Empat Puluh Januari dan Puisi Alex R Nainggolan Lainnya

Puisi-Puisi:  Alex R Nainggolan  


Alex R. Nainggolan. lahir di Jakarta, 16 Januari 1982.  Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Admisnistratif  Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku dipublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (cerpen/ Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (puisi/Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (cerpen/ Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (puisi/Penerbit Basabasi, 2016).

Berikut puisi-puisinya:

Januari yang Gugur

januari gugur dalam hujan dan tanggal kelahiran yang alpa dilingkari. waktu menua dalam tubuh. menghitung lepas napas yang mengeras. langit mendung seperti menenung diri. sebuah lagu masa lalu mengayun. mengabarkan angka tahun bagi diri sendiri. 40 yang mengudap. berlipat sesal kekal pada hujan yang diam-diam berbaring di jantung. dekapan istri dan anak berpayung di rongga ingatan.

De Poris Cafe, 16-01-22


Empat Puluh

I.

rongga usia memanggang januari. ada percakapan yang bertahan atau sekadar lesap di gamang hujan. berapa banyak sketsa atau kata yang tak bisa dibaca. rongga usia dan aku yang melangkah. kini aku bahagia, meski lecut duka acap bertahan jadi bara. adakah engkau menunggu bahkan saat batas waktu menjadi batu? lalu kuhitung lagi segala harap dan cinta yang pernah terlihat nyata.

II.

aku duduk di bangku kayu. membenamkan hari yang mendung. ingin menulis puisi tapi masih terlalu pagi. juga untuk mengumbar sejumlah ingin yang telah suri. kembali kutelusuri lagi semua kenangan di gawai juga di lingkaran lagu yang masih mengalun. sampai jauh...

III.

ia mungkin hanya seorang lelaki kecil dan selalu ingin  pulang ke rumah. sebelum senja menjumpai dirinya. di bangku kafe, ia melipat usia.

De Poris Cafe, 16-01-2022


Di Sudut Kafe

di sudut kafe, alunan lagu yang merantau ke masa lampau. remah senyum dan bisikan di sisi telinga. percakapan nakal. bangku kayu yang lembab  bekas hujan. dan tubuhku limbung, menempuh setiap langkah murung. meskipun terkunci pada setiap ciuman yang pernah singgah, di lembab bibir.

di sudut kafe, sepi mengurung dengan lalu-lalang orang. merampasku di becek tanah, genangan air yang tak kunjung terserap, bahkan saat telepon berdering. mengabarkan rindu yang kering.

De Poris Cafe, 16-01-2022


Empat Puluh Januari

apa yang kaubayangkan dari kelahiran? ketika tubuhmu menyimpan empat puluh januari. setiap tangis ibu telah mengendap di setiap pori. napas yang menyimpan pagi dengan bayangan matahari sunyi. tapi akan ada janji yang lain, seperti kicau burung di ranting atau lembut angin menyisir ujung daun. bagaimana bisa kautawar saat rahim ibu terbuka, mengirimkan gelombang yang lebih ganjil dari puisi?

kini kau akan bercengkrama dengan anak lelakimu. berkisah tentang sepak bola dan berita-berita lawas. ah, betapa engkau ingin kembali mengarsir dirimu dengan puluhan warna, sebelum januari kembali tiba. 

De Poris Cafe, 16-01-2022


Selepas Pagi

selepas pagi, ia menjelma jadi puisi yang paling perih. yang tak bisa dikabarkan dengan kata bahkan untuk sekadar luka. namun dari bayangan punggungmu, selalu ada wajah ibu menunggu. meski terasa tirus kurusnya membungkus. dan di kota ini, kita selamanya menjelma jas hujan yang asik menampung segala keluh oleh kenangan lepuh. padahal ia hanya ingin menikmati sendiri, segala sedih lama yang tak pernah selesai untuk dikunyah. dan di rumah, kilat runcing lelah bersemayam, di balik segala perkataan. hingga segalanya berdiam diri. mengeras di batu kata. 

26-01-2022


Mata Malam

malam adalah sebagian masa kecil yang sulit diraba. tapi ia kerap terjaga, menampung sebagian kata yang berdengung di telinga. lalu kesedihan menelusup dari celah angin, tak sempat dipilinnya semua rindu yg terlanjur rapat pada celah mata perempuan. dan ia merangkai lagi segala kalimat ihwal percakapan yang tak kunjung selesai.

Januari 2022


Residu Hujan

setalah ini langit memang masih mendung. dan engkau terkurung di rumah. melipat pagi seluruhnya ke dalam kidung. tapi masih ada tetes air dari lembab kanopi. tergelincir ke balik usia. ah, mestinya engkau mengunjungi kota lama, menikmati kuliner dan menyimpan bayangan akhir pekan dengan percakapan biasa. 

tapi dingin mengerut di sepanjang tubuh. hanya ada lampu billboard menyala, menyimpan segala prakiraan cuaca di sosmed. apakah engkau mesti selfie, meng-upload tubuh hujan yang sedang tersenyum membaca dirinya terjun menghujam tanah?

2022

Februari Terbungkus Hujan dan Pandemi

jalan bulan kedua yang terbungkus hujan. engkau tertahan di persimpangan. jalanan dipenuhi genangan. kita bertemu tanpa ada jadwal, tapi cuaca selalu meninggalkan bekas-bekas yang tak terjamah. selalu ada palang yang menghadang. meski aku tetap mengemas setiap prasangka pada dirimu.

pada langit gelap. setiap luluh hujan yang lantak. 

februari yang terbungkus pandemi. orang-orang menghitung rajah positif dari wabah. menempuh segala remah yang menyisa. tak sempat berbenah bahkan ketika sampai di halaman rumah.

2022

Di Bawah Mistar Gawang

bola adalah lingkaran doa. agar tidak masuk di gerbangmu. garba yang kehilangan kota. sebelum ia tergelincir dibawa lincah kaki. dan kata yang berlari menempus serbuan mata. supaya tak ada gol yang tercipta. 

dari kata dan doa.

2022


alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes