Bila Petani Padi Beli Beras

Oleh Budi HateesPeneliti pada Institute Pustaha 


Saya paham betul apa yang disebut bertani dan membudidayakan padi. Sejak kecil saya sudah memegang cangkul, setiap pulang sekolah berangkat untuk meluku di sawah.  Tapi saya hanya bekerja menguras tenaga, sementara ayah saya lebih banyak berpikir.

Pada dekade 1980-an, bertani di kampung saya masih tradisional. Sawah kami tadah hujan, tak ada air di irigasi. Kami harus mempelajari tabiat iklim, mesti memahamkan kapan hujan akan turun rutin.

Pengetahuan kami diperoleh turun-temurun, dan diwariskan bukan lewat pendidikan. Kami bertani karena naluriah, dan mencangkul bagi kami merupakan tradisi.  Hidup kami jalani seperti lebah menjalani rutinitas. Kami bekerja agar bisa makan.

Kami belum paham apakah mencangkul atau menggarap tanah bisa disebut keterampilan. Kami pun tak pernah menjual hasil panen. Padi dari sawah langsung disimpan di lumbung, dan kami menyebutnya talobat. Bila lumbung kami penuh, hudup kami terjamin sampai musim panen berikutnya.

Dalam setahun, kami panen sekali. Semua hasil panen itu disimpan di lumbung. Sekali sebulan padi dalam lumbung diambil seperlunya, dijemur, dan beras untuk kebutuhan sehari-hari.

Kalau kami tidak berhemat, kami akan kehabisan beras sebelum musim panen tiba. Jika itu terjadi, kami akan berhutang kepada tetangga. Soal hemat, kami tidak perlu diajari. Leluhur kami sudah mewariskan cara berhemat, yaitu menanam padi sesuai kebutuhan.

Cuma, kami sering kedatangan tamu dan tak ada tamu yang boleh pulang sebelum makan. Kami tak pernah bisa menduga ada berapa tamu yang akan datang dalam sepekan. Bagi kami, tamu pembawa rezeki. Semakin banyak tamu, semakin banyak rezeki.

Makanya, kami tak perduli jika kekurangan beras akibat terlalu banyak tamu. Kami tak akan pernah menolak tamu, dan tak pernah membuat tamu merasa jengah saat bersama kami.

Begitu hidup kami sebagai petani, berusaha tani menanam padi hanya agar kami tidak membeli beras. Makanya, sulit menemukan ada petani yang menjual padinya di sawah, apalagi saat padi-padi itu masih berdiri.  Orang hanya menjual beras, itu pun bila keadaan mendesak.

Pada dekade 1980-an, varietas padi yang kami tanam bukan padi unggul. Padi tradisional, dan lidah kami terbiasa menikmatinya. Lalu, suatu hari, pemerintah memperkenalkan varietas padi unggul yang usia tanamnya hanya 100 hari. Saya ingat nama varietas itu Si Porang, dan kami menanamnya untuk mencoba.

Karena si Porang berusia 100 hari, maka kami menanamnya belakangan dibandingkan petani lain yang tetap menanam benih tradisional. Ayah saya yang menghitung jadwal, menduga-duga agar kami sama sama panen dengan petani yang menanam benih tradisi.

Akibatnya, saat petani lain susah selesai meluku lahan sawah, lahan kami belum disentuh. Ketika petani lain susah tanam, barulah lahan diluku. Saat petani lain sudah memupuk padi, kami baru mulai tanam.

Tradisi bertani segera berubah. Kami tak perlu sama dengan petani lain, tapi yang penting panen saat bersamaan. Petani lain kemudian menilai pola kerja kami lebih santai, lalu musim tanam berikutnya mereka mulai ikut tanam varietas padi unggul.

Sejak muncul benih unggul, tradisi bertani pun berubah. Para petani memanfaatkan benih unggul itu, merencanaan menanam padi dua kali setahun.  Musim panen pertama mereka simpan di lumbung untuk persediaan makanan keluarga, dan musim panen kedua dijual.  Hasil panen itu semakin mengubah tradisi bertani, dan akhirnya petani memilih menjual seluruh hasil panennya.

Dan hari ini banyak petani padi yang membeli beras karena hasil panennya dijual semua. Saya sendiri tidak lagi bertani, saya memilih membeli beras. Cuma, sering, saya tak menemukan kualitas beras seperti beras pada dekade 1980-an. Beras yang ada justru berbau goni, menandakan sudah lama disimpn dalam gudang. Tidak ada lagi beras baru yag harum dan nikmat.

Bila petani padi membeli beras, ada yang keliru pada cara berpikir mereka. Petani padi seharusnya tidak membeli beras karena itulah tradisi yang diwariskan leluhur.




masalah sosial budaya

PASANG IKLAN

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes