A.M. Hoeta Soehoet, Pahlawan Nasional dari Padang Sidimpuan

Penulis: Budi Hatees | Peneliti pada Institute Pustaha

Pada 23 Februari 2023, tepat 12 tahun H. Ali Moechtar Hoeta Soehoet pergi. Pada 23 Feberuari 2011, mantan Komandan Tentara Pelajar Indonesia di Kota Padang Sidimpuan ini meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

"Tulisan apa ini," kata A.M. Hoeta Soehoet tahun 1992, setelah dia membaca cerpen aku yang disiarkan di Harian Jayakarta--anak perusahan Grup Sinar Kasih. "Kalau saya editor koran itu, tulisan ini tak akan pernah diterbitkan."
Dia kemudian menyuruh aku menulis lagi, yang lebih bagus lagi. Tentu saja aku terus menulis. Dan, ternyata, sampai hari ini aku tak pernah mampu menghasilkan tulisan yang bagus.
Tahun 1992, aku sering mengobrol dengan A.M. Hoeta Soehoet. Dia abang (saudara paling tua) dari ayahku -- mereka sebelas orang bersaudara. Dia lahir di Gunung Baringin (sekarang Kabupaten Mandailing Natal) pada 28 Oktober 1928 (kalau aku tidak keliru).
Tanggal 28 Oktober 1928 itu punya nilai sejarah bagi bangsa kita, merupakan Hari Sumpah Pemuda. Kelak, pada tanggal 28 Oktober 1953, peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu diperingati dan menjadi tanggal saat isi Sumpah Pemuda kembali digelorakan.
Butuh 25 tahun bagi bangsa ini untuk mengaungkan kembali tiga Sumpah Pemuda itu karena situasi negara sedang tak kondusif. Sejak 1928, terlalu banyak peristiwa yang menyita perhatian setiap orang hingga puncaknya pada 17 Agustus 1945.
Namun, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Jepang datang dan Perang Dunia Kedua pecah di seluruh dunia. Setelah itu, Belanda melakukan agresi militer. Situasi negara benar-benar chaos. Belanda ingin menjajah kembali, tapi kemudian disingkirkan.
Aman, belum. Pasca kegagalan agresi Belanda, situasi politik nasional sedang goyah. Dampak perkembangan internasional banyak mempengaruhi, belum lagi kekuatan-kekuatan lokal di tanah air bermunculan untuk membangun negara baru.
Tahun 1953, ketika segala sesuatu mulai berbenah, semangat persatuan dan kesatuan digelorakan kembali dengan memperingati Hari Sumpah Pemuda. A.M. Hoeta Soehoet menjadi panitia penyelenggara peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1953 itu. Usianya 25 tahun saat itu. Dia baru beberapa tahun sampai di Batavia, datang ke sana dari Ford de Kock, pasca kembalinya pusat pemerintahan Indonesia dari Sumatra Barat ke Jakarta.
Tahun 1948, saat berjuang di Kota Padang Sidimpuan menghantam pasukan agresi militer Belanda dan ikut dalam peristiwa "Bumihangus Kota Padang Sidempuan", A.M. Hoeta Soehoet didatangi Parada Harahap.
Waktu itu, Parada Harahap mendapat pesan dari Muhammad Hatta yang sedang diasingkan Belanda pasca agresi militer pertama di Jogjakarta, meminta Parada Harahap agar mendukung Republik Indonesia Sementara (RIS) yang berpusat di Bukit Tinggi (Ford de Kock) dalam kapasitasnya sebagai orang pers.
Parada Harahap yang tinggal dan menjadi pengusaha pers di Batavia, memutuskan pulang kampung ke Padang Sidimpuan. Setelah mempersiapkan segala sesuatu untuk membangun institusi pers di Bukit Tinggi, Parada harahap kemudian memindahkan mesin cetak miliknya yang ada di Kota Padang Sidimpuan ke Kota Bukit Tinggi.
Untuk memuluskan usaha memindahakan mesin cetak itu, Parada Harahap mengajak anak-anak muda yang tergabung dalam Tentara Pelajar Indonesia di Kota Padang Sidimpuan. A.M. Hoeta Soehoet, yang merupakan Komandan Tentara Pelajar Indonesia, mendapat tanggung jawab membawa mesin itu ke Kota Bukit Tinggi.
Tak cukup hanya membawa, ternyata Parada Harahap juga menugasi A.M. Hoeta Soehoet untuk kerja di percetakan sambil belajar jurnalistik. Sejak itulah, A.M. Hoeta Soehoet berguru kepada Parada Harahap.
Kelak, setelah Ibu Kota kembali ke Jakarta, Parada Harahap juga kembali ke Jakarta. Di masa penjajahan Jepang, Parada Harahap yang unya hubungan dekat dengan Kaisar Jepang sejak 1930-an, dipercaya mengelola media propganda milik Jepang. Kelak, Parada Harahap banyak belajar dari situasi tersebut terkait bisnis media dan membuatnya menjadi The King of Java Press di Pulau Jawa.
Tidak puas hanya mendirikan surat kabar dan menjadi Raja Suratkabar, Parada Harahap kemudian mendirikan kantor berita, lalu mendirikan Akademi Wartawan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang andal di bidang jurnalistik.
A.M. Hoeta Soehoet menjadi mahasiswa angkatan pertama di Akademi Wartawan, yang kemudian menjadi Ketua Senat. Sebagai Ketua mahasiswa, dia mendapat tanggung jawab menjadi panitia peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1953 itu.
Sukses dengan peristiwa 28 Oktober 1953, A.M. Hoeta Sohoet yang merupakan mahasiswa kewartawan, mulai bekerja di sejumlah surat kabar. Dia sudah pernah bergabung dengan surat kabar milik Rosihan Anwar, lalu bergabung dengan Indonesia raya milik Mochtar Lubis.
Belakangan, Akademi Wartawan berkembang pesat. Kemudian pengelolaannya diserahkan kepada para mantan mahasiswa. A.M. Hoeta Soehoet kelak fokus mengelola perguruan tinggi yang kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Publisistik itu.
Selamat jalan A.M. Hoeta Soehoet, ayah, guru sekaligus sahabat berdebat tentang banyak hal di dunia jurnalistik dan aku tidak pernah menang.
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes