![]() |
Tiap tahun, pemerintah daerah (pemda) fokus untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses penyusunannya sudah baku. Diawali menampung aspirasi dari publik yang disebut Musrembang di tingkat keca,atan. Idealnya begitu. Kenyataannya tak seperti itu.
APBD lebih banyak hasil dari diskusi Tim APBD (TAPBD). Selain Kepala Daerah, di dalam TAPBD ada organisasi pemerintah daerah (OPD) lain seperti sekretaris daerah, Bappeda, badan keuangan daerah, dan lain sebagainya.
Rapat-rapat TAPBD ini yang mengkaji dan menetukan apa yang menjadi program kerja pemda dalam APBD. Semua diuraikan secara rigit, apa konsep kerjanya, dan seperti apa indikator dari setiap program kerja.
Setelah semua ditetapkan, tinggal dinarasikan ke dalam program-program kerja. Kerja menarasikan ini menjadi tanggung jawab Bappeda.
Bappeda mengawali dengan mengumpulkan Renja (rencana kerja) OPD, berhubungan langsung dengan bagian perencanaan di tiap-tiap OPD. Kemudian merangkumnya dalam naskah awal bernama KUA-PPAS, garis besar program kerja, pembiayaan, dan perkiraan hasil yang akan diperoleh.
KUA PPAS bukan informasi rahasia. Pemda harus mempublikasikannya kepada publik. Tapi pemda menjadikannya informasi rahasia, menutupinya dari publik. Bahkan, beberapa pemda menyembunyikan KUA PPAS dari siapa saja, termasuk dari legislatif. Pemda hanya terbuka terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Bedah APBD tidak bisa dilakukan publik karena informasi tidak transparan. Pemda merahasiakannya dan ini yang menyebabkan korupsi APBD acap terjadi. Tidak ada pengawas independen. Laku pengawasan diambil alih oleh pemerintah sendiri. Mirip jeruk makan jeruk. Hasilnya bisa ditebak, korupsi APBD melahirkan tindak kejahatan baru lainnya, gratifikasi maupun pencucian uang.
Persoalan inilah yang menyebabkan serapan APBD selalu bermasalah tiap tahun. Pemda ekstra hati-hati mengelola APBD, khawatir kegiatannya jadi sorotan banyak pihak. Program dikerjalan ekstra ketat, tapi yang berkaitan dengan bantuan sosial akan dipercepat. Program ini bisa mengambil hati publik dan resikonya rendah.
Pemda suka mengambil hati publik. Pemda gemar dipuja-puji. Padahal tak pantas dipuji. Yangi dilakukan pemda dari tahun ke tahun hanya rutinitas. Sesuatu yang sudah ajek. Tradisi yang sudah baku. Tidak ada inovasi. Dinamikanya pun monoton.
Sayang, melakukan yang rutin saja Pemda tak genah. Kasihan rakyat terlanjur punya ekspentasi tinggi. Dan, persoalan seperti ini, berulang tiap tahun. Sementara Pemda selalu merasa telah banyak berbuat.
Posting Komentar