.

Literasi Jadi Kunci Membuka Gerbang Indonesia Emas 2045

 

Oleh : Bang Harlen | Seorang prosais

Indonesia Emas 2045 merupakan tajuk yang kerap digembar-gemborkan oleh Pemerintah Pusat dalam setiap kesempatan. Pasalnya,di samping perayaan satu abad negara ini merdeka, pada 2045 nanti Indonesia juga akan mengalami bonus demografi yang cukup signifikan. 


Namun, potensi demografi yang besar tersebut akan sia-sia bagai buih di lautan bila tidak diimbangi dengan kualitas manusia yang memadai dan mampu berdaya saing. Aspek utama yang tentu menjadi sorotan adalah lemahnya upaya penguatan terhadap infrastruktur literasi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masihlah terperosok di angka yang sangat mengkhawatirkan.

Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukanoleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minatmembaca, persis di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi infrastruktur penunjang minat baca, Indonesia berada di atas negera-negara tersebut.

Di sisi lain, Hafiz Muhsin selaku Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbudistek menekankan bahwa literasi saat ini tidak hanya dipandang sebagai kegemaran membaca dan menulis, namun perlu dipahami sebagai kemampuan berbahasa yang mencakup kegiatan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara yang dipadukan dengan kemampuan berpikir, seperti mengakses, mengeksplorasi, mengidentifikasi, memproses, memperhitungkan, mempertanyakan, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi.

“Literasi membekal seseorang untuk memiliki kemampuan mengekspresikan, menciptakan, dan mengomunikasikan seluruh ilmu pengetahuan yang didapat dan dicernanya. Inilah yang disebut literasi

masa kini dalam abad 21, yaitu harus memiliki kemampuan memahami dan memanfaatkan hasil bacaan untuk kecakapan hidup.” Ujar Hafiz dalam Rapat Pembudayaan Literasi yang berlangsung di Garut, Kamis (22/9). Hafiz juga menekankan bahwa literasi penting untuk mewujudkan sumber daya manusia yang unggul di abad ke-21, yaitu pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai pancasila. “Literasi mendukung perwujudan profil Pelajar Pancasila yang beriman yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, kebhinekaan global, gotong rotong, kretaif, bernalar kritis, dan mandiri.” Ujar Hafiz.

Memaksimalkan Bonus Demografi

Terkait tajuk Indonesia Emas 2045, pada tahun tersebut Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu sebanyak 70% jumlah penduduk Indonesia akan berada dalam usia produktif (15-64 tahun), di managenerasi tersebut harus disiapkan menjadi generasi yang berdaya guna, kreatif, inovatif, dan melek ilmu pengetahuan serta informasi agar siap membawa Indonesia menjadi negara maju dan mampu bersaing secara global di masa yang akan datang.

Pada 2045 mendatang, penduduk usia produktif tersebut mayoritas akan ditempati oleh para milenial dan generasi Z. Anak-anak muda inilah yang nantinya akan menjadi tulang punggung Indonesia. Di pundak merekalah optimisme tinggi   bangsa ini dititipkan. Kualitas berpikir dan mentalitas generasi muda saat ini tentunya akan menjadi parameter dan cermin bagaimana kemajuan bangsa di masa yang akan datang . Merekalah ujung tombak dan subjek sebenarnya dalam membuka gerbang  Indonesia Emas 2045.

Akan tetapi, dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, berdasarkan data-data yang disebutkan masih belum menunjukkan gejala yang menggembirakan. Indonesia masih menghadapi sebuah pekerjaan rumah yang besar pada tingkat literasi --yang menjadi kunci pengembang diri-- masyarakatnya harus dituntaskan sesegera mungkin. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya cenderung belum mengakrabkan diri dengan buku serta sumber-sumber bacaan yang mangandung pengetahuan serta informasi yang aktual sekaligus faktual. Ketimbang menghabiskan waktu dengan membaca atau menonton konten-konten yang bersifat edukatif serta informatif, generasi muda bangsa ini justru lebih menyukai konten-konten yang hanya bersifat hiburan semata, bahkan berpotensi merusak mentalitas, moral, bahkan daya kognitif mereka.

Salah satu bukti yang menunjukkan lemahnya daya literasi bangsa ini adalah betapa gampangnya masyarakat diadu domba dan termakan oleh hoaks yang berserakan dan tak jarang berujung pada perdebatan dan pertengkarang yang tak perlu. Dalam menyimak informasi yang beredar di internet, kita cenderung gampang menyimpulkan peristiwa tanpa melakukan penelurusan lebih dalam dan menyeluruh. Baru melihat judul, sudah merasa tahu seluruh isi. Padahal tak sedikit konten-konten tersebut sangat melenceng jauh antara judul dan isi yang dijabarkan di bawahnya. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya pengecekan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kefaktualan produk informasi yang disajikan serta kredibilitas produsen atau media yang menyajikannya. Inilah penyebab utama yang kerap memantik keributan dan melemahkan persatuan di antara kita.

Kecanggihan teknologi internet yang semestinya mampu menjadi sarana untuk mengakses informasi apa saja dengan mudah dan cepat ternyata kerap disalahgunakan untuk kepentingan yang nirfaedah. Fenomena ini semakin ironis bila mengingat di masa kolonial Belanda setelah kebijakan politik etis yang diterapkan mulai di tahun 1901, hanya 8% saja penduduk Indonesia yang mampu membaca dan menulis, lantaran kesempatan untuk mengenyam pendidikan sangatlah terbatas, hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan, pengusaha, serta keluarga para pejabat yang bekerja di kantor pemerintahan kolonial Belanda.

Di samping itu, realita di tengah generasi muda kita tampak mengindikasikan bahwa mereka alergi dengan buku. Seseorang yang gemar membaca buku kerap diasosiasikan sebagai sosok yang tidak menarik, dicap kutu buku, sok pintar, culun, dan sebagainya. Entah sejak kapan anggapan-anggapan ini tertancap kuat di benak para generasi muda. Padahal, bangsa ini didirikan oleh para tokoh-tokoh bangsa yang sudah pasti maniak dengan buku dan memiliki tradisi literasi yang mumpuni. Bahkan, Mohammad Hatta sampai rela dipenjara asalkan dirinya tetap dikelilingi oleh buku-buku. Bung Karno, presiden pertama kita  mencetuskan tentang konsep negara Indonesia setelah mempelajari buku Naar De Republiek karya Bapak Republik Indonesia Tan Malaka.

Untuk itu, peran serta segenap lapisan masyarakat serta dukungan dari para pemangku kebijakan sangat diharapkan agar bonus demografi yang menjanjikan ini dapat dimaksimalkan agar tidak menjadi ampas tak berguna di kemudian hari. Selain itu, diharapkan seluruh pemangku kebijakan, terutama di sektor pendidikan supaya bekerja lebih giat dan serius. Tak lupa juga untuk memprioritaskan masalah ini supaya anggaran sebesar Rp 549,5 Triliun (20%) dari APBN yang telah digelontorkan oleh Presiden Jokowi demi menyambut Indonesia Emas 2045 dapat dimanfaatkan demi menambal lubang-lubang yang masih menganga lebar, terutama di sektor literasi. Jika lubang-lubang ini tidak segera dibenahi, amat dikhawatirkan kalau langkah kita dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 akan terjungkal, menyisakan angan-angan belaka, serta hanya sebatas retorika politik semata.

Lebih lanjut, Visi Indonesia 2045 disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas untuk memberikan gambaran mengenai wujud Indonesia pada tahun 2045 serta memberikan peta jalan yang mampu dan perlu dicapai pada tahun 2045. Secara keseluruhan Visi Indonesia 2045 yaitu mewujudkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi, ekonomi Indonesia yang meningkat menjadi negara maju dan salah satu dari 5 kekuatan ekonomi terbesar dunia, pemerataan yang berkeadilan di semua bidang pembangunan, dalam bingkai NKRI yang berdaulat dan demokratis.

Pencapaian visi Indonesia tersebut dibangun dengan 4 pilar pembangunan, yaitu Pembangunan manusia serta penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, Pemerataan Pembangunan, serta Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Pemerintahan.


 


Tidak ada komentar

Beranda