Penulis: Bahri Syamsul | Editor: Budi Hutasuhut
Kereta light rail transit (LRT) Jabodebek, megaproyek transportasi PT Kereta Api Indonesia (KAI) di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, bermasalah. Sejak dimulai 2015 dan ditargetkan selesai 2019, megaproyek infrastruktur ini belum juga selesai karena terjadinya pembengkakan biaya operasional (cost overrun).
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memeriksa keuangan PT KAI dan anak perusahaannya yang ada di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Sumatra Selatan. Dari hasil pemeriksaan itu, BPKP menemukan kejangalan dalam megaproyek LRT Jabodetabek, dan merekomendasikan KAI melakukan perbaikan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan dalam kontrak.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan, KAI seharusnya memasang perangkat pengait kereta dengan sistem automatic tight coupler yang dapat dikendalikan dari kabin secara otomatis. Temuan BPKP menunjukkan, pengait yang terpasang berjenis automatic tight lock coupler standar AAR 10 yang sistemnya masih manual.
Temuan BPK ini disikapi Direktur Utama PT Industri Kereta Api (Persero), Budi Noviantoro, bahwa pihaknya memproduksi kereta sesuai kontrak awal yang ditandatangani perusahaan, bahwa komponen coupler menggunakan sistem manual.
“Komponen itu manual sesuai kontrak. Di tengah jalan, teman-teman LRT minta diganti elektrik atau otomatis. Tapi itu kan mahal,” ujar seperti diberitakan Tempo.co, Rabu, 10 November 2021.
Seperti halnya Budi Novriantoro, Executive Vice President (EVP) LRT Jabodebek dari PT Kereta Api Indonesia (Persero), Mochamad Purnomosidi, menyebut temuan BPK muncul saat pihak masih mendiskusikan adanya penyesuaian komponen ini. “Temuan BPK sudah kami jawab pada 2020,” katanya.
Katanya, perseroan telah mendiskusikan perihal pergantian komponen coupler. Pergantian komponen dianggap perlu setelah mempertimbangkan berbagai kondisi kereta setelah beroperasi secara otomatis.
Beroperasi 2022
Meskipun ada temuan BPK, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembangunan Prasarana LRT Jabodebek, Ferdian Suryo Adhi Pramono, menegaskan targetkan operasional LRT Jabodebek tidak akan bergeser dari target yang ditetapkan, yakni pada Agustus 2022.
Secara keseluruhan proses pembangunan proyek LRT Jabodetabek Tahap I telah mencapai 88,18%. Secara rinci, progres pembangunan lintas pelayanan I Cawang-Cibubur sebesar 93,96%, lintas pelayanan II Cawang-Dukuh Atas sebesar 88,31%, lintas pelayanan III Cawang-Bekasi Timur sebesar 92,57%, serta pembangunan Depo yang telah mencapai 59,89%.
Sampai saat ini, progres LRT dengan total 31 trainset atau rangkaian LRT Jabodebek telah melalui Factory Acceptance Test (FAT). “Kami targetkan proyek LRT akan beroperasi di Agustus 2022,” ujar dia dalam Press Conference di Depo LRT Jabodetabek, Rabu (10/11).
Sesuai data, hingga Oktober 2021, sebanyak 29 trainset telah selesai uji dinamis sarana dengan PT KAI (Persero) dan sebanyak 25 trainset telah selesai uji dinamis bersama dengan Dirjen Perkeretaapian.
Sementara perpanjangan LRT akan masuk pada proses pembangunan fase 2. Di dalam perencanaannya, karakteristik pembangunan LRT fase 2 akan berbeda dengan fase 1.
Dia menjelaskan, jalur kereta fase 2 mulai dari Cibubur hingga Bogor akan dibangun di atas permukaan tanah guna menghemat biaya investasi sampai 50%. “Pembangunan LRT Jabodebek lintas 2 tersebut masih dalam proses perencanaan,” katanya.
Minta Suntikan Modal
Rencana pembangunan LRT Jabodetabek lintas 2 ini masih belum tergambarkan, karena PT KAI mengalami pembengkakan dana operasional dalam membangun LRT Jabodetabek. Persoalan ekusitas ini telah disampaikan PT KAI kepada Menteri BUMN Erick Thohir, dan menteri menyampaikannya kepada pemerintah agar PT KAI mendapat suntikan modal.
"Saat ini PMN diperlukan tetapi ini tentu bukan proyek baru, tetapi proyek ini untuk pasca Covid-19, sangat penting. Penyertaan modal dibutuhkan karena pembangunan harus tetap berjalan," kata Erick dalam keterangan tertulis, Kamis (12/8/2021).
Modal itu untuk meneruskan proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan PT KAI yang sudah berjalan saat ini tapi belum selesai, termasuk LRT Jabodetabek.
Dia menegaskan, jika pembangunan infrastruktur terhenti atau mangkrak maka biayanya akan jauh lebih mahal ketika pembangunan dilanjutkan, potensi korosi pada besi atau rangka menjadi salah satu penyebabnya.
Keluhan Menteri BUMN ini, dijawab Menteri Ekonomi Sri Mulyani dengan menyuntikkan PMN (penyertaan modal negeri) sebanyak Rp 6,9 T untuk PT KAI untuk menyelesaikan dua proyek transportasi yang bermasalah, yakni LRT Jabodebek dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
"Anggaran kepada proyek LRT Jabodebek sebesar Rp 2,6 triliun untuk menutup cost overrun atau pembengkakan biaya," katanya.
Dia juga mengatakan, kendati sudah masuk dalam PSN, proyek ini kemungkinan baru memiliki nilai ekonomi setelah beberapa tahun beroperasi. Ia mengilustrasikan seperti halnya proyek tol Jagorawi yang semula dianggap tidak akan bernilai guna, kini justru disesaki kendaraan.
Proses pembangunan LRT tak sesuai target awal penyelesaian sehingga biaya terus bertambah. Proyek LRT Jabodebek yang mulai dibangun sejak 2015 ditargetkan rampung pada 2019. Setelah molor dua tahun, proyek ini ditargetkan rampung 2022. Proses konstruksi LRT Jabodebek dikerjakan PT Adhi Karya (Persero) Tbk.
LRT Jabodetabek disiapkan untuk mengoptimalkan interkonektivitas angkutan massal di wilayah megapolitan Jakarta dan sekitarnya. *
Posting Komentar