Bila kita menengok dua dekade ke belakang, tentu kita akan takjub dengan transformasi arus informasi yang demikian canggih saat ini. Dulu, kita belum mengenal apa itu facebook, instagram, twitter, youtube, bahkan tiktok. Satu-satunya kanal media sosial yang ramai di masa itu hanyalah friendster, itu pun hanya digunakan oleh para remaja dan sama sekali tidak dilirik oleh orang-orang dewasa. Muatan kontennya juga hanya seputar dinamika kehidupan khas kaum remaja, belum mengandung hal-hal yang sifatnya informatif dan edukatif. Sehingga untuk memperoleh informasi serta menikmati konten yang lebih berbobot, kita masih mengandalkan media semacam televisi, koran, bahkan majalah.
Setelah bernostalgia sejenak, marilah kita kembali ke masa di mana kehadiran media-media sosial yang disebutkan di atas telah bertengger di puncak popularitasnya. Kejayaan televisi, koran, serta majalah telah runtuh dan digeser oleh akselarasi informasi yang disuguhkan oleh media-media sosial berbasis internet. Kini, hanya dengan sentuhan jari, di mana pun dan kapan pun selama terhubung dengan jaringan internet, kita bisa dengan cepat memperoleh informasi apa pun yang kita mau. Zaman sudah berubah dan berjalan demikian cepat, kata seorang kawan kepadaku.
Namun, bila di masa lalu kita terkendala dengan terbatasnya akses informasi, maka saat ini kita dihadapkan dengan banjirnya arus informasi yang harus diakui dapat menenggelamkan andai tidak disertai kewaspadaan ketika menyeberanginya, dan pola pikir biner adalah salah satu dampak dekstruktif yang ditimbulkannya.
Secara harfiah, pola pikir biner adalah pola pikir yang hanya mengenal dua sisi dan hanya dapat memilih salah satu saja. Kata biner diambil dari istilah istilah matematika. Biner merupakan bilangan yang hanya mengenal dua simbol yaitu 0 dan 1. Sedangkan pola pikir biner jika pengertiannya ditarik dari definisi bilangan biner, pola pikir biner adalah kondisi dimana seseorang hanya mengenal ya atau tidak, setuju atau tidak setuju, hitam atau putih. Pola pikir ini juga menggiring seseorang untuk menolak kemungkinan-kemungkinan lain di luar kedua hal yang disebutkan tersebut. Tidak ada istilah mungkin, hampir, atau bisa jadi dalam kamus orang-orang yang telah terjangkiti oleh pola pikir biner ini.
Sekilas, pola pikir ini memang membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang tegas dan punya prinsip yang jelas. Namun, jika ditinjau lebih jauh, pola pikir ini sebetulnya menjadi akar permasalahan yang sering kita temui, terutama bagi masyarakat yang aktif di media sosial.
Kemudahan mengakses informasi yang diinginkan
oleh masyarakat digital saat ini cenderung mendorong kita untuk mengetahui apa
yang ingin diketahui saja. Kemudahan akses ini secara tidak langsung akan menurunkan
kemampuan untuk berpikir kritis. Pasalnya, sejak awal kita sudah membiarkan otak kita
untuk menyerap informasi, argumen, atau gagasan yang sepaham dengan keinginan
kita. Alih-alih menerima dan memproses informasi atau gagasan yang berbeda
tersebut dengan teliti, penganut pola pikir biner ini justru akan mengambil
sikap defensif yang membabi buta. Bahkan tak jarang sampai melontarkan
kata-kata makian dan hinaan. Kondisi ini tentu sudah sering kita saksikan dan
semakin merajalela di lalu lintas media sosial.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa seseorang yang terjangkit pola pikir biner ini akan membentuk dirinya menjadi individu yang fanatik terhadap informasi yang ia terima dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mutlak tanpa dapat diganggu gugat. Cara berpikir semacam ini cenderung akan memupuk seseorang menjadi pribadi yang keras kepala dan egois serta kerap merendahkan opini atau informasi yang dikemukakan oleh orang lain. Bila tidak disadari dan segera diatasi, sifat egois yang tumbuh dan berkembang ini lambat laun akan membentuk sebuah tembok yang akan membatasi keleluasaan dan keluwesan dalam berpikir. Imbasnya, akan sedikit kemungkinan untuk membuka ruang diskusi bagi individu yang mengalami gelaja-gejala pola pikir biner ini, karena bagi mereka, pilihan hanya ada dua. Ironisnya, pilihan yang mutlak benar itu hanya berada di pihak mereka, sedangkan di luar daripada itu akan dianggap salah. Padahal, kita tahu bahwa pola pikir yang tumbuh di benak seseorang jelas dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman, pendidikan, serta sumber-sumber informasi yang telah diakses oleh individu tersebut. Aspek-aspek tersebut tentu sangat beragam dan bervariasi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain.
Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwa tumbuh suburnya pola pikir biner di tengah masyarakat juga dipicu oleh faktor eksternal, yaitu algoritma dan sistem operasi dari media sosial itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa konten-konten yang menghiasi beranda atau halaman pencarian rata-rata merupakan konten-konten yang digemari oleh si pemilik akun. Bila kita menyukai konten masak-memasak, maka potensi konten-konten yang sejenis untuk tampil dan meramaikan linimasa otomatis juga akan menjadi lebih besar. Demikian pula bila kita menyukai konten joget-joget, maka peluang konten serupa untuk muncul di layar HP juga akan besar. Sekali saja menekan unggahan cewek seksi, maka besoknya mayoritas linimasa kita akan dihujani oleh foto atau video-video yang sanggup menggetarkan iman tersebut. Begitulah seterusnya terhadap jenis-jenis konten lainnya.
Sementara di sisi lain, konten-konten media sosial yang muncul di linimasa juga cenderung berantakan dan tidak terstruktur. Keadaan ini tentu akan semakin menumpulkan ketajaman otak untuk berpikir dengan fokus dan penuh ketelitian, terutama bila konten tersebut lebih menonjolkan sisi visualnya ketimbang mengedepankan narasi yang oleh sebagian besar pengguna dicap membosankan. Coba pikirkan berapa jumlah konten yang bisa kita konsumsidi layar HP dalam satu menit ? Mungkin bisa belasan. Sebanyak itulah frekuensi fokus kita terdistraksi dalam waktu hanya satu menit saja. Sekarang coba pikirkan berapa kali fokus kita bisa teralihkan bila berselancar dalam satu jam? Bagaimana pula bila sebagian besar hidup kita justru habis dengan bermain media sosial? Silakan pikirkan sendiri dampak buruk yang akan menimpa otak kita setelahnya.
Kendornya kemampuan fokus masyarakat digital inilah yang sering dimanfaatkan oleh sejumlah oknum tak bertanggung jawab untuk menggiring opini, bahkan tak sedikit melemparkan hoaks yang justru akan menimbulkan perpecahan. Oleh karena itu, di sinilah peran literasi itu diperlukan. Dengan literasi, seseorang tak hanya mampu menyerap informasi yang ada, tapi juga mampu memproses dan mencerna informasi yang diperoleh tersebut dengan baik dan benar. Mau tidak mau solusinya adalah dengan membiasakan diri untuk membaca, baik yang berbentuk berita, buku fisik, maupun buku digital. Intinya, perbanyaklah membaca, bukan menonton. Karena dengan membaca, terutama membaca buku, otak kita akan dilatih untuk fokus dan berpikir secara terstruktur dan sistematis. Manfaat besar dari membaca buku inilah yang tidak bisa digantikan oleh konten-konten media sosial yang kerap memanjakan kemampuan analisis tersebut.
Media sosial memang manis seperti gula, tapi apa jadinya bila tubuh yang menjadi aset paling berharga itu justru kelebihan asupan gula?
Posting Komentar