.

Masyarakat Singkuang I, Hidup Menunggu Ketidakpastian

Penulis: Ali Siregar | Jurnalis Sinar Tabagsel di Madina

Hidup hanya menunggu ketidakpastian bagi masyarakat petani plasma PT Rendi Permata Raya (RPR) di Desa Singkuang I, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal (Madina).  Puluhan tahun mereka menuntut hak berupa 20% dari 3.404,37 ha luas lahan hak guna usaha (HGU) yang dikelola perusahan perkebunan kelapa sawit itu, tapi manajemen perusahaan tidak menggubris. Bahkan, Pemda Kabupaten Madina tak berpihak kepada rakyatnya karena sebagian aparatur pemerintah daerah disinyalir ingin juga mendapat jatah tanah.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan prorakyat berupa Peraturan Presiden No.2 tahun 2015 tentang RPJMN tahun 2015-2019 yang salah satu poin pentingnya ditetapkannya target pelakanaan kebijakan reformasi agraria seluas 9 juta hektar, di mana salah satu objek tanah yang akan diredistribusikan seluas 4,1 juta hektar berasal dari kawasan hutan.

Tapi, kebijakan itu kurang mendapat pengawalan dari pemerintah daerah, malah bersamaan dengan keluarnya kebijakan itu Pemda Kabupaten Madina memberi izin kepada PT Rendi Permata Raya untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan areal penggunaan lain (APL) Taman Nasional Batang Gadis (TNBG)  dan lahan hutan transmigrasi milik masyarakat Desa Singkuang I.

Pemerintah daerah yang selalu tunduk pada investor, tidak bisa berbuat banyak di hadapan PT Rendi Permata Raya,  perusahan perkebunan sawit, yang mengantongi HGU No. 02.18.00.00.2.00077 tanggal 10 Juli 2015 atas lahan seluas 3.404,37 ha. Padahal, masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Muara Batang Gadis, terang-terangan menolak kehadiran investor itu. Selain akibat mereka selalu dilarang mendekati lahan kawasan hutan APL selama puluhan tahun, juga karena areal HGU yang dikantongi PT RPR mencaplok sebagian kecil areal budidaya milik masyarakat. 

Tanah warga ada di dalam wilayah HGU, padahal pemerintah yang mengeluarkan HGU semestinya paham bahwa daerah itu merupakan lokasi transmigrasi di masa lalu. Meskipun begitu, protes masyarakat tidak digubris. Pemda Kabupaten Madina justru membela investor, dan masyarakat harus gigit jari. Apalagi setelah investor yang berkantor pusat di Kota Medan ini, memulai operasional perusahaan dengan menjual kayu-kayu yang ada di atas 3.404,37 ha lahan HGU.

Kayu yang berada pada koordinat 10 4’27,7” LU dan 9855’45,7” BT serta 10 5’13,7” LU dan 9855’34,2” BT itu, volumenya lebih 400.000 m3  berdasarkan verifikasi legalitas kayu (VLK), dijual perusahaan berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara No. 522.21/0424 tanggal 27 Februari 2017.  Pemerintah daerah di Kabupaten Madina mestinya bisa mendorong kawasan hutan itu untuk kegiatan redistribusi buat masyarakat  dalam bentuk perhutanan social atau bentuk-bentuk lain pemanfaatan hutan yang tetap menjaga fungsi hutan sebagaimana dijel;askan dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo. .

Tapi, pemerintah daerah cukup puas hanya mendapatkan bagi hasil pajak iuran hasil hutan (IHH) karena PT Rendi Permata Raya  membayar provisi sumber daya hutan  (PSDH) dan dana reboisasi (DR) yang tidak seberapa. Perusahaan itu diuntungkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak Dana Reboisasi (DR), Permendag No. 12/M-DAG/PER/3/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan PSDH, Permendag No. 22/M-DAG/PER/4/2012 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 12/M-DAG/PER/3/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Penghitungan PSDH tanggal 24 April 2012, Permenhut No. P.68/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Ganti Rugi Tegakan, dan Pengganti Nilai Tegakan dan Permen LHK Nomor P.64/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tanggal 19 Desember 2017 tentang Penetapan Harga patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provisi Sumberdaya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan.

Amarah Masyarakat

“Kami sangat dirugikan oleh PT Rendi Permata Raya, tapi pemerintah daerah tidak mendukung rakyatnya,” kata Ahmad Mubin, salah seorang warga yang ditemui Sinar Tabagsel pada Senin, 20 Maret 2023, saat menggelar aksi menutup portal milik PT RPR di Desa Singkuang I.

Ahmad Mubin, satu dari ratusan warga Desa Singkuan I,  yang memutuskan menggelar aksi untuk memprotes keberadaan PT Rendi Permata Raya di desa mereka. Aksi yang digelar Senin, 20 Maret 2023 dan berlanjut pada Selasa, 21 Maret 2023, itu merupakan aksi kesekian kali sejak Januari 2023 untuk menuntut hak petani plasma sebanyak 20% dari 3.404,37 ha luas lahan HGU perusahaan.  

Masyarakat petani plasma yang tergabung dalam Koperasi Petani Hasil Sawit Bersama (KP-HSB), mengatakan mereka terpaksa memilih jalan aksi dengan menghalangi truk-truk pembawa sawit keluar dan masuk ke lokasi perusahaan. Dengan begitu, pasokan bahan baku ke pabrik berupa tandan sawit segar ke pabrik pengolahan di dalam lokasi perusahaan akan berkurang sehingga operasional perusahaan penghasil CPO itu  akan terhenti.

“Jangan kami saja yang merugi. Biar sama-sama merugi,” kata Mulyana, petani lainnya, yang mengaku telah jengah dengan ulah PT Rendi Permata Raya.

Bertahun-tahun masyarakat menuntut hak mereka,  sebanyak 20% dari 3.404,37 ha lahan yang dikelola oleh perusahaan. Lewat Koperasi Petani Hasil Sawit Bersama (KP-HSB), yang pembentukannya menjadi syarat pemberian lahan untuk petani plasma sebagaimana amanat undang-undang, tuntutan itu telah disampaikan langsung ke pihak perusahaan secara baik-baik. Akan tetapi pihak perusahaan tidak menggubris. Masyarakat pun sudah mencoba meminta wakil mereka di DPRD Madina, tapi para anggota legislatif tidak kunjung punya solusi.

“Kami pernah ditawarkan perusaha seluas 100 hektare lahan.  Lahan mereka 3.404,37 hektare, seharusnya jatah petani plasma 20% atau lebih 100 hektare” kata Sapihudin Tampubolon, Ketua Koperasi Petani Hasil Sawit Bersama (KP-HSB). “Seratus hektare itu tidak sesuai peraturan, sedang jumlah kami sangat banyak..”

PT Rendi Permata Raya  bergeming dengan kebijakan hanya memberi 100 hektare. Keputusan perusahaan itu dipertahankan selama bertahun-tahun, membuat masyarakat petani plasma menjadi jengah.

“Kami unjukrasa damai. Kali ini kami demo di depan portal milik perusahaan,” kata Sapihudin yang disapa Buyung Umak ini.

Petani plasma yang merasa tidak ada pihak mau membantu mereka dalam memperjuangkan hak-haknya, memutuskan bermalam di depan portal milik PT RPR itu pada Senin, 20 Maret 2023 malam. Pada Selama, 21 Maret 2023, aksi itu masih berlanjut dan masyarakat meyakinkan bahwa mereka akan terus menggelar aksi sampai hak mereka atas 20% lahan budidaya PT RPR itu dipastikan untuk petani plasma.

Menurut Buyung Umak, Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal tidak mampu memperjuangkan hak-hak masyarakatnya karena tidak bisa bernegosiasi dengan pihak manajemen perusahaan sekaitan pemenuhan hak petani plasma. Padahal, masyarakat petani plasma sangat mendambakan agar pemerintah daerah mendukung kami. 

“Kami yang ada di daerah ini, sementara perusahaan itu kan pendatang,” katanya.

Buyung Uma mengatakan, pihaknya sudah melaporkan pihak PT Rendi Permata Raya ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Wilayah (Kanwil) I Sumatera bagian Utara (Sumbagut). Sebab, KPPU sebagai lembag negara yang mengurusi dan pengawas kemitraan berusaha di negeri ini, semestinya mengetahui bahwa perusahaan tidak memenuhi tanggung jawab mereka sesuai amanat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar.


Jatah Tanah untuk Aparat Pemda

Masyarakat petani plasma mendesak agar Bupati Madina, H. M. Jakfar Sukhairi Nasution, mencabut izin PT Rendi Permata Raya karena tidak menjalankan kewajiban sesuai amanah UU No.39 Thn 2014 tentang Perkebunan, Peraturan Pemerintah No.26 Thn 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian No.18 Thn 2021 tentang Menfasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitarm dan Peraturan Menteri ATR/BPN No.18 Thn 2021 tentang Pengelolaan Hak Atas Tanah yang menyebutkan perusahaan perkebunan wajib mengeluarkan 20% dari luas izin yang di milikinya untuk kebun/plasma masyarakat.

Namun, masyarakat meragukan Bupati Madina akan mampu mengambil tindakan tegas karena banyak aparat pemerintah daerah yang diam-diam juga berminat untuk mendapatkan bagian dari lahan plasma yang ada di perusahaan-perusahaan perkebunan. Sudah jadi pendapat umum,  puluhan investor perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Madina mengalokasikan lahannya untuk petani plasma yang merupakan masyarakat di sekitar areal perusahaan. Namun, dari sekian banyak jatah lahan petani plasma, aparatur pemerintah daerah di Kabupaten Madina mendapat bagian.

Dari penelusuran Sinar Tabagsel, masyarakat petani plasma di sejumlah perusahaan perkebunan sawit mengatakan, aparat pemerintah daerah miminta bagian dari  jatah lahan milik petani plasma sawit. Bagian itu harus diberikan bila masyarakat petani ingin aparatur pemerintah daerah memfasilitasi pertemuan petani plasma dengan perusahaan perkebunan sawit. Tanpa kesepakatan pembagian lahan, maka tidak ada perjanjian penyerahan lahan antara pwerusahaan perkebunan sawit dengan petani plasma sawit.

“Pembagian jatah itu terjadi saat pengesahan koperasi petani plasma,” kata Yunus, salah seorang petani plasma di Kecamatan Muara Batang Gadis. “Pemerintah daerah sering memperlambat pengesahan koperasi petani plasma sehingga perjanjian kontrak penyerahan lahan dengan perusahaan tidak bisa terjadi.”

Bahkan, tidak jarang, koperasi  petani plasma yang sudah terbentuk, mendadak pengurusnya diganti dan pemerintah daerah langsung melakukan pengesahan pengurus baru. Penyebabnya, aparat pemerintah daerah tidak mendapat jatah tanah dari jatah yang seharusnya diterima petani plasma.

“Banyak kasus pengurus koperasi dibekukan, lalu muncul pengurus baru tanpa sepengetahun pengurus lama,” kata Ilham, juga petani plasma.

Editor: Budi Hutasuhut

Tidak ada komentar

Beranda