.

Ketua KPK, Penjaga Citra Polri


 Oleh Budi Hatees | Peneliti, penulis buku Ulat di Kebun Polri 

Kisah ketika polisi menangkap Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  pada 2015 lalu,  mendadak berkelebat. Penangkapan Abraham Samad itu berlangsung cepat dan tepat,  menunjukkan bahwa respon polisi sesuai program Quick Wins dalam menjalankan kegiatan pemolisian. Respon yang luar biasa itu menimbulkan kontroversi,  membuat publik menduga-duga bahwa Abraham Samad merupakan korban politisasi dan kriminalisasi Polri.

Tapi, akhir-akhir ini respon polisi tampaknya menjauh dari semangat program Quick Wins terkait penangkapan  Ketua KPK,  Firli Bahuri,  sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.  Padahal, sudah banyak bukti dan saksi yang membenarkan Ketua KPK bertemu dengan mantan Menteri Pertanian, dan pertemuan itu menimbulkan banyak spekulasi bahwa seorang penegak hukum sedang membenarkan bertemu dengan tersangka. 

Polda Metro Jaya yang dipimpin Irjen Karyoto sudah bekerja melakukan kegiatan pemolisian guna mengusut dugaan tindak pidana yang melibatkan Ketua KPK  tersebut. Tapi, banyak kalangan meragukan Irjend Pol  Karyoto,  yang sebelumnya merupakan Deputi Penindakan KPK, akan menangkap Ketua KPK Firli Bahuri sebagaimana Polri pernah menangkap Ketua KPK Abraham Samad hanya berdasarkan pengaduan seorang tersangka kasus pemalsuan dokumen pada tahun  2007.

Sangat wajar bila public kemudian menduga-duga kalau polisi tidak akan pernah menangkap Firli Bahuri mengingat Ketua KPK itu seorang purnawirawan perwira tinggi (pati) Polri dan pernah menjadi Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Mabes Polri. Dengan kata lain, polisi selaku penegak hokum hanya akan mengulangi apa yang sudah menjadi pendapat umum, bahwa hokum di negeri kita sulit tegak bila berkaitan dengan internal lembaga penegakan hukum itu sendiri.

Pertarungan KPK Vs Polri

Firli Bahuri berbeda dengan Abraham Samad. Meskipun sama-sama Ketua KPK dan sama-sama terlibat dugaan kasus kriminal,  namun Abraham Samad bukan bagian dari Keluarga Besar Polri. Selain itu,  Abraham Samad selaku Ketua KPK  memiliki andil besar dalam upaya KPK mengungkapkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan calon Kapolri saat itu, Komjend Pol Budi Gunawan. Itulah alasan paling kuat kenapa Abraham Samad begitu mudah ditersangkakan oleh Polri. 

Sementara Firli Bahuri masih aktif sebagai anggota Polri saat terpilih jadi Ketua KPK. Sosok Firli Bahuri sebagai polisi aktif yang lebih memilih menjadi Ketua KPK daripada Kapolda Sumatra Selatan, membuat public menyakini bahwa hal ini bagian dari strategi Polri untuk mengembalikan citranya sebagai lembaga yang berpengalaman memberantas korupsi. Pasalnya, citra anti-korupsi tidak lagi melekat pada Polri sejak Presiden Abdurrahman Wahid mendirikan KPK  berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. 

KPK sebagai lembaga Negara yang menjalankan fungsi oversight (pengawasan),  tancap gas melakukan pengusutan dugaan tindak kriminal korupsi yang melibatkan para elite Negara.  Sepak  terjang KPK yang saat itu dipimpin purnawirawan Polri, Taufiequrachman Ruki, membawa harapan baru di negeri ini  dalam mengatasi korupsi  pasca reformasi.  Semua orang berharap,  reformasi menjadi momentum penting untuk menguatkan kampanye antikorupsi. KPK diposisikan sebagai pelaku utama, posisi yang selama ini bagian dari tugas dan tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian. 

KPK  memang mampu mengungkapkan sejumlah kasus korupsi,  membuat Polri dan kejaksaan mulai kehilangan muka. Dua lembaga ini semakin terpinggirkan, terdeskriditkan sebagai lembaga penegakan hokum yang tak mampu mengatasi korupsi.  Kepercayaan public menjadi  berkurang terhadap dua lembaga penegakan hukum tersebut setelah KPK berhasil mengungkap kasus korupsi yang melibatkan para elite di internal kejaksaan dan kepolisian.  

Hasil kerja KPK ini meruntuhkan citra kedua lembaga penegakan hokum itu, membuat Polri sebagai  lembaga Negara pertama yang melakukan reformasi internal,  semakin dijauhi public. Reformasi Polri  dengan sekian banyak strategi yang dirumuskan  dipandang  percuma, apalagi setelah sejumlah nama perwira menengah dan perwira tinggi Polri diduga terlibat dalam kasus rekening gendut Polri.

Menjadi lembaga Negara yang tersisih dari kerja-kerja pemberantasan korupsi dan sejumlah anggota Polri terindikasi terlibat kasus dugaan korupsi, berimplikasi terhadap munculnya kasus-kasus politik hokum yang membuat KPK berhadap-hadapan dengan Polri. Peristiwa cicak versus buaya yang mengemuka beberapa tahun lalu  berbuntut panjang.  Korban berjatuhan, baik di pihak KPK maupun Polri. Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjend Pol Susno Duaji,  yang ingin mengungkap dugaan korupsi rekening gendut Polri, tiba-tiba jadi tersangka dalam kasus korupsi yang kemudian membuatnya ditahan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Begitu juga halnya dengan komisioner KPK, baik Abraham  Samad maupun  Bambang Wijojanto, yang jadi terangka kasus kriminal. 

Pertarungan KPK versus Polri mulai mereda setelah Presiden Joko Widodo memberhentikan Abraham Samad sebagai Ketua KPK, dan membatalkan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri. Guna mengembalikan fungsi KPK sembari menenangkan Polri, Presiden Jokowi kemudian melantik Taufiequrachman Ruki, mantan Ketua KPK yang merupakan purnawirawan Polri, sebagai Plt. Ketua KPK yang baru. Komjend Pol Budi Gunawan sendiri batal jadi Kapolri, digantikan Jenderal Pol Badrodin Haiti.

Keputusan Presiden Jokowi ini ampuh meredakan ketegangan yang timbul akibat pertarungan KPK versus Polri. Namun, penyebab ketegangan itu tak kunjung diselesaikan, sehingga persoalan krusial terkait kehilangan wewenang penegakan hokum dalam kasus korupsi ini selalu menjadi bayang-bayang.  Presiden Jokowi kemudian melantik Agus Rahardjo menjadi Ketua KPK. 

Agus Rahardjo adalah Ketua KPK tanpa latar belakang pendidikan formal hokum.  Agus Raharjo  dipilih dari kalangan yang tidak ada kaitannya dengan profesi advokat,  kejaksaan, ataupun kepolisian. Pasalnya, Ketua KPK yang berlatar belakang tiga profesi ini terbukti menimbulkan konflik berkepanjangan – mulai dari Antasari Azhar (mantan jaksa) sampai Abdurrahman Samad (advokat)—yang menyebabkan tujuan pendirian KPK sebagai lembaga antirasuwah tidak sesuai dengan harapan.

Namun,  pertarungan KPK versus Polri tidak kunjung mereda, terutama setelah KPK banyak mengungkap dugaan korupsi di internal Mabes Polri.  Penyidik KPK yang merupakan anggota Polri diperbantukan di KPK,  ternyata menjadi penyidik yang paling gencar mengungkit kasus korupsi di internal Polri. Novel Baswedan, salah seorang anggota Polri yang jadi penyidik senior di KPK,  mampu mengungkap sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan para elite. Novel Baswedan menjadi momok bagi Polri ketika mengungkap korupsi Simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri.

Makin banyak kasus korupsi di internal Mabes Polri yang diungkap KPK, dan para perwira terbaik Polri  terlibat di dalamnya.  Tak main-main,  Gubernur Akademi Polisi Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo jadi tersangka. Kasus ini makin menciderai citra Polri di mata public, yang berbuntut pada menegangnya hubungan KPK dengan Polri.

Jika sebelumnya Polri berhasil menjadikan Ketua KPK, Abraham Samad, dan komisioner KPK, Bambang Wijdajanto, jadi terpidana dalam kasus kriminal,  giliran penyidik senior Novel Baswedan yang dirundung banyak persoalan dugaan kriminal. Meskipun  Novel Baswedan bebas dari segala tuduhan, tapi Polri kemudian berhasil mengeluarkan Novel Baswedan dari internal penyidik KPK dengan tidak meluluskannya dalam tes wawasan kebangsaan sehingga tidak memenuhi syarat untuk menjadi penyidik di KPK.

Selama ditangani Agus Rahardjo, pertarungan KPK dengan Polri   mulai mereda setelah para penyidik senior KPK dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan dan dinyatakan tidak bisa diperbantukan di KPK. Posisi anggota Polri yang diperbantukan di KPK kemudian diganti dengan orang baru, sehingga semakin banyak anggota Polri aktif yang diperbantukan di KPK. Kondisi ini terus berlangsung sampai Agus Rahardjo berhenti dan posisinya digantikan oleh Firli Bahuri.

Keluarga Besar Polri

Terpilihnya Firli Bahuri menjadi Ketua KPK  membawa perubahan besar dalam sistem kerja di internal lembaga antikorupsi itu. Perubahan mendasar pada posisi Firli Bahuri sendiri selaku anggota Keluarga Besar Polri yang masih aktif, di mana ia dikelilingi oleh anggota Korps Bhayangkara yang masih aktif dan diperbantukan di KPK.

Sebagai seorang perwira tinggi Polri yang menjadi Ketua KPK, Firli Bahuri dikelilingi oleh anggota Korps Bhayangkara yang berstatus penyidik KPK. Tidak heran jika bila kerja-kerja anti-korupsi oleh KPK mengadopsi kerja pemolisian (policing) Polri yang identik dengan pendekatan preemptif, preventif, dan represif.  Tiga pendekatan ini terkait dengan masing-masing status masalah yang sedang diselidiki, juga diiringi fungsi-fungsi kepolisian yang juga khusus.

Seorang pimpinan kepolisian dikatakan profesional dalam bekerja bila  mampu mengaktivitasikan fungsi-fungsi  tertentu terkait masalah dengan status tertentu secara proporsional.  Jika sebuah persoalan hokum yang sudah terindetifikasi berdasarkan fungsi  reserse,  di mana sudah ada  pelanggaran hokum dan sudah ditemukan tersangka tetapi tak melakukan penangkapan dan malah memilih bertemu tersangka, sudah tentu ada yang salah pada diri si pemimpin kepolisian tersebut. Kondisi seperti inilah yang terjadi di dalam system kerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Pengaduan sejumlah pihak terkait system kerja yang diterapkan Firli Bahuri sudah disampaikan public kepada Dewan Pengawas KPK. Alih-alih menjalankan tugas pengawasan yang tegas berdasarkan Pasal 37B ayat (1) huruf a dan f Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019,  Dewas KPK terkesan berlipat tangan. Akibatnya, buronan mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, tidak kunjung ditangkap.

Sekarang, bukti pertemuan Firli Bahuri dengan tersangka mantan Mentan sudah diketahui public, dan ini melanggar peraturan yang berlaku. Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 19/2019 mengakomodir persoalan pertemuan Firli Bahuri dengan tersangka itu sebagai  perbuatan tercela yang bisa jadi alasan mundur dari jabatan sebagai Ketua KPK. Bahkan, TAP MPR No VI/2001 juga menegaskan bahwa para pejabatan politik harus mundur apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Tapi, ini akan mustahil mengingat peran Polri sangat sentral dalam membuktikan keterlibatan Firli Bahuri tersebut. *

Tidak ada komentar

Beranda