Oleh : Bang Harlen | Penulis yang besar dan tinggal di Padang Sidimpuan
Pasar tradisional adalah aset Pemerintah Daerah yang
selalu dicap buruk sebagai area kumuh, berantakan, dan tak sedap dipandang
mata. Stigma negatif ini jelas menjadi alasan utama mengapa anak muda enggan
berkunjung ke pasar tradisional. Masifnya penggunaan internet yang meniscayakan
percepatan informasi dan komunikasi semakin memperparah kondisi pasar
tradisional. Anak-anak muda jadi lebih gemar membeli barang melalui toko online. Sangkumpal Bonang, sebagai pasar
terbesar di Padang Sidimpuan pun kian sepi. Banyak ruko yang terpaksa tutup.
Opiniku di atas bukanlah tanpa alasan dan kupastikan
kalau aku tidak sedang mabuk ketika menulis artikel ini. Bagiku, Pasar
Sangkumpal Bonang punya semua syarat untuk merealisasikan hal tersebut. Berdiri
di pusat kota Padang Sidimpuan, gedung ini memiliki dua lantai dengan sebuah basement yang menyertainya. Sangkumpal
Bonang juga mempunyai area yang cukup luas dan memadai untuk difungsikan
sebagai lahan parkir. Di samping itu, Pasar Sangkumpal Bonang juga menjadi
salah satu ikon Padang Sidimpuan yang tentunya mengandung nilai historis.
Kita tidak boleh lupa bahwa peresmian nama Pasar Sangkumpal
Bonang berkaitan erat dan tak terlepas dari penamaan Kota Padang Sidimpuan itu
sendiri. Sekitar tahun 1700, sebelum menjadi kota, wilayah kita ini adalah
sebuah padang yang luas dan datar (dimpu) yang menjadi pusat berkumpulnya para pedagang dari berbagai
daerah. Oleh karena itu, kota ini akhirnya diberi nama Padang Sidimpuan.
Sementara itu, Sangkumpal Bonang adalah nama sebuah sungai yang mengalir di
pinggir “Padang Na Dimpu” tempat berkumpulnya para pedagang tersebut. Sehingga
dapat di katakan bahwa lokasi Pasar Sangkumpal Bonang adalah titik awal dari lahirnya Kota Padang
Sidimpuan.
Kembali lagi ke soal Sangkumpal Bonang sebagai tempat
nongkrong anak muda. Untuk menguatkan argumentasiku tersebut, marilah kita
sejenak berpaling ke Yogyakarta. Mengapa demikian? Karena terus terang aku
mendapat inspirasi dan bersemangat menulis kolom ini usai membaca sebuah
artikel yang menyebut bahwa kota gudeg itu berhasil merevitalisasi pasar
tradisionalnya menjadi kawasan yang ramah terhadap generasi muda.
Dalam artikel yang dimuat oleh Kompas itu menyebut bahwa Pasar Prawirotaman di Yogyakarta yang
direvitalisasi pada tahun 2019 tersebut telah berhasil disulap menjadi salah
satu tempat nongkrong yang menarik bagi anak muda. Sebuah co-working space mengisi salah satu sudut gedung pasar tak pernah
sepi, karena menjelang senja, area ruang kerja bersama itu akan dipenuhi
anak-anak muda yang sibuk mengerjakan tugas kantor atau tugas skripsi. Bahkan,
mereka mengaku bisa berkunjung empat hingga kali dalam sepekan. Di ruangan yang
disebut studio 103 tersebut, seorang pengunjung mengungkapkan bahwa ia cukup
membayar Rp10.000 untuk mendapatkan
akses internet selama 6 jam. Bila ia lapar, ada sejumlah warung yang
menyediakan makanan dan minuman yang siap memadamkan rasa lapar. Pilihan
menunya juga beragam, mulai dari makanan lokal, nusantara hingga makanan barat dengan tentunya
dibanderol dengan harga terjangkau. Sebelum direvitalisasi, anak-anak muda ini
mengaku tidak tertarik datang ke Pasar Prawirotaman. Namun, ketika melihat
wajah baru pasar itu yang tersebar di instagram, mereka akhirnya tertarik untuk
berkunjung, dan hasilnya ternyata tidak mengecewakan.
Studio 103 ini menempati lantai atas gedung Prawirotaman
dan menjadi ruang ekonomi kreatif dengan mengusung slogan tempat nongkrong anak senja. Area ini
menyediakan aneka kuliner dengan pemandangan senja Kota Yogja serta lampu-lampu
hias yang kerlap-kerlip pada malam hari. Ada pertunjukan live music setiap hari Jumat. Fasilitas lain untuk disewakan juga
tersedia, seperti studio foto, ruang siniar, studio musik, kantor, dan ruang
rapat.
Selain Pasar Prawirotaman, tahun ini, Pasar Sentul,
Pakualaman telah selesai direvitalisasi. Gedung pasar ini terdiri dari tiga
lantai dengan arsitektur bergaya Indis karena berada dalam kawasan cagar
budaya. Ada lebih dari 20 warung makan yang mengisi ruangan di gedung
pasar, Di tengah area kuliner terdapat
plaza atap terbuka yang terbagi dua lokasi untuk kegiatan kebudayaan.
Menurut Veronica Ambar Ismuwardani selaku Kepala Dinas
Perdagangan Kota Yogyakarta.
Sejauh ini, hasil revitalisasi pasar
tradisional di Yogyakarta terlihat cukup baik. Di Pasar Prawirotaman, jumlah
pengunjung pasar rakyat dulu rata-rata 400 orang per hari. Setelah
revitalisasi, jumlah pengunjung naik menjadi sekitar 800 orang pada hari biasa
dan 1.000 orang pada akhir pekan. Pengunjung Studio 103 rata-rata mencapai 200
orang per hari saat hari kerja dan 300 orang per hari saat akhir pekan.
“Sudah saatnya pasar mengubah diri mengikuti zaman tanpa
menghilangkan roh pasar rakyat. Sekarang pasar rakyat plus, yaitu pasar juga
harus menjadi ekosistem pengembangan ekonomi kreatif, edukasi, dan kegiatan
kebudayaan,” ujar Veronica.
Program
revitalisasi pasar tradisonal di Kota Yogyakarta sebetulnya tidak hanya terjadi
atas dorongan pemerintah. Pasar Kranggan misalnya, ia justru berubah menjadi
modern secara organik. Salah satunya berkat kehadiran The French Press Kopi
Warung atau TFP Kopi Warung yang menyajikan menu barat dengan harga miring pada
2019. Anak muda jadi senang nongkrong di sana. Lambat laun, ruko-ruko kosong kemudian
berganti dengan kedai unik lainnya. Dari yang menyediakan steak sampai makanan
Jepang seperti udon. Padahal tempat itu cukup tua, sempit, dan keramiknya
pecah-pecah, tapi bernuansa retro serta gaul.
Tentu
saja, harus diakui bahwa mengubah kebiasaan lama pengunjung dan pembeli merupakan
tantangan yang tidak mudah bila ingin
merevitalisasi pasar. Proses ini juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran dan kolaborasi bersama antara masyarakat
dan Pemerintah Daerah selaku pengendali kebijakan dan pemegang anggaran supaya
citra Pasar Sangkumpal Bonang menjadi lebih baik. Setidaknya, dengan adanya
upaya revitalisasi pasar yang ramah terhadap anak muda akan mendorong
regenerasi dan melahirkan wajah baru dari pasar tradisional yang selama ini
didominasi oleh ibu-ibu. Bukan tidak mungkin bila harapan tersebut akhirnya
terealisasi, Pasar Sangkumpal Bonang akan jadi magnet wisatawan untuk datang
berkunjung dan menciptakan objek wisata baru di Padang Sidimpuan.
Andigan dope dongan ita maruba?
Nangge matcit ulu ni amu maligin Sidimpuan
ni ita on?
COMMENTS