Fenomena kota-kota di Indonesia menunjukkan kecenderungan untuk lebih berkembang, Kota Padangsidimpuan justru sebaliknya. Selama lima tahun terakhir, kota yang lebih dahulu ada dibandingkan Kota Medan ini kondisinya semakin memburuk.
Oleh : Hady K Harahap | Jurnalis Sinar Tabagsel
Berdasarkan UU Nomor 4 tahun 2001, Padangsidimpuan ditetapkan menjadi daerah otonom, keluar dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Sejak saat itu pula, pejabat hingga masyarakat semakin mengalami disorientasi dan tidak peduli dengan sejarah dan budayanya sendiri.
Simpul ini dibuat Budi P. Hutasuhut, sastrawan, pengamanat kebudayaan Angkola, dan penulis buku Historiografi Kota Padang Sidimpuan, yang jadi narasumber dalam Diskusi Daring yang digelar Salumpatsaindege Circle, komunitas mahasiswa asal Kota Padangsidimpuan yang sedang menjalani pendidikan di berbagai kota di Indonesia.
Budi mengatakan, di masa kolonial Belanda, Padang Sidimpuan telah ditetapkan sebagai ibukota dari Keresidenan Tapanuli pada 1885. Fakta ini menunjukkan, saat itu kota ini telah bertransformasi menjadi pusat perekonomian di wilayah Tapanuli. Orang-orang dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang datang berbondong-bondong untuk melakukan bisnis dan mencari pekerjaan. Proses akulturasi budaya terjadi, dan mereka adalah masyarakat yang membentuk Kota Padang Sidimpuan menjadi kota yang ramai dan maju tapi tetap memegang teguh nilai-nilai lokalitas yang menjadi ciri khas masyarakat Padang Sidimpuan yang mayoritas berbudaya Angkola dan Mandailing.
"Bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Kota Padang Sidimpuan sudah tidak ada lagi karena pejabat dan masyarakatnya tidak memahami sejarah serta menganggap sejarah itu tidak penting dan tidak berlaku lagi di era modern ini,” kata Budi.
Sastrawan yang bermukim di Kota Padang Sidimpuan ini menambahkan, lingkungan keluarga juga
memiliki andil besar terhadap krisis identitas parah yang dialami masyarakat Padang Sidimpuan, khususnya generasi muda.
“Alih-alih mendorong anaknya untuk mencintai budaya dan sejarah kotanya, mayoritas para orang tua di Padang Sidimpuan tak mengerti dengan sejarah dan tidak bisa mengajarkannya kepada anak-anak mereka," katanya.
Di bidang pendidikan, kata Budi, para orang tua tidak merekomendasi anaknya untuk jadi pecinta sejarah atau menimba ilmu antropologi, tetapi lebih bersemangat menggerakkan anaknya untuk menjadi dokter, insinyur, serta TNI/Polri yang ujung-ujungnya juga akan diarahkan menjadi ASN. Padahal, peran sejarawan atau antropolog lokal begitu sentral dan menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya suatu daerah. Pasalnya, hasil pengkajian serta produk penelitian yang telah mereka lakukan akan didokumentasikan dan menjadi bahan edukasi bagi masyarakat, khususnya bagi generasi muda. Inilah yang tidak kita temukan di kota ini.
“Coba kita bandingkan dengan daerah-daerah lain yang ada di Utara, masyarakat di sana begitu bangga dengan sejarah dan budaya mereka. Pola pikir semacam ini pun tercermin dengan bukti-bukti sejarah dan cagar-cagar budaya yang masih awet dan terjaga. Selain itu, kegiatan-kegiatan seni budaya bertaraf nasional dan internasional juga aktif dan terus diselenggarakan di sana setiap tahun. Prestasi ini tentu tidak akan dapat dicapai bila masyarakat dan pejabatnya sendiri tidak paham dengan sejarah dan budayanya sendiri,” sambung Budi.
Pada kesempatan itu, salah seorang peserta memberi tanggapan bahwa Kota Padang Sidimpuan pernah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Parada Harahap dan Sutan Casayangan Harahap yang punya rekam jejak mentereng di kancah nasional dan internasional. Namun, mengapa di masa yang serbacanggih dengan kemudahan akses informasi saat ini Padang Sidimpuan tak pernah lagi melahirkan tokoh yang kontribusi dan prestasinya mampu menyamai para pendahulu tersebut.
Pertanyaan itu lantas dijawab Budi dengan lugas. Ia menyebut bahwa pola asuh orang tua yang cenderung memaksakan kehendak kepada anaknya menjadi sebab utamanya. Sekarang, di Padang Sidimpuan, hubungan antara orang tua dan anak tak ubahnya hubungan antara bos dan anak buah. Alih-alih memposisikan anak sebagai mitra diskusi dan mendidiknya supaya mandiri dengan pilihan hidupnya sendiri, orang tua justru memposisikan dirinya sebagai bos yang selalu memerintah dan tak boleh dibantah.
"Setiap anak itu lahir dengan keunikan dan potensi masing-masing. Tugas orang tua adalah menjembatani hal tersebut," jelas Budi.
Lebih lanjut, Budi kemudian menegaskan perlunya ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) sebagai acuan dalam upaya pelestarian kebudayaan di Kota Padang Sidimpuan. Hal ini senada dengan amanat UU No.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Absennya Perda ini dikhawatirkan akan mengancam pelestarian budaya yang menjadi milik masyarakat setempat.
Perlu diketahui bersama bahwa Kota Padang Sidimpuan menjadi satu-satunya Pemerintah Daerah (Pemda) di Provinsi Sumatera Utara yang belum memiliki PPKD (Pokok Pikiran Kemajuan Daerah). Kehadiran Perda ini otomatis akan jadi pedoman Pemda dalam merancang program-program pelestarian budaya di Padang Sidimpuan," katanya.
Dengan demikian, bukti-bukti sejarah yang masih tersisa di kota ini nantinya bisa didaftarkan dan direvitalisasi sebagai cagar budaya milik Kota Padang Sidimpuan. "Adanya Perda ini juga akan memudahkan masyarakat untuk menggelar berbagai pagelaran seni dan budaya berskala nasional dan internasional yang berpotensi akan menarik minat wisatawan luar untuk datang berkunjung ke Padang Sidimpuan. Bila hal itu dapat direalisasikan, pertumbuhan ekonomi kota ini pun akan menjadi lebih baik ke depannya,” terang Budi menutup diskusi daring.
COMMENTS