Oleh : Bang Harlen
Bila kita memakai defenisi sampah sebagai sesuatu yang tidak berguna, maka judul di atas tampaknya sudah tepat dan tak perlu diragukan lagi. Pasalnya, sejauh ini, manusia sebagai entitas makhluk hidup yang terakhir diciptakan oleh Tuhan dan menjadi satu-satunya yang dibekali akal untuk berpikir ternyata masih belum memaksimalkan daya pikirnya ke arah yang positif, malah cenderung memberdayakannya kepada hal yang bermuara pada kerusakan. Sadar atau tidak, begitulah faktanya.
Penduduk
Indonesia misalnya. Sebagai negara yang dihuni oleh mayoritas penduduk yang
mengaku beragama Islam, kenyataannya justru banyak yang status keislamannya
masih sebatas catatan di KTP. Sebagaimana yang tertulis di dalam Surah Al Baqarah
ayat 30, faktanya, kita belum menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah yang
akan mengantarkan perubahan yang positif kepada bumi. Keislaman kita ternyata
masih sebatas ritual-ritual musiman dan belum mendarah daging serta tercermin
dalam perilaku kita sehari-hari. Di sini, aku tidak ingin menyinggung bagaimana
kualitas hubungan personal manusia dengan Tuhan, karena hal tersebut sifatnya
abstrak dan hanya Tuhan sendiri yang mampu menilainya. Keresahan utamaku adalah
bagaimana kualitas hubungan kita dengan alam.
Ketika
bersosialisasi dengan manusia, pola pikir kita lebih bersifat transaksional dan
cenderung berorientasi pada hal-hal material yang tak jarang justru berdampak
buruk di masa mendatang. Ketimbang memakai kacamata universal, kita masih kerap
mengedepankan ego dalam mengambil keputusan. Dalam berpolitikan, misalnya.
Praktik politik uang yang masih tumbuh subur di Indonesia menjadi indikator
betapa egoisnya masyarakatnya kita, baik yang berposisi sebagai pemilih maupun
sebagai objek yang dipilih.
Dari perspektif
pemilih, kita tahu, uang ratusan ribu tersebut nikmatnya hanya sesaat. Namun,
dampaknya negatifnya bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Terlebih bila
sosok yang dipilih tersebut ternyata punya rekam jejak yang buruk dan justru mengingkari
janji-janjinya yang selangit begitu dilantik. Sementara dari perspektif yang dipilih,
kita tahu, bahwa praktik politik uang adalah
bentuk pragmatisme yang dilancarkan politisi demi mendapatkan kekuasaan. Selain
itu, fenomena sosial ini tentu akan ikut menggiring bahkan mendidik masyarakat
agar ikut pragmatis juga, terutama bagi masyarakat miskin yang pastinya jarang
menerima uang ratusan ribu dalam sehari. Sebagaimana diketahui, bahwa semakin
miskin masyarakat tersebut, maka akan semakin gampang untuk tergiur dan
terlibat dengan praktik politik uang. Lantas, kita akhirnya sampai pada sebuah
pertanyaan, apakah kemiskinan adalah
suatu keadaan sosial yang disengaja agar praktik politik uang ini bisa terus awet di Indonesia? Tentu
argumentasi ini layak dipertanyakan dan didiskusikan, bahkan bila perlu diperdebatkan.
Di samping itu, suburnya
praktik nepotisme juga menjadi sebab lain mengapa laju perkembangan Indonesia berjalan layaknya
keong. Dalam manajemen dan pengelolaan Sumber Daya Manusia, para pemangku
kebijakan belum sepenuhnya memegang prinsip the
right man in the right place. Singkatnya, masih banyak posisi-posisi strategis
yang tidak ditempat oleh orang yang tepat dan tentunya memiliki kompetensi di
bidangnya. Padahal, penempatan posisi ini memegang peran yang vital dalam
kelangsungan sebuah instansi maupun organisasi.
Fakta ini
kemudian menjadi sebuah ironi bila mengingat Indonesia yang mengusung sistem
demokrasi. Idealnya, konsep demokrasi itu meniscayakan meritokrasi. Namun,
realitas politik yang kita temukan sehari-hari justru bertolak belakang dengan
meritokrasi. Coba bayangkan apa yang
terjadi seandainya seekor ikan yang terbiasa berenang dipaksa untuk terbang
hanya karena di atas pepohonan terdapat buah yang tumbuh dengan lebat.
Aku jadi
teringat beberapa waktu lalu ketika seorang anggota DPR RI tampak
membentak-bentak Nadiem Makariem selaku Menteri Kebudayaan karena dianggap tak
becus dalam bekerja dan salah dalam mengambil kebijakan. Kemudian yang cukup
membuatku termangu dan tak sanggup berkata-kata lagi adalah ketika Muhajir
Efendy yang menjabat sebagai Menteri Kordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Menko PMK) memberi usul agar korban judi online bisa mendapat
bantuan sosial. Bagaimana mungkin orang yang dengan sengaja memiskinkan dirinya
sendiri disebut layak mendapatkan bantuan sosial? Betapa lucunya ketika
argumentasi tersebut justru keluar dari mulut seorang Menteri yang membidangi
pembangunan manusia dan kebudayaan! Produk manusia macam apa yang bisa diharapkan
akan lahir jika Menterinya sendiri punya pandangan yang irasional dan cacat
logika?
Sementara itu yang
tidak kalah mengagetkanku adalah ketika salah satu pengurus pusat ormas islam
terbesar di Indonesia dengan senang hati menawarkan dirinya untuk mengelola
tambang dengan dalih butuh biaya operasional untuk menjalankan organisasi,
sementara kita tahu bahwa alih-alih memberikan sumbangsih yang besar untuk
kesejahteraan rakyat, kegiatan industri pertambangan selama ini justru lebih
banyak melahirkan kerusakan ekosistem hutan dan penderitaan bagi masyarakat di
sekitar area tambang. Serta yang terbaru adalah mengenai kebakaran rumah wartawan yang menewaskan
dirinya beserta keluarga di Kabupaten Karo. Tindakan yang tak
berperikemanusiaan ini pun diduga kuat terjadi setelah wartawan tersebut meliput
maraknya judi dan narkoba.
Selain contoh-contoh di atas, tentu masih banyak lagi betapa
pengambilan keputusan dan kebijakan di negeri ini masih diserahkan kepada
orang-orang yang tidak tepat. Kepentingan pribadi dan golongan masih menjadi orientasi
utama dalam setiap kebijakan yang diambil. Mau sampai kapan tradisi ini terus
kita biarkan? Kurang banyakkah kerusakan yang ditimbulkan akibat kekeliruan
tersebut?
Sebagai penutup,
izinkanlah aku menyampaikan sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari
: “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah
terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya
amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada
ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.”
Secara
gamblang, hadis ini menegaskan bahwa jika amanah dan posisi-posisi strategis di
tengah masyarakat diserahkan kepada orang-orang yang tidak memiliki kemampuan
dalam memimpin serta mengelola segenap potensi dan sumber daya yang ada, maka
cepat atau lambat kehancuran itu akan segera menyapa kita.
Posting Komentar