Sorbatua Siallagan (64) divonis bersalah dan ditahan 2 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu, 14 Agustus 2024.
Penulis: Budi P Hutasuhut | Editor: Hady K Harahap
Duduk di kursi pesakitan di dalam gedung Pengadilan Negeri Simalungun, Sorbatua Siallagan menatap lurus ke arah hakim ketua dan hakim anggota yang ada di hadapannya. Ia mendengarkan putusan yang sedang dibacakan, yang memvonisnya bersalah karena menduduki kawasan hutan negara dan membakar hutan negara.
Di luar persidangan, masyarakat adat dari Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan, menggelar aksi ritual adat, tabur bunga dan orasi di depan gedung Pengadilan Negeri Simalungun. Papan bunga dengan pesan "Turut Berduka Cita atas Matinya Keadilan di Negara ini" dan "Terima kasih kepada hakim atas nilai keadilan untuk masyarakat adat", dipajang di sekitar Pengadilan Negeri Simalungun sebagai dukungan terhadap Sorbatua Siallagan.
Sorbatua Siallagan hanya bisa menunduk. Ia telah menyampaikan pembelaan atas dakwaan jaksa, bahwa ia membantah semua dakwaan. Pasalnya, tanah negara yang dimaksudkan dalam dakwaan itu merupakan lahan yang selama 11 tahun telah jadi tempatnya berusaha tani beliau dan lahan itu merupakan wilayah adat Ompu Umbak Siallagan.
"Pembelaan Sorbatua Siallagan tak mampu mengubah dakwaan jaksa. Hakim ketua Pengadilan Negeri Simalungun membacakan vonis terhadap Sorbatua Siallagan tanpa mempertimbangkan pembelaan itu," kata Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak- yang selama ini selalu mendampingi persidangan Sorbatua Siallagan.
menangapi putusan itu, Boy Raja Marpaung, penasihat hukum Sorbatua Siallagan yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan tidak menerima putusan tersebut. "Sorbatua jelas tidak menduduki kawasan hutan negara, karena itu wilayah adatnya," katanya.
Ia menambahkan, pihaknya mengapresiasi hakim yang bernama Agung Corry Laia yang melakukan disenting opinion (perbedaan pendapat hakim), yang menyebut Sorbatua Siallagan seharusnya bebas karena sengketa lahan secara administrasi harus diselesaikan dulu konfliknya.
Jerni Elisa Siallagan, putri Sorbatua Siallagan, menyampaikan kekecewaan atas putusan tersebut.
"Ini kelalaian negara yang belum juga mengesahkan kebijakan untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat. Makanya Bapak mengalami kriminalisasi ini. Kami akan tetap melawan," kata Jerni.
Sebelumnya tahun 2019, Sorbatua Siallagan dan beberapa komunitas masyarakat adat pernah bertemu langsung dengan Menteri KLHK Siti Nurbaya. Menteri KLH kemudian mengeluarkan surat keputusan tentang penyelesaian konflik antara masyarakat adat dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Tapi, SK tersebut belum pernah dilaksanakan.
Posting Komentar