Jurnalis: Hady K Harahap | Editor: Budi P Hutasuhut
Basis data emisi untuk penelitian atmosfer global (EDGAR) Komisi Eropa menyatakan pada tahun 2022 Indonesia menjadi salah satu kontributor perubahan iklim dengan menempati urutan ketujuh dari sebelas negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Data Bank Dunia 2021 juga menyebut Indonesia menempati
peringkat ketiga sebagai negara dengan paparan tinggi risiko iklim, baik banjir
maupun panas ekstrem. Indonesia semakin rentan karena 65% penduduknya bermukim
di wilayah pesisir. Bahkan, 80% bencana alam di Indonesia terjadi akibat
perubahan iklim. Tak hanya risiko bencana alam yang tinggi,Ro admap NDC
Adaptasi 2020 memperkirakan perubahan iklim juga berpotensi merugikan ekonomi
Indonesia sebesar 0,66-3,45% terhadap PDB tahun 2030.
Menyadari dampak negatif yang mengancam keberlangsungan
hidup masyarakat Indonesia, pemerintah telah berupaya melakukan langkah
mitigasi terhadap ancaman perubahan iklim. Pada tahun 2016, Indonesia turut
berkontribusi dalam penanganan isu perubahan iklim dengan meratifikasi Paris
Agreement melalui pernyataan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC)
yang kemudian diperbarui pada 2021 dan 2022.
Dalam target NDC 2022, Indonesia berkomitmen menurunkan
emisi GRK sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan dapat mencapai 43,20%
pada 2030 dengan dukungan internasional baik di bidang pendanaan, teknologi,
maupun peningkatan kapasitas. Komitmen pemerintah dalam penanganan perubahan
iklim juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024. Yakni peningkatan kualitas lingkungan hidup, ketahanan bencana dan
perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon menjadi program prioritas.
Untuk mendukung gerakan pengendalian perubahan iklim,
pemerintah menggunakan APBN, termasuk menerbitkan instrumen pembiayaan seperti
green sukuk, green bonds, dan SDGs bonds. Beragam stimulus fiskal juga
diberikan agar investor tertarik berpartisipasi dalam proyek hijau seperti
melalui pemberian tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN. Adapun
realisasi anggaran perubahan iklim pada 2021 berdasarkan laporan Kementerian
Keuangan adalah sebesar Rp112,74 triliun, naik 55,71% dibandingkan tahun 2020.
Namun, upaya mitigasi terhadap perubahan iklim tersebut
bukannya tak memiliki hambatan sama sekali. Menurut Pengamat Iklim dan
Lingkungan, Emilya Nurjani, faktor pertama yang menjadi penghambat adalah
keterbatasan pendanaan APBN. Menurut Bank Dunia (2022), alokasi
anggaran penanganan perubahan iklim dalam
APBN masih relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan untuk
mencapai target NDC. Sementara Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu menilai
Indonesia membutuhkan dana sebesar 281 miliar dollar AS atau Rp4000-an triliun
untuk mencapai target NDC 2030.
Menyadari keterbatasan fiskal tersebut, Pemerintah telah
membentuk berbagai lembaga yang dapat menyerap dana-dana nonpublik ataupun
sebagai platform kerja sama pendanaan yang bertujuan dekarbonisasi, termasuk
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Badan Pengelola Dana Lingkungan
Hidup (BPDLH), SDG Indonesia One, dan Indonesia Investment Authority (INA). Di
samping itu, Indonesia juga telah merilis country platform Energy Mechanism
Transition (ETM), bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB), untuk
menarik lebih banyak pendanaan, terutama untuk secara bertahap
menghentikan penggunaan pembangkit listrik yang bersumber dari batu bara.
Tantangan selanjutnya menurut Emil adalah bagaimana
mengharmonisasikan aksi perubahan iklim dengan prioritas pembangunan
pemerintah. Misalnya, sebagai negara berkembang, Indonesia masih sangat
bergantung dengan sumber energi dari bahan bakar fosil seperti batu bara.
Bahkan Indonesia menjadi penghasil batu bara ketiga terbesar di dunia setelah
Tiongkok dan India. komoditas ini juga signifikan terhadap siklus bisnis dan
perdagangan Indonesia. Sedangkan batu bara termasuk energi tak terbarukan.
Kemudian dari sektor infrastruktur, di satu sisi pembangunan
infrastruktur yang masif diperlukan untuk menggenjot perekonomian. Namun, di
sisi lain berdampak terhadap pengurangan lahan terbuka.
Lebih lanjut, Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) mencatat suhu udara rata-rata di Indonesia per bulan Oktober
2023 yang mencapai 27,7 °C merupakan yang tertinggi pertama untuk bulan yang
sama sejak tahun 1981. Secara umum Indonesia mengalami kenaikan suhu udara
+0,7°C dibandingkan periode rata-rata kurun 1991-2020 yang sebesar 26.8 °C.
Hal senada juga diungkapkan oleh Muhamad Chatib Basri dan
Teuku Riefky dalam jurnal Keys to Climate Action (2023), mereka memaparkan
secara historis Indonesia termasuk penyumbang emisi terbesar karena
ketergantungan yang tinggi terhadap energi tak terbarukan dan menjadikan sektor
penghasil emisi sebagai mesin pertumbuhan utama.
Di samping itu, tantangan dari segi pendanaan turut
menghambat laju penanganan perubahan iklim di Indonesia. Sebab itu, diperlukan
dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan transisi ke ekonomi
hijau yang adil dan terjangkau, tak hanya bagi pemegang kekuasaan. Namun juga
bagi kelompok rentan.
Stimulus fiskal harus sejalan dengan pembangunan, prioritas
pemerintah, dan kepentingan politik. Sebagaimana dipahami, negara-negara
berkembang mengedepankan isu-isu kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan
untuk UMKM. Sehingga program-program hijau yang diadopsi ke dalam kebijakan
pemerintah pun harus sejalan dengan prioritas tersebut. Beberapa langkah
menurut Chatib dan Riefky dapat ditempuh untuk memuluskan transisi ke ekonomi
hijau yang adil dan terjangkau.
Pertama, dengan meningkatkan pendapatan negara melalui pengenaan
pajak terhadap entitas pemicu dampak negatif bagi lingkungan. Seperti dengan
menerapkan pajak karbon, pungutan cukai untuk plastik dan bahan bakar fosil.
Langkah tersebut dapat dikombinasikan dengan pengurangan beban subsidi bahan
bakar untuk hasil yang lebih optimal.
Kedua, dari sisi belanja, konsolidasi fiskal dapat lebih
ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas belanja baik dari segi ekonomi maupun
lingkungan. Pengalokasian dana harus berorientasi pada sektor ramah lingkungan
dengan efek pengganda yang tinggi sehingga pertumbuhan dapat sejalan dengan
dekarbonisasi. Seiring dengan itu, selama proses transisi ke ekonomi hijau,
kelompok miskin dan rentan harus tetap terlindungi melalui alokasi belanja yang
produktif dan tepat sasaran.
Indonesia juga dikatakan akan bisa melaju lebih cepat dalam
transisi ke ekonomi hijau apabila mendapatkan lebih banyak dukungan dari
pemangku kepentingan global.
Sebagaimana diketahui bahwa isu perubahan iklim saat ini
memang tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai forum internasional. Dan
bila tidak ditangani secara serius dan sedini mungkin, maka konsekuensi
negatifnya tidak hanya menimpa 275 juta jiwa penduduk Indonesia saat ini, tapi
juga menimpa generasi di masa yang akan datang.
Lebih lanjut, Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) menunjukkan suhu udara rata-rata di Indonesia per bulan
Oktober 2023 yang mencapai 27,7 °C merupakan yang tertinggi pertama untuk bulan
yang sama sejak tahun 1981. Secara umum Indonesia mengalami kenaikan suhu udara
+0,7°C dibandingkan periode rata-rata kurun 1991-2020 yang sebesar 26.8 °C.
“Mungkin angkanya kecil, nol koma sekian, tapi dampak
peningkatan suhu ternyata cukup besar. Apalagi kalau terjadi di seluruh dunia.
Ini yang sebetulnya kita takutkan,” ujar Emilya Nurjani.
Tidak ada komentar
Posting Komentar