Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, mengeluhkan soal alokasi dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tahun 2022 yang hanya Rp39,85 triliun. Pasalnya, alokasi TKDD untuk Sumut pada APBD 2021 jauh lebih besar, mencapai Rp41 triliun.
Gubsu Edy berlogika dengan menghitung jumlah penduduk yang mencapai 15 juta jiwa, maka semestinya provinsi ini mendapat Rp150 triliun.
Meskipun logika yang dipakai jauh dari perhitungan APBN, kita beri saja apresiasi kepada Gubsu Edy. Keluh-kesahnya muncul sebagai wujud betapa dia perduli pada nasib rakyat yang dipimpinnya.
Dan, sungguh, ini bukan kali pertama Gubsu Edy mengeluh terkait transfer dana pusat ke daerah. Sebelumnya, tepat saat peringatan Hari Perkebunan pada 10 Desember 2021, Gubsu Edy juga mengeluhkan minimnya jatah dana bagi hasil (DBH) sawit yang diterima Sumut.
Dengan alasan Sumut sebagai provinsi terbesar kedua yang memproduksi sawit, dan telah memberikan banyak devisa untuk negara. Sewajarnya apabila jatah DBH sawit lebih besar dari yang diterima selama ini.
Yang terakhir ini hampir tiap tahun dikeluhkan, tapi realisasinya tak kunjung ada. DBH yang bersumber dari bagi hasil pajak dan retribusi itu, tidak pernah menjadi lebih banyak. Malah, jatah DBH pada tahun 2022 akan berkurang seiring berkurangnya total alokasi TKDD untuk Sumut.
Apakah jatah dana transfer TKDD bagi Sumut harus besar sebagaimana dikeluhkan Gubsu Edy? Tentu harus seperti itu, meskipun perkara TKDD bukan soal besar atau kecilnya nilai TKDD. Dan, sesungguhnya, daerah harus mulai mengurangi ketergantungan terhadap transfer dana pusat.
Badan Pemeriksa Keuangan pernah membuat survei yang menyimpulkan, dDari 503 pemerintah daerah di Indonesia, hanya 12 persen yang tidak tergantung pada pemerintah pusat. Sisanya atau 88,7 persen (443 pemda) masih belum mandiri dan masih bergantung pada dana transfer pusat.
Menurut hasil pemeriksaan BPK, 468 pemda atau 93,04 persen dari total pemda masih memegang status pengelolaan keuangan yang sama sejak 2013 hingga 2020. Ini berarti tingkat kemandirian fiskal mereka tidak berkembang dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhannya sendiri masih belum merata.
BPK telah melakukan penilaian Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) terhadap 33 provinsi di Indonesia. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, ada 10 provinsi berstatus belum mandiri. Sementara 16 provinsi lain berstatus menuju mandiri seperti Sumatera Utara.
Jadi, persoalan subtansial dari TKDD ada pada daerah sendiri, yakni ketidakmampuan daerah dalam memanfaatkan TKDD yang diterima untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Ketidakmampuan itu terungkap dari laporan Kementerian Keuangan terkait realisasi belanja daerah yang rendah.
Anggaran TKDD yang disalurkan ke daerah pada 2021 sebesar Rp780,48 triliun. Namun, realisasi hingga Semester II 2021 baru mencapai Rp373,86 triliun, atau setara dengan 47 persen dari total anggaran. Artinya, serapan anggaran dan memanfaatkan APBD yang dilakukan pemerintah daerah sangat rendah sehingga sulit membantu masyarakat.
Persoalan semakin parah karena masih banyak pemerintah daerah yang belum memenuhi syarat penyaluran TKDD sehingga penyaluran dana mengalami perlambatan. Perlambatan ini terjadi di seluruh komponen, kecuali Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik.
Salah satu komponen TKDD yang penyalurannya tertahan adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Persyaratannya tidak rumit, cukup memberikan laporan apa yang telah mereka lakukan dengan dana tersebut.
Dalam catatan Menkeu. ada 52 daerah atau 9,5 persen pemda belum memenuhi syarat salur DAU dan 118 daerah atau 21,8 persen belum memenuhi syarat salur DBH. Sejumlah pemerintah daerah di Sumut ada dalam daftar itu.
Eh, malangnya, pemda yang belum memenuhi syarat penyaluran justru menganggap ada pemotongan dana TKDD. Padahal, dana TKDD tidak disalurkan bukan karena anggarannya dipotong, tapi karena pemerintah pusat belum menyalurkan kalau pemerintah daerah belum memenuhi persyaratan sebagai bagian dari proses tata kelola yang baik.
Dengan kata lain, penyaluran TKDD harus berdasarkan kemajuan kontrak. Cuma, pemerintah daerah merasa mereka masih harus disuapi. *

Posting Komentar