![]() |
D.R. Rialdy bersama Bupati Tapsel, Syahrul M. Pasaribu memperlihatkan sertifikat IG kopi arabika Sipirok |
Setahun lebih setelah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhumkam) RI mengeluarkan sertifikat IG (indikasi geografis) untuk kopi arabika Sipirok, namun dampaknya belum membawa perubahan signifikan seperti yang dijanjikan MPIG (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis) dan pemerintah daerah.
Februari 2019, staf ahli Kemenhumkam DR. Rialdy menyerahkan sertifikan IG kopi arabika Sipirok kepada Bupati Tapanuli Selatan Syahrul M. Pasaribu. Setelah setahun berlalu, kini para petani kopi arabika Sipirok mempertanyakan realisasi dari janji pemerintah daerah untuk mensejahterakan petani kopi.
"Ada atau tidak sertifikat IG itu, nasib kami tidak berbeda. Sekarang harga kopi malah anjlok jadi Rp18.000 per solup," kata Sobirin, petani kopi arabika pemilik satu hektare lahan atau 900 pohon di Desa Sampean. "Tidak ada guna sertifikat itu buat kami."
Tidak sedikit petani kopi arabika di Sipirok yang menyatakan hal serupa dengan Sobirin. Mahmud, pemilik 500 batang kopi arabika di Desa Ramba Sihasur, berharap agar janji-janji kesejahteraan petani kopi arabika yang pernah disampaikan MPIG segera direalisasikan.
"Kami ingin tindakan nyata, jangan hanya teori di atas kertas," kata Mahmud sembari mengungkit bahwa pengurus MPIG pernah menjanjikan harga kopi arabika Sipirok akan lebih tinggi bila memakai label atau cap sertifikat IG. "Nyatanya harga kopi justru turun."
Mahmud dan Sobirin mempertanyakan apa yang sudah dilakukan pengurus MPIG selama satu tahun terakhir sehingga label sertifikat IG itu tidak membawa pengaruh pada peningkatan kesejahteraan petani.
"Kami pernah diajak MPIG agar memakai label sertifikat IG, tapi apa hasilnya kami tidak pernah diberitahu," kata Sobirin.
Sementara itu Ardi Yunus Siregar, salah seorang penggagas sertifikat IG kopi arabika Sipirok, mengatakan gagasan mengurus sertifikat IG itu sudah dimulai sejak 2014 sebagai salah satu amanat Festival Kopi Sipirok. Pada awalnya, kata dia, para penggagas berkeyakinan bawa kopi arabika Sipirok punya potensi ekonomi yang besar, dari ulu ke ilir.
"Untuk menggarap potensi itu, kita lakukan upaya apa saja guna meningkatkan citra kopi arabika Sipirok. Kami mendengar soal sertifikt IG dan kami mengupayakan untuk mendapatkannya," katanya.
Menurut Ardi, tanpa sertifikat IG ternyata citra kopi arabika Sipirok semakin tinggi sebagai potensi ekonomi, apalagi setelah masyarakat mulai bisa menikmati minuman kopi arabika untuk alternatif kopi robusta yang selama ini dikonsmsi.
"Saya pikir tujuan awal menaikkan citra kopi arabika Sipirok sudah berhasil, makanya saya dan beberapa kawan memilih tak meneruskan gagasan sertifikat IG," katanya.
Namun, sejumlah kalangan menilai sertifikat IG itu sangat penting dengan mengkampanyekan hal-hal luar biasa tentang petani yang harus teribat ekspor kopi arabika. Padahal, sulit bagi petani untuk sekaligus berperan sebagai ekaportir kopi, sehingga sertifikat IG tak akan bermanfaat apapun.
"Mendorong petani jadi pengusaha ekspor itu mustahil," kata Yusuf, petani pemilik sehektar kopi arabika di Dusun Tanjung Medan, Desa Pahae Aek Sagala. "Kalau pemerinth mau memodali, tapi pemerintah tak akan mau."
Peliput: Budi Hutasuhut, Azis A. Siregar,
M. Sobar Harahap
Editor: Efry Nasaktion
Semoga informasi ini jadi bahan kajian buat pemerintah
Semoga
Posting Komentar