebagai bagian dari kebijakan kolonialisme mengendalikan pengetahuan rakyat jajahan, Kweekschool Padang Sidimpuan yang pada masanya disebut Sikola Raja, nilai-nilai moderen diintegrasikan agar tercipta bikulturisme (menerima budaya Barat sekaligus menerima budaya lokal). Dengan dua budaya yang saling diperbandingkan, masyarakat jajahan bisa membandingkan keduanya untuk kemudian melakukan marjinalisasi terhadap budaya lokal.
Pengenalan sistem pemerintahan yang memposisikan raja-raja lokal sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, pada awalnya mendapat resistensi, tetapi kolonialisme berhasil mengubah mindset rakyat jajahan agar mendeskriditkan budaya lokalnya.
Para raja lokal yang menjadi bagian dari pemerintahan terus-menerus mengkampanyekan bahwa kebudayaan Barat itu bagus, sehingga kebudayaan lokal itu harus ditinggalkan dengan alasan produk dari masyarakat yang tidak beradab. Kebudayaan barat diposisikan sebagai produk masyarakat beradab, memahami ilmu pengetahun, dan rakyat jajahan harus beradab dengan cara mengenyam pendidikan formal.
Kolonialisme kemudian memposisikan orang yang sudah berpendidikan akan menjadi manusia yang sukses.
Masyarakat Padang Sidimpuan sudah lama meninggalkan budaya lokalnya. Ini semakin dirasakan ketika pemerintah tidak lagi memberi tempat untuk berkembangnya nilai-nilai budaya lokal dengan alasan anggaran pemerintah daerah tidak cukup.
Lantas, "apakah aspek kultural (budaya) itu menentukan dalam Pilkada serentak di Kota Padang Sidimpuan?" Jawabanya, tidak selalu.
COMMENTS