.

Digitalisasi Pertanian Tidak Berkembang di Sumut

Lahan pertanian di Padang Sidimpuan, di kaki Gunung Lubuk Raya, dikelola oleh petani tua dan tidak memanfaatkan teknologi digital dalam melakukan usaha tani.


Jurnalis: Juan Sitorus | Editor: Budi P Hutasuhut 

Regenerasi petani sangat diharapkan, apalagi dari kalangan generasi milenial. Kemunculan mereka digadang-gadang dapat mendorong sektor pertanian mampu memanfaatkan perkembangan teknologi. Sayangnya, meskipun sudah banyak petani milenial, namun pola usaha tani mereka belum bergeser dari petani tradisional.

Bank Indonesia (BI) akhir-akhir ini gencar mendorong petani di seluruh Indonesia agar menerapkan digitalisasi pertanian. Bekerja sama dengan sejumlah lembaga pendidikan di bidang pertanian, bank sentral Indonesia itu menciptakan kawasan-kawasan budidaya percontohan yang dikelola dengan menerapkan digitalisasi.

Digitalisasi pertanian ini dilakukan dengan cara menggunakan aplikasi digital yang memberitahu petani kapan harus menanam, memupuk, menyiram. Aplikasi digital ini berupa alat sensor tanah dan cuaca, monitoring pemupukan dan pengairan melalui telepon seluler dan monitoring lahan menggunakan kamera pengawas (cctv). 

Di negara-negara penghasil komoditas pertanian, penggunaan aplikasi digital merupakan keharusan. Teknologi ini membantu para petani terhindar dari persoalan gagal panen, karena segala sesuatunya akan terulkur. 

Tapi di Indonesia, digitalisasi pertanian belum menjadi pilihan. Beberapa petani yang dijumpai Sinar Tabagsel di sentra pertanian di Kabupaten Tapanuli Selatan dan di Kota Padang Sidimpuan, mengaku tidak paham ada teknologi digital berkaitan usaha tani. Kalau pun ada, mereka tidak pernah mendapat pengetahuan perihal tersebut. 

Ketika Sinar Tabagsel bertanyakan apakah pemerintah tidak pernah mensosialisasikan keberadaan teknologi digital di bidang pertanian? Para petani mengaku, pemerintah melalui petugas penyuluh lapangan (PPL) hampir tidak pernah datang menemui mereka. Konon lagi mengharapkan pemerintah mau membagi teknologi digital untuk usaha tani.

Pengakuan sama diakui sejumlah petani yang ditemui Sinar Tabagsel. Mereka mengaku, menjadi petani bukan pilihan tetapi alternatif terakhir karena belum bisa mendapatkan pekerjaan lain. Itu sebabnya, dalam melakukan usaha tani, mereka tidak memanfaatkan teknologi digital yang ada. Mereka berusaha sebagaimana halnya orang tua mereka melakukan usaha tani. 

Minimnya penerapan teknologi digital dalam usaha tani sejalan dengan hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Petani milenial yang berumur 19--39 tahun di Provinsi Sumatra Utara tercatat ada 361.814 orang, sebanyak 223.845 petani masih gagap teknologi atau tidak menggunakan teknologi digital.

"Sebanyak 361.814 petani milenial ini mencakup 26,64 persen dari total petani di Sumut yang jumlahnya mencapai 1.468.189 petani," kata Kepala BPS Sumut, Nurul Hasanudin, dalam rilis yang diterima Sinar Tabagsel pada Senin, 4 Desemeber 2023.

Sementara itu, petani yang berumur lebih dari 39 tahun dan menggunakan teknologi digital ada sebanyak 464.226 petani (56,18 persen) dan petani yang berumur kurang dari 19 tahun dan menggunakan teknologi digital ada sebanyak 241 orang.

Dilihat dari segi wilayah, Kabupaten Langkat paling banyak memiliki petani milenial, sebanyak 35.866 petani atau andil 9,91 persen dari keseluruhan petani milenial di Sumut. Kemudian jumlah petani milenial terbanyak disusul Simalungun sebanyak 24.931 petani, Deli Serdang sebanyak 24.058 petani, dan Serdang Bedagai sebanyak 20.987 petani.

Berdasarkan keterangan Hasan, petani milenial memiliki kategori yang adaptif terhadap teknologi digital, mulai dari penggunaan internet maupun alat pertanian digital.

"Teknologi digital mencakup penggunaan alat dan mesin pertanian modern, penggunaan internet/telepon pintar, penggunaan drone, ataupun kecerdasan buatan," ucapnya.

Petani Tua

Hasil SP BPS Sumut juga menyatakan ada peningkatan jumlah petani yang berumur lebih dari 55 tahun. Artinya, meskipun muncul petani milenial yang membuktikan ada regenerasi petani di Sumut, namun terjadi juga peningkatan petani yang berusia 55 tahun ke atas. 

"Peningkatan proporsi petani berusia lebih dari 55 tahun ini perlu menjadi perhatian karena berkaitan dengan keberlangsungan sektor pertanian Sumut ke depannya. Ini fenomenanya sama dengan nasional. Tentu ini akan menjadi tantangan bagi kita melihat bagaimana generasi muda yang diharapkan untuk dapat melanjutkan tongkat estafet pertanian kita,” terang Hasan 

Hasil sensus pertanian Sumut tahun 2023 menunjukkan penurunan petani di sejumlah kelompok umur yang mengelola pertanian saat ini jika dibanding dengan hasil sensus tahun 2013. Penurunan komposisi petani tersebut terlihat dari kelompok usia: 15-24 tahun, turun dari 1,19% pada 2013 menjadi 1,16% pada 2023 25-34 tahun, turun dari 14,50% pada 2013 menjadi 11,52% pada 2023 35-44 tahun, turun dari 27,29% pada 2013 menjadi 25,17% pada 2023, serta 45-54 tahun, turun dari 27,57% pada 2013 menjadi 26,76% pada 2023.

Sementara itu, jumlah petani di kelompok umur 55 tahun ke atas bertambah signifikan. Hasan menyebut, pada 2013, petani di kelompok usia 55-64 tahun dan 65 tahun ke atas masing-masing sebanyak 18,80% dan 10,62%. Pada sensus tahun ini, jumlah mereka naik menjadi 21,80% (kelompok usia 55-64 tahun) dan 13,59% (usia >65 tahun). 

“Generasi X atau yang sekarang diperkirakan berusia 43-58 tahun (kelahiran 1965-1980) menduduki porsi 42%, lalu diikuti petani generasi milenial sebesar 29,50%,” terang Hasan. 

Adapun yang menarik dari data sensus pertanian tahun ini ialah tercatatnya generasi Z dalam sektor ini, kendati jumlahnya terbilang sangat kecil, yakni 2,07%. 

Sebagai catatan, generasi Z adalah mereka yang saat ini diperkirakan berusia 11-26 tahun, atau lahir sekitar tahun 1997-2012. “Harapan kita ada pada usia-usia muda itu untuk bisa [mengadaptasi] teknologi, meningkatkan produktivitas, dan berbagai inovasi-inovasi pertanian yang sesungguhnya bisa memberi kekuatan di sektor pertanian kita ke depan,” pungkas Hasan. 


Tidak ada komentar

Beranda