Kritik Bukan Penghinaan


Kini kritik diartikan sebagai penghinaan.  Sebab itu, siapa saja yang mengkitik akan dipidana. Termasuk Haris Azhari dan Fatia Maulidiyanti. Dua aktivis hak asasi manusia (HAM) yang mengkiritk relasi ekonomi para purnawirawan TNI dan Polri dalam operasi militer di Kabupaten Teluk Intan, Papua Barat,  didakwa bersalah.

Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan, kedua aktivis yang menyiarkan video berjudul ‘Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!’ di kanal youtube Azhari pada 20 Agustus 2021, itu terbukti melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).    

Sebab itu, Haris Azhari dan Fatia Maulidiyanti bersalah dalam kasus gugatan pencemaran nama baik yang diajukan Luhut Binsar Panjaitan.  Kedua aktivis hak asasi manusia (HAM) yang pernah aktif di KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) kemudian dituntut masing-masing 4 tahun dan 3,5 tahun penjara.

Keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu sudah bisa ditebak sejak awal. Pasalnya, sejumlah fakta yang terungkap dalam persidangan yang sebetulnya menegaskan bahwa apa yang disampaikan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam kanal youtube itu membicarakan hasil kajian ekonomi yang dibuat Koalisi Bersihkan Indonesia.  

Kajian itu disiarkan secara luas dan terbuka oleh Koalisi Bersihklan Indonesia. Di situs resmi Walhi Indonesia, salah satu non-goverment organization (NGo) yang menjadi bagian dari Koalisi Bersihkan Indonesia, misalnya, masyarakat bisa membaca kajian itu secara bebas.  Di dalamnya dijelaskan relasi ekonomi sejumlah purnawirawan TNI dan Polri dengan operasi militer yang digencarkan pemerintah di Papua Barat. 

Operasi militer yang diyakini hanya bagian dari tawar-menawar kepentingan untuk mendapatkan bagian dari potensi tambang emas di Kabupaten Intan Jaya.  Potensi keuntungan itu selama ini dinikmati Amerika Serikat  bersama PT Freeport Indonesia, yang kemudian mengundang bangsa-bangsa lain untuk ambil bagian. Sejumlah perusahaan transnasional memiliki lahan-lahan konsesi di Papua Barat, baik untuk tambang minyak, emas, tembaga, maupun untuk pengembangan industri strategis lain yang mendukung industri-industri tambang. 

Perusahaan-perusahaan asing itu mengeruk kekayaan bumi Papua dan menelantarkan warga yang ada di daerah tersebut.  Penduduk lokal direlokasi dari lahan-lahan konsesi milik pengusaha asing, ditelantarkan hidupnya, dan ditindas hak asasi manusianya. Penduduk lokal melawan, memperjuangkan hak-haknya. Termasuk memperjuangkan agar lingkungannya tidak rusak akibat ulah para pengeruk bumi Papua Barat.

Perlawanan penduduk lokal justru dijawab pemerintah Indonesia dengan melakukan operasi militer.  Haris Azhari dan Fatia Maulidiyuanti membeberkan persoalan itu dalam kanal Youtube, dan memfokuskan pembicaraan pada keberadaan purnariwaran TNI, yakni Luhut Binsar Panjaitan yang juga seorang menteri. Logika Haris dan Fatia jelas, mempertanyakan bagaimana bisa seorang menteri memiliki izin usaha penambangan (IUP) di Papua Barat, di bekas areal konsesi PT Freeport Indonesia.  Kalau tidak ada apa-apanya, mustahil perusahaan yang sahamnya didominasi Luhut Binsar Panjaitan bisa punya konsesi di Papua Barat, di wilayah yang sejak 1949 menjadi "negara tersendiri" dengan PT Freeport sebagai penguasanya. 

Haris dan Fatia didakwa hakim sebagai bersalah. Kita pun jadi tahu, jangan-jangan hakim tidak tahu persoalan besar yang sedang menimpa wilayah juga rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia di Papua Barat.  Selain ada persoalan HAM di papua Barat sana, persoalan lingkungan juga mengancam.  

Seperti kata Haris dalam pledoinya, negara ini tidak akan kekurangan orang yang akan memperjuangkan apa yang diperjuangan Haris dan Fatia.  Negara ini tidak kekurangan orang yang tidak takut melakukan kritik. 
  
    
alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes