![]() |
Pakaian adat yang dipakai dalam pernikahan putri Presiden Joko Widodo dikerjakan oleh perajin asal Sipirok |
Para perajin tenun tradisonal berupa ulos dan parompa serta kerajinan manik-manik di sejumlah desa sentra kerajinan di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, mengeluh kesulitan menjual hasil produksinya.
"Para pedagang penampung di Pasar Sipirok menolak membeli seperti biasa karena barang persediaan di toko mereka masih banyak," keluh Marlina, perajin ulos warga Desa Pahae Aek Sagala, ketika ditemui di Pasar Sipirok, Rabu, 6 Mei 2020.
Marlina baru saja menawarkan ulos hasil tenunannya ke pedagang di salah satu toko souvenir yang biasa menerima hasil kerjanya. Tapi, si pedagang menolak membeli karena dagangannya tidak laku sejak Februari 2020.
"Saya tak tahu lagi mau bagaimana. Saya berharap hasil penjualan ini akan dipakai untuk uang belanja kebutuhan sehari-hari," katanya.
Dia mengatakan, satu ulos biasanya dijual Rp300.000. Ulos itu dikerjakannya secara tradisional (gedokan) selama satu pekan. Dari Rp300.000, dia akan membeli bahan baku berupa benang seharga Rp100.000, dan sisanya untuk biaya hidup sehari-hari.
"Kalau ini tak terjual, saya tak bisa beli bahan baku, dan tak bisa lagi bertenun," katanya.
Sumiati, penenun gedokan warga Desa Padangbujur, lebih beruntung. Dia mengaku bisa mejual hasil kerjanya ke Hajjah Ompu Agung di Kelurahan Hutasuhut, seorag perajin yang beralih jadi penampung hasil kerajinan para perajin.
"Kawan-kawan perajin yang memberi tahu kalau di Kelurahan Hutasuhut ada yang menampung hasil kerajinan," kata Sumiati saat ditemui di rumah Hajja Ompu Agung di Kelurahan Hutasuhut, Rabu, 6 Mei 2020.
Hajja Ompu Agung membenarkan kalau akhir-akhir ini dia menampung hasil kerajinan para perajin berupa tenun ulos, parompa, dan kerajinan manik-manik. Kata dia, sejak pandemi virus corona (Covid-19) mewabah, usaha para perajin juga terdampak.
"Tidak ada lagi pembeli hasl kerajinan, karena Covid-19 ini membuat orang menunda banyak acara adat istiadat yang menggunaan ulos dan parompa," katanya.
Selama ini, kata Hajj Ompu Agung, penjualan hasil kerajinan tenun dan manik-manik berjalan lancar karena orang boleh menggelar acara adat-istiadat seperti pernikahan. Sejak Covid-19 mewabah, pemerintah membatasi kegiatan yang mengumpulkan orang banyak, termasuk kegiatan adat-istiadat.
"Para perajin tidak mungkin berhenti berusaha. Mereka harus tetap makan," katanya.
Hajjah Ompu Agung yang menjadi perajin manik-manik sejak 1980-an, mengaku paham keluhan para perajin.
"Saya menampung hasil kerajinan mereka karena barang-barang itu bisa disimpan. Kalau situasi Covid-19 sudah pulih dan normal kembali, saya bisa menjualnya kembali," katanya.
Dia mengatakan, hanya sesama perajin yang akan saling memahami. "Sejak Maret 2020, saya sudah menampung lebih 500 lembar kain tenun ulos dan parompa dengan harga berkisar Rp250.000-Rp300.000 per lembar, tergantung kualitas pengerjaan dan bahan bakunya," katanya.
Kecamatan Sipirok sebagai ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan satu-satunya kecamatan sentra kerajinan tenun ulos, parompa, dan manik-manik. Hasil produksi para perajin ini dijual ke berbagai daerah di Sumatra Utara dan ke berbagai kota.
Meskipun begitu, pemerintah daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan kurang berperan dalam mendorong perkembangan industri kerajinan tradisional ini. Nyaris tidak ada fasilitas diberikan pemerintah kepada para perajin. Bahkan, saat perajin terdampak Covid-19, pemerintah daerah tampaknya tidak berbuat apapun.
Penulis: Budi Hutasuhut
Editor: Efry Nasaktion
Posting Komentar