Para anggota Korp Bhayangkara memiliki beban baru di luar beban lama yang harus dipikul, yakni mempersiapkan lahan untuk budidaya tanaman pangan.
Akhir-akhir ini di sejumlah daerah di negeri ini, termasuk di Kota Padangsidimpuan, polisi berseragam resmi ikut menanam jagung, padi, dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Sebelum menanam, Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) atau yang mewakili dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), memberi pidato terkait pentingnya perkara ketahanan pangan di negeri ini.
Jauh-jauh hari sebelumnya, sebut saja di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Polri sering ikut menanam tanaman pangan, tetapi kehadiran anggota Korps Bhayangkara hanya undangan dalam kaitannya sebagai anggota Forkopimda (Forum Komunikasi Pemimpin Daerah). Saat ini, Polri bukan pihak yang diundang, sebaliknya justru pihak yang punya peran penting dalam kegiatan tanam-menanam tanaman pangan tersebut.
Polri menjadi otak budidaya tanam pangan di daerah. Mereka memikirkan lahan yang akan dipakai, jenis tanaman yang akan dibudiayakan, varietas apa yang akan ditanam, dan dari mana biaya untuk kegiatan budidaya itu..
Bersama jajaran pemerintah daerah dengan dinas terkait ketahanan pangan, Polri berdiri di garis depan sejak perencanaan penanaman tanaman pangan, proses penanaman sampai proses panen. Polri menjadi otak budidaya tanam pangan di daerah. Mereka sudah memikirkan lahan yang akan dipakai, jenis tanaman yang akan dibudiayakan, varietas apa yang akan ditanam, dan dari mana biaya untuk kegiatan budidaya itu.
Peran Polri sangat sentral. Pemerintah daerah melalui dinas terkait ketahanan pangan hanya pendukung. Para petani sebagai pekerjanya. Lahan yang digunakan milik petani dengan anggaran yang berasal dari dana desa untuk kegiatan pembangunan lumbung pangan di desa.
Menyaksikan pemandangan ini, timbul pertanyaan kenapa Polri mengurusi masalah ketahanan pangan sampai pada perkara teknis pertanian seperti jenis tanaman budidaya, varietas bibit, luas tanam, luas panen, dan lain sebagainya? Apakah Polri memiliki kompetensi untuk urusan budidaya seperti itu?
Jawaban pertanyaan itu berkaitan dengan tugas baru Polri di era Presiden Prabowo Subianto. Polri dilibatkan menjaga ketahanan pangan. Akhir November 2024 lalu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo meluncurkan Gugus Tugas Polri di bidang ketahanan pangan, di mana para Kapolda memegang tongkat komando untuk menggerak jajarannya sampai ke polisi di lingkungan masyarakat (Polmas).
Beban Baru
Para polisi yang selama ini bergiat menjaga keamanan, ketertiban umum, dan menegakkan keadilan hukum, sekarang harus ikut berperan aktif dalam stabilitas ekonomi dan sosial lewat program ketahanan pangan pemerintah. Untuk itu, polisi yang biasanya belajar hukum, memperdalam ilmu reserse, atau menambah pengalaman di bidang intelijen, sekarang harus belajar tambahan agar punya kompetensi tentang pangan bergizi.
Bisa kita bayangkan, Polmas yang selalu mengunjungi masyarakat untuk urusan keamanan dan ketertiban umum, sekarang punya tanggung jawab baru untuk memastikan apakah tanaman pangan yang dibudidayakan bertumbuh dengan bagus atau tidak.
Akibatnya, para Polmas yang selama ini jumlahnya minim sehingga satu polisi harus menjaga lebih seribu warga, akan mendapat tugas dan tanggung jawab baru yang sangat berat. Ini beban baru, sementara untuk menanggung beban lama belum masih terseok-seok akibat rasio jumlah polisi sangat minim.
Di wilayah Kota Padangsidimpuan, satu orang Polmas yang idealnya menjaga 750 warga, terpaksa harus menjaga dua sampai tiga wilayah desa. Sebab, jumlah personil Polri sangat minim.
Berdasarkan data di Mabes Polri, jumlah anggota Korps Bhayangkara saat ini sebanyak 464.248 orang atau 56,32 persen dari kebutuhan ideal berdasarkan daftar susunan personel (DSP) Polri sebanyak 824.226 orang. Di level AKBP ke bawah, terdapat kekurangan 359.978 personil.
Jumlah personil Polri belum memadai untuk menjaga seluruh warga bangsa. Bisa dipastikan, tekanan psikologis yang dialami anggota Polri akan lebih kencang karena gugus tugas ketahanan pangan ini berkaitan dengan program strategis nasional.
Kita tahu, berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2000 tentang Polri, Presiden Republik Indonesia adalah “komandan tertinggi” bagi jajaran Polri. Di hadapan kebijakan-kebijakan Presiden Prabowo Subianto, Polri harus selalu siap. Kita pun membayangkan anggota Korp Bhayangkara membawa cangkul mendatangi lahan-lahan tanaman pangan yang dibudidayakan Polri untuk mendukung program ketanahanan pangan Presiden Prabowo Subianto.
Masyarakat tidak akan pernah melihat polisi sebagai ahli budidaya jagung, tetapi tetap memposisikan polisi sebagai aparat yang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, dan tindakan-tindakan dalam ranah penegakan hukum.
Tentu saja pemandangan ini tidak enak dilihat, karena performa polisi terkait tugas dan tanggung jawab yang utama masih mengecewakan publik, dan sekarang malah harus mengurusi soal cara budidaya tanaman pangan.
Masyarakat tidak akan pernah melihat polisi sebagai ahli budidaya jagung, tetapi tetap memposisikan polisi sebagai aparat yang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, dan tindakan-tindakan dalam ranah penegakan hukum. Pertanggung jawaban Polri atas tugas utama itu yang akan dituntut publik.
Di dalam program ketahanan pangan, publik lebih menuntut agar Polri melakukan tugas pengawasan atas penggunaan uang rakyat. Tentu saja Polri hanya bertanggung jawab kepada Presiden Republic Indonesia.
Seandainya pengawasan yang dilakukan Polri terhadap program ketahanan pangan berhasil mengungkap kecuragan, hal itu akan seperti mencorengkan kotoran ke kening Presiden. Tapi, ini hanya seandainya, sebab kenyataan sering tidak seperti itu.*

Posting Komentar