Oleh : Bang Harlen
Jalotok, begitulah orang-orang memanggilku. Jalotok bermakna si kotor atau si keruh. Tentunya bukanlah namaku yang sebenarnya. Setiap orangtua yang masih setia memelihara kewarasan dan sedang tidak dihinggapi setan, mustahil akan tega memberikan nama yang sedemikian hina kepada anaknya. Namun, orang-orang juga tidak keliru bila akhirnya memberiku panggilan tersebut. Aku memang kotor. Lebih tepatnya aku selalu merasa kotor. Dalam sehari, sekurang-kurangnya aku bisa mandi hingga sepuluh kali. Tak ayal orang-orang menganggapku aneh dan gila, tapi memang demikianlah faktanya. Entah mengapa aku selalu merasa kotor dan jijik dengan diriku sendiri.
Pada
saat aku masih kecil, ketika kebanyakan ibu-ibu harus pontang panting memaksa
anak mereka untuk mandi, aku justru mempertontonkan sikap yang berbeda. Sebelum
ibuku menyuruhku untuk mandi, aku sudah lebih dulu mengajukan diri agar segera
dimandikan olehnya.
Momen
itu masih tertancap kuat di benakku ketika masih berada di taman kanak-kanak.
Seperti halnya pagi-pagi sebelumnya, pukul lima subuh aku telah bergeser dari
kamarku menuju kamar ibuku. Setibanya di sana, aku akan membangunkan ibuku agar
ia segera menuntunku ke kamar mandi dan bergegas
mengguyur seluruh tubuhku dengan air. Namun, saat itu ibu malah menertawakanku.
Ia kemudian berkata kalau hari itu adalah hari minggu, artinya hari libur
buatku. Jadi, aku tidak perlu buru-buru mandi sepagi itu. Ibu masih membungkus
dirinya dengan selimut ketika aku membangunkannya. Dalam keadaan setengah
mengantuk, ia terus memperingatkanku bahwa aku tidak perlu buru-buru untuk
mandi karena TK-ku juga sedang libur. Kendati demikian, aku tetap bersikeras
agar ibu segera memandikanku pagi itu juga, sebab aku menganggap diriku sudah
sedemikian kotor dan menjijikkan.
Perdebatan yang tidak terlalu sengit pun
berlangsung di antara kami. Ibu ngotot dengan argumennya bahwa aku tidak harus
mandi pagi saat itu, sedangkan aku tetap mempertahankan pendapatku kalau aku
harus segera membasuh diri dengan air. Mendengar adanya suara-suara berisik di
sekitarnya, ayah yang sedari tadi tertidur pulas di samping ibu tiba-tiba saja
bangun. Dengan memasang wajah gusar ia lantas membentakku. Ia berujar kalau
memang aku mau mandi sebaiknya aku pergi mandi sendiri saja. Ia juga
memperingatkanku kalau aku jangan dulu mengganggu mereka yang sedang kelelahan.
Lelah? Aku lantas mengamati wajah ibu erat-erat. Beberapa detik berikutnya
lantas kugeser tatapanku ke wajah ayah. Ucapan ayah barusan rupanya betul. Mereka
berdua memang tampak kelelahan seperti orang yang baru saja membajak sawah. Aku
sudah tidak peduli dengan apa yang telah mereka lakukan hingga bisa sampai
selemas itu. Yang berkobar-kobar di otakku sekarang adalah aku harus segera
membasuh badanku dengan air. Akhirnya kutinggalkan ayah dan ibu yang masih
meringkuk di balik selimut mereka. Sementara aku segera mengayunkan langkah ke
arah kamar mandi.
Aku
sudah berdiri di lantai kamar mandi tanpa sehelai benang pun yang melekat dan bersiap meraih gayung yang mengapung di dalam
bak mandi. Begitu tanganku menyentuh gagang gayung, aku terdiam sejenak. Sebuah
ide tiba-tiba saja bangkit dan menyeruduk dinding otakku. Aku lantas melepas
genggamanku pada gayung, lalu mulai merangkak naik ke atas bak mandi. Kemudian dengan
riang gembira aku langsung meloncat dan menceburkan diri ke dalamnya. Tak
pelak, suara dentuman keras terdengar mengaum dari arah bak berukuran 1x1,5
meter itu. Begitu telapak kakiku menyentuh dasar bak dan kepalaku telah
terendam sepenuhnya ke dalam air, barulah aku ingat kalau rupanya aku tak
pandai berenang. Dalam keadaan panik, aku kemudian menyibak-nyibak air sambil
berteriak dan berusaha meraih apapun yang bisa kupegang. Situasi semakin kacau
karena aku sama sekali belum berhasil menarik diri ke atas permukaan bak. Pada
titik ini aku merasa bahwa aku akan segera bersilaturahmi dengan malaikat
Izrail. Dan betapa kesalnya aku jika harus menemui ajal dengan cara konyol
seperti ini. Sungguh cara mati yang tidak keren sama sekali.
Aku
masih berusaha menggerak-gerakkan tanganku dan berupaya menyelamatkan diri dari
kubangan bak mandi yang telah menelanku. Aku tidak ingin mati dengan cara bodoh
seperti ini. Saat itulah aku mulai memutar otak dan mencoba berpikir dengan
tenang. Kuhentikan sejenak tanganku yang sedari tadi terus berontak di dalam dalam
air. Untuk beberapa detik aku hanya terdiam di dalam bak tanpa melakukan
apapun. Otakku yang masih mungil kupaksa untuk berpikir keras. Sejurus kemudian
barulah aku sadar kalau kepanikanku yang luar biasa itulah yang sebetulnya
menenggelamkanku di dalam bak mandi. Aku lantas berdiri dan mendapati tinggi
air dalam bak mandi rupanya hanya sebatas dadaku saja. Namun, saat itu pula aku
menemukan sebuah keganjilan. Air dalam bak yang semula bening tiba-tiba menjadi
keruh dan kotor seakan-akan bekas air rendaman sprei anak kos yang sudah lima
tahun tidak dicuci.
Dalam
keadaan bingung tersebut pintu kamar mandi tiba-tiba didobrak dengan kencang.
Dari mulut pintu kedua orang tuaku muncul. Wajah mereka tampak dibalut rasa
panik. Mereka berpikir kalau aku telah tenggelam dalam bak mandi karena teriakanku
barusan. Raut ketakutan di wajah mereka segera berganti menjadi merah padam
begitu menyaksikan air dalam bak yang berubah keruh tak ubahnya air parit.
Mereka beranggapan aku telah memasukkan tanah atau semacamnya ke dalam bak
mandi. Sontak tangan ibu segera menghampiri daun telingaku. Dan seperti yang
sudah kalian bayangkan, tangan ibu kemudian memilin kupingku dengan beringas.
Ia lalu menarikku dari dalam bak mandi sambil terus melampiaskan amarahnya
dengan tembakan kata-kata yang pedas. Itulah awalnya aku dipanggil Jalotok yang
dalam bahasa Batak Angkola berarti si kotor atau si keruh.
Waktu
terus bergulir. Kini aku telah masuk SMP
dan memiliki seorang adik perempuan yang baru masuk SD. Saat itu bertepatan
dengan hari libur sekolah. Ayah bermaksud mengajak kami sekeluarga untuk menikmati
liburan di Danau Toba sekaligus membawa kami jalan-jalan dengan mobil barunya.
Beberapa
hari sebelumnya sebuah mobil baru telah terparkir di halaman rumah kami.
Berjenis Toyota Kijang Innova berwarna hitam mengkilap. Ayah mengaku mendapat
rezeki dari kantornya untuk membeli mobil tersebut. Sebetulnya bukan asal
muasal uangnya untuk membeli mobil itu yang menyedot perhatianku. Aku
bertanya-tanya untuk apa pula ayah membeli mobil baru, sementara di garasi
rumah kami sudah terparkir sebuah Toyota Starlet yang sudah menemani keluarga
kami sejak aku lahir. Starlet berwarna putih susu itu memang sudah tampak tua,
usang, dan mulai sering sakit-sakitan, tapi secara keseluruhan ia masih sanggup
mengangkut kami sekeluarga mengitari kota karena ayah begitu telaten
merawatnya. Namun, ayah beralasan kalau mobil starlet itu sudah terasa sempit
untuk menampung kami berempat. Mobil keluaran tahun 80-an itu juga dianggap
tidak layak lagi untuk dibawa keluar kota. Ayah lalu menyimpulkan bahwa kami
membutuhkan mobil yang lebih luas, nyaman, dan cocok untuk menempuh perjalanan
jauh. Mendengar jawaban ayah yang cukup masuk akal, akhirnya aku hanya terdiam
dan tak ingin mendebatnya lagi.
Sore
menjelang petang, dari Padang Sidimpuan berangkatlah kami menuju Danau Toba
dengan mengendarai mobil baru. Ayah memacu mobil dengan kecepatan sedang. Andai
prediksinya tidak melenceng, sebelum jam 12 malam harusnya kami sudah tiba bila
kondisi jalan tidak macet. Apa lagi sering terjadi kemacetan begitu kendaraan
mememasuki daerah Aek Latong karena kondisi jalan yang selalu rusak dan rawan
longsor, terlebih bila diterpa musim penghujan, Kawasan Aek latong memang kerap
menguji emosi para pengendara yang merasa waktu dan tenaganya banyak terisap di
sana.
Di
dalam mobil yang melaju santai, udara AC membelai kulitku dengan lembut.
Berbeda dengan mobil starlet kami sebelumnya, udara yang mengalir dari rongga
AC mobil kijang ini rupanya jauh lebih sejuk. Kendati demikian, aku harus jujur
bila kondisi ini tiba-tiba membuat tubuhku menangkap sebuah keganjilan. Udara
AC yang memenuhi seluruh bagian mobil kurasakan seperti asap knalpot yang
nenempel di kulitku. Aku merasa seluruh badanku mendadak kotor dan menjijikkan.
Ketika kami memasuki daerah Sipirok dan sedang menunggu antrean di sebuah SPBU
untuk mengisi bahan bakar, saat itu aku mengatakan kepada ibu kalau aku ingin
mandi. Tentu saja ia kaget, karena sebelum berangkat dari rumah tadi aku sudah
mandi dari rumah. Ibuku juga heran karena AC di dalam mobil juga selalu hidup
hingga mustahil bila sekujur badanku mengeluarkan keringat. Namun, ucapan ibu
tidak kuhiraukan. Aku tetap ingin mandi saat itu juga dan menuntut ibu segera
mengambilkan handuk, peralatan mandi, serta pakaian gantiku.
Rupanya
ibu tetap bergeming. Ia tidak mengindahkan pemintaanku. Ia menganggap kalau aku
hanya mencari masalah saja, tetapi aku tidak peduli dengan anggapannya itu.
Akhirnya dengan perasaan jengkel aku lantas keluar dari pintu depan mobil an bergerak
ke arah bagasi. Di sana aku segera mengacak-acak tas dan mengambil handuk,
sabun, dan pakaian ganti. Setelahnya aku langsung bergegas menuju kamar mandi
yang berada tidak jauh dari area pengisian bensin. Kuperhatikan sorot mata ayah
dan ibu menusukku dengan tatapan yang aneh, sementara adikku yang masih kecil
terlihat sibuk dengan boneka barbienya. Namun, sekali lagi, aku tidak peduli.
Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah mandi, mandi, dan mandi.
Untunglah
perjalanan kami lancar saja sehingga kami tiba tepat waktu sebelum jam 12
malam, sesuai dengan prediksi ayah. Sesampainya di Parapat, kami pun langsung
mencari hotel untuk menginap. Dan apa yang pertama kali kulakukan ketika masuk
ke kamar hotel? Tentu saja mandi. Terpaan udara AC mobil ditambah paparan udara
AC di kamar hotel membuatku kembali merasa kotor dan jijik.
Kami
tidak lama berlibur di Danau Toba. Terhitung hanya dua malam saja. Bukan karena
kami bosan dan tidak takjub dengan keindahan panorama alam yang disuguhkan di
sana, tapi karena ibu sudah tidak
sanggup lagi membendung kejengkelannya menghadapi tingkahku yang selalu ingin
mandi. Perangaiku tersebut rupanya membuat suasana hati ayah dan ibu jadi kacau.
Terus terang aku juga tidak paham dengan keanehan yang menimpa diriku. Mereka pikir
aku sebetulnya sedang menggelar sebuah lelucon dan berusaha mencari perhatian
mereka. Apalagi sejak kelahiran adik perempuanku tersebut, harus kuakui
perhatian kedua orang tuaku memang lebih banyak tercurahkan kepadanya. Akan
tetapi, aku sama sekali tidak cemburu. Aku memang merasa sekujur badanku
tiba-tiba kotor ketika disapu oleh udara yang keluar AC mobil baru kami itu.
Beberapa
hari kemudian sepulang dari liburan yang tidak mengasyikkan itu, ibu lantas
membawaku ke seorang psikolog. Dia rupanya menganggap kalau otakku sudah
sedikit bergeser dari porosnya. Setelah melewati serangkaian tes, psikolog itu
rupanya juga merasa aneh dengan keadaan tubuhku. Ia menyimpulkan bahwa kondisi
psikologis dan mentalku sebetulnya baik-baik saja. Dan ia juga mengakui kalau
baru kali ini menghadapi kasus seperti yang kualami.
Karena
merasa tidak puas, ibu kemudian menemui psikolog lain. Dan hasil yang
dikemukakan rupanya tak jauh berbeda dengan psikolog yang pertama. Begitulah
seterusnya hingga jawaban yang ibu dapatkan selalu sama. Para psikolog itu
mengaku angkat tangan dengan kondisiku. Akhirnya ibu ikut menyerah pula dan
pasrah saja dengan keadaan tubuhku yang membingungkan ini.
Sekarang
aku sudah dewasa dan berstatus mahasiswa di sebuah kampus ternama. Aku sendiri
juga bingung kenapa bisa berada di kampus elit ini. Pasalnya, para mahasiswa
yang diterima di kampus ini harus memiliki otak yang encer, sedangkan aku sadar
dengan kemampuan otakku yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung di bawah
rata-rata. Namun, ayahku bersikeras bahwa bagaimana pun caranya aku harus bisa kuliah di kampus elit ini.
Di
kampus, hasratku untuk selalu mandi rupanya tak kunjung mereda, malah semakin ganas
saja. Kini, bukan hanya badanku saja yang kuanggap kotor dan menjijikkan.
Bahkan aku juga merasa kalau otakku juga berangsur kotor dan menjijikkan pula.
Bagaimana tidak, setiap memandang perempuan yang cantik, apa lagi bila ia
bertubuh sintal dan padat, seketika itu pula jantungku berdebar begitu hebat.
Bibirku berontak dan ingin secepatnya memagut bibir perempuan itu, kemudian
kami saling beradu kelamin di atas ranjang. Bila hasratku itu menggelora, maka
saat itu pula aku akan bergegas ke kamar mandi dan langsung mengguyur badanku
dengan air karena merasa kotor dan jijik.
Oleh
sebab itu, setiap hari apa lagi ketika berangkat kuliah aku selalu membawa
peralatan mandi dan sejumlah pakaian ganti. Rutinitas pertamaku begitu memasuki
kampus adalah mandi. Karena udara AC yang berembus dalam mobil fortuner yang
dibelikan ayah untuk transportasiku sehari-hari selalu saja membuatku merasa
kotor dan jijik. Belum lagi ketika aku memandang gadis-gadis kampus yang cantik dan montok yang sering
melintas di hadapanku. Bahkan di dalam kelas ketika dosen tengah memberikan
kuliah aku sering permisi ke kamar mandi. Dan mereka pun sudah maklum dengan
keanehanku yang selalu ingin mandi itu. Terus terang saja, aku sampai lelah
bila harus menghitung frekuensi mandiku dalam sehari.
Demikian
pula dengan teman-temanku di kampus. Meski pada awalnya mereka merasa risih
dengan kebiasaanku itu, seiring bergulirnya waktu, akhirnya mereka mulai biasa
menerima keanehanku, tapi tetap saja sesekali mereka tak bisa mengendalikan
mulut mereka lantas mencoba menggodaku. Bahkan terkadang mereka memanggilku
Jalotok si cabul. Dan nama itu rupanya sudah santer tersebar di seantero
kampus. Namun, sekali lagi, perlu kutegaskan bahwa aku tidak peduli dengan omongan
mereka. Toh, mereka tetap mau berteman denganku dan menganggap bahwa aku adalah
teman yang baik. Mereka berkata seperti itu mungkin karena aku memang sering
mentraktir mereka dan kerap pula mengajak mereka jalan-jalan dengan mobil
mewahku.
Kenangan demi kenangan semasa kecil hingga kuliah itu tiba-tiba saja berhamburan ketika aku mengendarai mobil menuju lapas untuk menjemput ayah. Sudah lima tahun ini ia mesti menikmati hidup dari balik jeruji besi karena tersangkut masalah korupsi dan hari ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun, sebelum menuju rutan, aku harus berbelok dahulu ke arah bandara untuk menjemput adik perempuanku di sana. Kebetulan ia sedang libur kuliah sekaligus ingin merayakan kebebasan ayah dan memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Sudah dua tahun ini ia memang tidak pulang karena dikurung berbagai kesibukan kuliahnya di London. Aku dan ibu tentu saja juga sangat merindukan kehadirannya
Nyaris
setengah jam aku dan ibu memupuk kesabaran di terminal kedatangan penumpang
pesawat. Beberapa saat kemudian, akhirnya adik perempuanku itu muncul juga. Dan
terus terang saja, aku mendadak pangling dan mataku seketika terbelalak hendak
keluar begitu melihatnya berjalan menghampiri kami. Dua tahun kami tak berjumpa
dan tak kusangka ternyata begitu banyak perubahan dalam dirinya. Dia jadi makin
cantik, seksi, dan berisi. Entah kenapa darahku berdesir hebat dan jantungku tiba-tiba memompa lebih cepat. Saat
itulah aku segera beranjak dan bergegas mencari lokasi kamar mandi[]
Padang Sidimpuan, 2023
Tidak ada komentar
Posting Komentar