.

Haris-Fatia Bebas dan Upaya-Upaya Para Pejabat Menikmati Sorga Papua

 

Perjuangan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dua aktivis hak asasi manusia (HAM), untuk bebas dari segala tuntutan dalam perkara pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan, akhirnya membuahkan hasil. Aktivis KontraS dan Lokataru itu, divonis bebas karena tak terbukti mencemari nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu. 

Jurnalis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion

Majelis hukum Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memvonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam perkara dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).  

"Menimbangkan karena tidak terbukti maka tidak terbukti secara sah maka pada para terdakwa diputus bebas," kata hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 8 Januari 2024. 

Majelis hakim menganggap tuntutan pertama kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak memenuhi unsur hukum. Dengan demikian Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti lepas dari tuntutan pertama. 

"Apa yang diperbincangkan bukanlah termasuk dugaan penghinaan. Tidak memenuhi unsur hukum. Tidak terbukti dalam dakwaan pertama dan bebas atas tuntutan dakwaan," jelasnya. 

Haris dan Fatia juga lepas dari dakwaan kedua dan subsider yakni penyebaran berita bohong. Keduanya dianggap oleh majelis hakim tidak memenuhi unsur pidana penyebaran berita bohong. 

"Bukan berita bohong. Sehingga dakwaan kedua tidak terbukti sehingga terdakwa lepas dari dakwaan kedua," jelasnya. "Dakwaan subsider tidak terpenuhi sehingga terdakwa lepas dari dakwaan subsider," tambahnya. 

Siapa saja yang sudah menonton podcast berjudul  “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!”  yang diunggah di kanal Youtube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021,  meyakini kalau Fatia Maulidiyanti tidak sedang merusak nama baik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Maritim dan Investasi atau sebagai purnawirawan Jenderal  TNI.  Fatia hanya menarasikan hasil kajian atau riset yang dilakukan Koalisi #BersihkanIndonesia dan diterbitkan dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” kepada Harris Azhar. 

Koalisi #BersihkanIndonesia merupakan kolaborasi sejumlah NGo (non-government organization) seperti KontraS, YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia. Setiap pengelola NGo yang jadi bagian Koalisi #BersihkanIndonesia, kemudian merilis hasil kajian itu kepada publik lewat ragam medium komunikasi yang ada. YLBHI dan WALHI merilisnya lewat situs resmi mereka. Media massa kemudian mengutif rilis itu untuk konsumsi publik. 
Situasi pasar di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Masyarakat tradisional yang hidup miskin di dekat tambang emas.


Fatia Maulidiyanti dari KontraS  bisa saja mengeluarkan rilis berita atas nama KontraS sebagaimana YLBHI, WALHI, dan NGo yang tergabung dalam Koalisi #BersihkanIndonesia melakukannya lewat situs resmi mereka. Tujuannya jelas, agar hasil kajian yang sangat penting itu diketahui publik, sehingga makin terurai krodet persoalan yang sedang berlangsung di Papua Barat. Tapi Fatia memilih menarasikan hasil riset itu lewat medium podcats yang dikelola Haris Azhar. 

Dengan format talk show, Fatia dan Haris membincangkan kebijakan Presiden Joko Widodo tentang operasi militer TNI di Papua. Pembicaraan ini mengungkit-ungkit perkara lama berkaitan eksistensi PT. Freeport Indonesia sejak 1967 sebagai pengeruk cadangan emas yang ada di Papua,  juga implikasinya terhadap ekonomi rakyat Papua yang tak bisa lagi jadi andalan mencari nafkah akibat kawasan hutan rakyat sudah dipagari.

Apa yang dibicara Fatia-Haris sebetulnya hal yang sudah umum diketahui masyarakat internasional tentang apa yang terjadi di Papua Barat. Sejarah Papua Barat identik dengan pergerakan militer dan kepentingan ekonomi. Papua Barat disebut "negeri surga" yang kaya akan sumber daya alam hasil tambang. Kekayaan ini diincar perusahaan-perusahaan pertambangan transnasional terbesar di dunia. Dari Amerika Serikat ada Union Oil, Amoco, Agip, Conoco, Phillips, Esso, Texaco, Mobil, Shell, Petromer Trend Exploration, Atlantic Richfield, Sun Oil, dan Freeport. Belum lagi Oppenheimer (Afrika Selatan), Total (Prancis), Ingold (Kanada), Minyak Marathon dan Kepala Burung, Rio Tinton Z (Inggris),  Dominion Mining, Cudgen RZ, CRA, dan WWM (Australia).  

Negara-negara asing menjadikan Papua Barat sebagai sumber ekonomi yang tak habis dieksploitasi. Setiap negara mewakili kepentingan institusi bisnis, namun menjadikan negara asalnya sebagai tameng. Semua bermula setelah akhir perang dunia kedua, ketika Amerika Serikat bersama Negara-negara sekutunya berhasil menandai sejumlah Negara yang potensial sumber daya alamnya. 

Potensi Papua Barat jarang dibuka untuk publik. Bahkan, warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja hanya paham bahwa Papua Barat secara de jure bagian dari NKRI, tapi tidak tahu kalau seluruh isinya telah dibagi-bagi untuk kepentingan pengusaha dari berbagai negara. Akibat pembagian itu, eksistensi warga setempat  diabaikan. Mereka sering dipindahkan secara paksa dari tempat kelahirannya hanya karena tempat kelahirannya masuk ke dalam wilayah kuasa dari perusahaan-perusahaan asing. 

Kita lihat Petromer Trend dan Conoco, perusahaan minyak milik Amerika Serikat. Lahan konsesi pertambangannya  berada di pegunungan Ertsberg dan Grasberg meliputi wilayah Danau Paniai dan Wissel, Fak Fak, Lembah Baliem, ujung barat Kepala Burung dan wilayah perbatasan PNG. Wilayah itu sejak lama dijadikan sebagai daerah tanpa penguasa (dislokasi). Kawasan itu tidak boleh ditempati siapa pun sehingga penduduk asli harus dipindahkan dan mendapat penindasan terus-menerus. Kondisi ini melahirkan perlawanan dari masyarakat setempat, namun pengusaha asing mengklaim masyarakat itu sebagai pelaku kriminal yang menolak kehadiran investor asing.  

Kondisi serupa juga terjadi di Dataran Tinggi Barat, daerah operasi penambangan Freeport Indonesia. Tambang Freeport di Gunung Ertsberg merupakan tambang tembaga terbesar kedua di dunia, juga memiliki simpanan emas terbesar yang pernah ada, bernilai lebih dari $US 40 miliar. Perkiraan terbaru untuk lapisan Gunung Grasberg adalah satu miliar ton bijih dan diperkirakan berumur tiga puluh tahun. Freeport mempunyai konsesi seluas 3,6 juta hektare di Papua Barat setelah pemberian konsesi seluas 2,6 juta hektare. Kawasan sekitar tambang tertutup bagi pihak luar dan juga bagi pemilik tanah adat yang telah dirampas. 


Pada Maret 1995 diumumkan, perusahaan pertambangan terbesar di dunia, Rio Tinton (RIO-Z) dari Inggris, telah membeli 18 persen saham milik Freeport Indonesia senilai 1,8 miliar dolar AS. Dengan modal sebanyak itu, terjadi perluasan besar-besaran operasi Freeport. Pengembangan Freeport justru menyingkirkan warga setempat. Freeport memindahkan puluhan ribu penduduk dari desa-desa yang ada dalam wilayah konsesi penambangan. Pada bulan Februari 1995, misalnya, Freeport memindahkan 2000 orang yang tinggal di sekitar lembah Waa, Arwaa, dan Tsinga. Saat pemindahan ini, terjadi pertempuran yang menyebabkan kematian sekitar 40 warga sipil dan hilangnya hingga 200 orang lainnya. 

Selain menjadikan kawasan lahan konsesi sebagai dislokasi, pengusaha-pengusaha asing juga menetapkan lokasi mereka sebagai "zona gempa", sehingga suku-suku asli yang tinggal di sekitar seperti Hupla di dataran tinggi tengah, harus direlokasikan ke daerah lain. Masyarakat menolak, tetapi mereka dipaksa pindah ke lokasi yang lebih rendah, di mana mereka lebih rentan terhadap penyakit seperti malaria dan makanan tradisional pegunungan seperti pohon pandan tidak tumbuh. 

Warga berontak dan melakukan perlawanan. Freeport McMoran (induk PT Freeport Indonesia) merasa dirugikan karena perlawanan itu. Berdalih Freeport McMoran sebagai pembayar pajak terbesar untuk Indonesia, mereka kemudian menuntut agar pemerintah  Indonesia mengatasi masyarakat menghalangi investor. Menariknya, pemerintah Indonesia menurut dan memperlakukan warga sendiri sebagai pihak yang bersalah. Tidak hanya itu, pemerintah kemudian melancarkan operasi militer TNI, menyerang warga sendiri yang dilabeli sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka). 

Kondisi ini berlangsung puluhan tahun, sehingga situasi Papua selalu dicekam konflik. Dalam kondisi dicekam seperti itu, posisi musuh sudah ditetapkan yakni warga setempat yang melakukan perlawanan. Perlawanan ini menjadi rutinitas di negeri ini, membuat pemerintah rutin melakukan operasi militer. Ribuan kekuatan TNI dibantu Polri terus-menerus dikirim ke Papua. Selama itu pula, pemerintah mengemas informasi seakan-akan rakyat Papua ingin lepas dari NKRI, dan kondisi di Papua sudah sangat krodet. 

Informasi dari pemerintah ini mulai terurai ketika kajian Koalisi #BersihkanIndonesia mengungkapkan fakta berbeda, bahwa operasi militer yang dilakukan memiliki agenda ekonomi terselubung. Hasil kajian itu merupakan informasi penting yang perlu diketahui publik berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Pasalnya, Operasi Militer TNI merupakan kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menempatkan militer di Papua Barat menggunakan uang rakyat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga rakyat harus mengetahui secara jelas bagaimana dana itu dikelola. Transparansi pengelolaan uang rakyat itu penting diketahui public, itu bukan informasi rahasia, tetapi sesuatu yang bisa menjadi pengetahuan umum. 

Sangat wajar publik ingin tahu tujuan pengerahan ribuan anggota TNI dan Polri ke Papua Barat. Jika selama ini pemerintah selalu mengait-kaitkan operasi militer itu dengan eksistensi OPM, hasil kajian Koalisi #BersihkanIndonesia justru mengungkapkan fakta baru. Fakta yang sebetulnya sudah menjadi pengetahuan umum sejak lama, sebut saja ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menurunkan tim untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua. 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam kajian mereka yang berjudul "Operasi Militer Papua",  menjelaskan bahwa operasi militer TNI selama periode 1961 sampai 1998, telah dilancarkan empat puluh empat  kali di wilayah Papua. Model operasi militer tersebut terbagi menjadi dua tahap, yaitu sebelum pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat yang digelar pada 1969) dengan tujuan untuk memenangkan PEPERA dan sesudah pelaksanaan PEPERA dengan tujuan untuk mempertahankan hasil PEPERA, menyukseskan Pemilu, dan menumpas gerakan OPM. 

Operasi militer TNI itu tidak kunjung membuahkan hasil. Wilayah Papua tetap menjadi wilayah konflik.  Pelanggaran HAM acap terjadi. Bahkan, pada masa awal kepemimpinan Presiden Jokowi, muncul aksi baru di luar OPM. Ada yang disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) setelah peristiwa pembakar 3 sekolah dasar, penembakan seorang murid sekolah serta penembakan Kabinda Papua Mayjen TNI (anumerta) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. 

OPM membantah, apa yang disebut KKB oleh militer Indonesia  itu merupakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yakni sayap militer OPM. Dalam rilis OPM yang disiarkan Seputar Papua berjudul "TPNPB Rilis Identitas 5 Pasukannya yang Gugur di Tangan TNI-Polri". Bagi pemerintah Indonesia KKB adalah label baru terhadap kelompok kriminal bersenjata. Bila label KKB didefenisikan, tentu eksistensi mereka sama dengan terorisme kalau UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dengan begitu, operasi militer TNI  juga berkaitan dengan operasi antiterorisme. Tapi, hasil kajian Koalisi #BersihkanIndonesia justru mengungkapkan fakta bahwa operasi militer TNI berkaitan dengan sejumlah lokasi tambang emas di Kabupaten Intan Jaya.  

Kajian Koalisi #BersihkanIndonesia mengungkap, bukan hanya negara-negara luar yang memiliki kepentingan ekonomi di Papua Barat. Indonesia juga memiliki kepentingan besar, namun kepentingan Indonesia dikemas sebagaimana negara-negara asing mengemas kepentingannya dengan mendorong para pengusahanya. Dengan alasan investasi, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Perancis menguasai Papua Barat.  

Dengan cara serupa, Indonesia mendorong pengusahanya untuk mengambil keuntungan dari kekayaan sumber daya alam di Papua Barat. Namun, untuk terlibat dalam bisnis tambang hanya bisa dilakukan dengan membeli saham seperti yang dilakukan RIO-Z dengan membeli 18% saham Freeport Indonesia. Tentu saja cara ini membutuhkan modal tidak sedikit, sehingga harus ditempuh cara lain yang tak mengeluarkan biaya besar tetapi mendapatkan hasil maksimal. 

Pilihan jatuh pada mengubah regulasi yang sudah ada. Izin-izin yang dimiliki perusahaan-perusahaan asing, kemudian harus diperbaharui atas nama kebijakan baru dari pengusaha baru di Indonesia. Dengan regulasi baru itu, perlahan-lahan areal eksplorasi PT Freeport Indonesia di Kabupaten Intan Jaya dilepas untuk investor baru. Tiba-tiba muncul PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ), pemegang izin usaha pertambangan di Blok Wabo.   

Namun, lantaran untuk pengembangan tambang butuh modal besar, saham perusahaan dijual dan akhirnya diakuisisi West Wits Mining Ltd (WWM) yang bermarkas di Malbourne, Australia. Saham WWM dikuasai DRD Gold Ltd (23%), Mintails Ltd (21%), Geotorm Investments Limited (4,7%),  dan AMN Nomineeds Limited (4,4%). 

Australia awalnya bermitra dengan Papua Nugini dalam usaha tambang emas di Papua Nugini.yang dikelola Ok Tedi Mining (OTM). OTM dimiliki BHP Billiton, perusahaan pertambangan milik pengusaha Australia. Namun, posisi Australia di Papua Nugini tergeser oleh RIO-Z. Tapi RIO-Z kemudian tersangkut kasus pencemaran lingkungan, lalu OTM mengambil alih ladang emasnya. Kerjasama Papua Nugini-Australia yang sukses, membuat Australia ingin punya peran lebih besar di wilayah yang sumber emasnya berlimpah, lalu masuk ke Papua Barat yang dikuasai PR Freefort Indonesia. 

Tersingkir dari Papua Nugini, RIO-Z membeli saham PT Freefort Indonesia. Langkah Inggris ini kemudian diikuti Australia dengan mendorong WWM  untuk memanfaatkan sumber daya alam Papua Barat. WWM kemudian melihat proyek tambang emas Blok Wabo yang telah dikuasai PTMQ namun tak kunjung berproduks. Pada 30 Juli 2011, WWM kemudian mengakuisi PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) dari pemilik lama.  WWM menjadi pemilik saham mayoritas PTMQ (64%), sehingga PTMQ berubah menjadi subsidiari WWM. Pada 2016, tiba-tiba WWM memberi 30% saham kepada PT Tobacom Del Mandiri (TDM) sebagai bentuk “aliansi bisnis” yang dimulai Oktober 2016. 

Kenapa WWM yang merupakan pemain baru di wilayah Papua Barat tiba-tiba beraliansi dengan PT TDM, perusahaan milik pengusaha Indonesia? Kenapa aliansi bisnis ini membuat WWM harus memberikan 30%  saham di PTMQ kepada PT TDM, sehingga WWM hanya memiliki 34% saham? Kondisi ini menyebabkan WWM bukan lagi pemilik mayoritas saham di PTMQ yang sebelumnya menguasai 64%. Apakah saham 30% dari WWM untuk PT TDM itu cuma-cuma? 

Fatia Maulidiyanti lewat hasil riset Koalisi #BersihkanIndonesia membeberkan bahwa negosiasi saham antara WWM dengan PT TDM erat kaitannya dengan para elite penguasa di Indonesia yang ingin mendapat keuntungan dari lading emas yang ada di Papua Barat.

Tidak ada komentar

Beranda