Penulis: Hady Kurniawan Harahap | Jurnalis Sinar Tabagsel
Kini sampah bukan lagi persoalan karena bisa diolah menjadi berbagai komoditas yang menguntungkan secara ekonomi. Jika biasanya sampah organik diolah menjadi pupuk, maka sampah anorganik seperti pelastik bisa diolah menjadi ecobrick.
Ecobrick salah satu cara ampuh mengurangi sampah plastik, serta mendaur ulangnya dengan media botol plastik untuk dijadikan sesuatu yang berguna. Teknologi ini pertama kali diperkenalkan Russel Maier. Ide ini muncul ketika seniman asal Canada tersebut sedang mencari cara mengatasi banyaknya sampah-sampah plastik yang berserakan di lingkungan sekitarnya.
Ecobrick adalah botol plastik bekas yang diisi bahan-bahan nonorganik seperti kantong kresek, bekas minuman sachet, bekas kemasan deterjen, bungkus makanan, dan lain sebagainya. Metode pembuatannya sangat sederhana. Kemasan-kemasan plastik tadi dicuci terlebih dahulu jika memang kondisinya sangat kotor dan dijemur dijemur hingga kering. Kemudian dipotong-potong berukuran beberapa senti, lalu dimasukkan ke dalam botol plastik bekas hingga padat. Berat minimal ecobrick 200 gr untuk botol plastik air mineral berukuran 600 ml. Untuk kemasan botol ukuran berbeda tinggal disesuaikan saja.
Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Angka yang mendaulat negeri ini masuk dalam 5 besar negara penghasil sampah terbesar di dunia. Prestasi yang sangat “membanggakan” tentunya.
Namun, masalah tidak hanya sampai di situ. Budaya konsumsi plastik ini dibarengi sistem pengelolaan limbahnya yang sangat buruk. Dari seluruh produksi sampah tersebut, hanya 5% yang didaur ulang dengan baik, sisanya dibakar, dan sebagian besarnya “menjelajah” ke saluran air dan laut.
Di tempatnya yang baru, plastik akan terurai menjadi mikroplastik berukuran hanya beberapa millimeter dan menjadi santapan hewan-hewan yang hidup di laut. Kemudian hewan-hewan dari sungai dan laut itu kini terhidang di meja makan kita, akhirnya di dalam tubuh kita pun telah tersebar senyawa mikroplastik. Hal ini diperkuat oleh penelitian dari Ecoton yang menyebutkan, di dalam kotoran (feses) manusia sudah terkandung butir-butir mikroplastik.
Jika data-data mencengangkan di atas tidak segera diatasi, ekosistem biota laut akan tercemar lebih parah lagi dan manusia sebagai konsumen juga akan menanggung akibatnya. Senyawa mikroplastik yang sudah bersarang di tubuh akan mengundang berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, hadirnya ecobrick diharapkan dapat menjadi solusi yang sederhana guna menekan angka limbah plastik yang semakin tidak terkendali.
Ecobrick ini bisa dijadikan bahan utama untuk membuat berbagai kerajinan dan karya seni berupa meja, kursi, bahkan bangunan. Di Bukit Lawang sejumlah kelompok masyarakat menyusun botol-botol ecobrick ini menjadi sebuah gapura, di Purwekerto telah berhasil menyulap ecobrick menjadi rangkaian pohon natal yang indah. Bahkan, tidak sedikit yang memanfaatkan material ecobrick sebagai hunian.
Upaya-upaya di atas masih belum cukup untuk menuntaskan persoalan sampah plastik di Indonesia. Dibutuhkan peran serta segenap lapisan masyarakat agar masalah ini sesegera mungkin dapat diatasi. Jika setiap rumah mampu menghasilkan setidaknya 1-2 botol ecobrick dalam sebulan yang pengerjaannya bisa dilakukan saat akhir pekan, niscaya efek negatif penggunaan kantong plastik ini bisa berkurang secara signifikan.
Posting Komentar