Oleh : Hady K Harahap
Film
dokumenter berjudul “Human” yang digarap oleh Bettencourt Schueller Foundation
ini mestilah jadi tontonan wajib bagi orang-orang yang masih merasa dirinya
adalah “manusia”. Diproduksi pada tahun 2015, film yang telah mengantongi
berbagai penghargaan ini mengusung tema mengenai orang-orang yang dikucilkan
serta menjadi korban penindasan, baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik.
Dari
seluruh narasumber yang diwawancarai di film tersebut, ada satu komentar yang
berhasil menarik atensiku. Opini tersebut berasal dari seorang bocah afrika
yang kuperkirakan usianya belum genap 10 tahun. Dengan penuh ketegasan serta
sorot mata yang dalam, bocah laki-laki mengungkapkan bahwa dirinya sudah tahu untuk apa
dirinya berada di bumi, yakni melaksanakan apa yang telah Tuhan rencanakan pada
dirinya. Ia juga menambahkan bahwa di bumi ini semua orang memiliki tugasnya
masing-masing.
Hatiku
langsung terhenyak sekaligus bergetar bagai ditonjok begitu mendengar ucapan
bocah Afrika tersebut. Berkaca dari
kondisi sosial dan ekonomi anak tersebut yang berasal dari wilayah Afrika yang
bersinggungan erat dengan kemiskinan serta keterbatasan akses pendidikan, ditambah
pula usianya yang masih sangat belia, ucapannya tersebut tentu saja adalah
sebuah kemewahan hingga sukses menerbitkan rasa kagum di dada.
Kegetiran
hidup memang kerap menjelma bagai bara api yang mematangkan mentalitas berpikir,
bahkan melebihi usia yang semestinya. Begitu pula sebaliknya, kenyamanan hidup
kerap membunuh daya kritis, semangat bertumbuh, serta menghambat perkembangan
mentalitas. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa sesungguhnya kenyamanan
adalah musuh utama dari pertumbuhan. Aspek-aspek seperti kemampuan berpikir, ketahanan
mental, serta ketangguhan seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup
di masa mendatang tentu sangat dipengaruhi oleh bagaimana pola asuh yang
diberikan oleh lingkungannya, terutama orang tua. Dengan kata lain, pasti akan
tampak perbedaan kekokohan mental orang yang sedari kecil kerap dimanjakan
dengan orang yang sedari kecil sudah terbiasa dengan kemandirian. Dari segi
fisik, misalnya, pasti akan sangat berbeda
kekuatan otot dan pernapasan antara orang yang mencapai puncak gunung
dengan menggendong ranselnya sendiri dengan yang mencapai puncak berkat jasa
porter, diantar oleh kereta gantung atau bahkan helikopter.
Kembali
ke bocah Afrika tersebut. Kata-kata yang
keluar dari mulutnya adalah sebuah kejujuran yang lahir dari penderitaan yang mengendap selama
bertahun-tahun. Apa yang keluar dari mulutnya tentu tidak didikte oleh
siapapun, mengingat betapa tenang dan mantapnya ia ketika mengucapkannya. Tak
ada sedikit pun corak keraguan yang tergurat di rona wajahnya. Kita bisa
menyimpulkan bahwa peliknya kondisi sosial dan ekonomi yang membelitnya telah
mengubah dirinya bagai guru yang mendidik kemampuannya dalam memaknai dan
merenungi kehidupan. Sesuatu yang belum tentu dimiliki oleh orang dewasa
seperti kita, apalagi yang terbiasa di bawah ketiak papa dan mama.
Lihatlah
betapa kontrasnya fenomena bocah Afrika tersebut bila dibandingkan dengan
realitas masyarakat Indonesia. Di sini,
seperti yang sudah kita ketahui bahwa pola pendidikan moral kepada anak itu
sudah mengalami banyak pergeseran. Anak-anak sekarang cenderung terlalu
dimanjakan oleh orang tuanya. Bahkan sebisa mungkin menghalangi anaknya untuk
diberikan hukuman, meskipun sudah sangat jelas kalau anak tersebut telah
berbuat kesalahan, baik di dalam rumah, maupun dalam lingkup lembaga pendidikan
seperti sekolah. Banyak orang tua justru tidak suka bila anaknya diberi hukuman
oleh guru. Bahkan tidak segan-segan memarahi dan memaki si guru tersebut tepat
di depan anaknya. Pembelaan orang tua yang salah kaprah ini tentu akan menjadi
boomerang di kemudian hari. Si anak akan berkembang menjadi sosok yang arogan dan
cenderung lepas tangan terhadap setiap tindak tanduknya. Pasalnya, ia
menganggap akan selalu ada orang yang akan pasang badan membela setiap kesalahannya, sebesar apapun
kesalahan itu.
Kalau
di zamanku sekolah dulu, orang tua malah dengan senangnya menitipkan anaknya
kepada guru disekolah untuk “dihukum”. Dan bila aku mengadukannya kepada orang
tuaku, maka aku harus bersiap menerima “bonus” tambahan dari mereka. Pola
pengasuhan yang mereka berikan secara tidak langsung telah menjadi alarm
kewaspadaan buatku. Aku jadi sadar bahwa tidak akan ada satu pun pihak yang
akan melindungi setiap kesalahan yang kuperbuat. Bahkan, sebagai anak seorang
TNI yang kerap mendapat “privilege” di mata hukum, aku selalu diingatkan oleh
Bapakku supaya tetap menjaga sikap dan jangan sampai membuatnya malu, baik secara
pribadi maupun nama institusi pemerintah yang menaunginya.
Tentu
masih segar dalam ingatan kita kasus beberapa bulan lalu ketika anak seorang Dirjen
Pajak terbukti mengeroyok seorang remaja hingga sekarat. Aksi bejat yang
sebetulnya dipicu oleh persoalan sepele – yakni perempuan — itu akhirnya menyeretnya ke hadapan hukum.
Dan betapa kagetnya aku ketika menyaksikan pernyataan Dirjen Pajak itu yang menyebut bahwa apa yang telah
diperbuat oleh anaknya tersebut merupakan sebuah hal yang wajar sebagaimana yang
biasa dilakukan oleh anak-anak muda. Terus terang saja aku merasa geli
melihatnya. Anak muda “normal” macam apa yang dengan penuh suka cita mengeroyok
remaja belasan tahun hingga sekarat, Pak? Anak muda “normal” macam apa yang
masih bisa cengengesan di pengadilan setelah menghabisi remaja belasan tahun
hingga hampir mati, Pak?” Dan hingga artikel ini selesai ditulis, kasus yang
sempat menggegerkan seantor Indonesia masih tampak berlarut-larut.
Barangkali
anak Dirjen Pajak itu perlu sesekali diterjunkan ke Afrika dan berguru kepada anak-anak
di sana yang jauh lebih “matang” ketimbang dirinya yang notabene berstatus seorang
mahasiswa. Setidaknya itu lebih baik daripada ia terus berlenggak lenggok
dengan harta orang tuanya yang agak diragukan “kemurniannya” itu. []
***
Hady K Harahap atau biasa dipanggil Bang Harlen adalah alumnus dari Universitas Sumatera Utara. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Tulisan-tulisannnya pernah dimuat di Kompas dan Republika. Pria yang gemar mendaki gunung ini sekarang menetap di Padang Sidimpuan
Tidak ada komentar
Posting Komentar