.

Emas di Mandailing Natal untuk Siapa?

Sihayo  Gold Limited, raksasa tambang di Australia memiliki 75% saham PT Sorikmas Mining yang sejak 1998 menerima kontrak karya dan berlaku sampai 2049, selama 26 tahun tak kunjung menemukan emas di lahan seluas 66.200 hektare di Kabupaten Madina, padahal tambang rakyat berhasil menemukan emas.  

Wakil Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Atika Azmi Uttami, meminta Kapolda Sumatra Utara menertibkan pelaku penambangan emas tanpa izin  (PETI) di kabupaten tersebut.  Sejumlah nama oknum yang diduga sebagai "cukong" disebutkan dalam surat itu. 

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Hady K. Harahap

Masyarakat dari beberapa desa di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal,  menyatakan protes atas kebijakan Pemda Kabupaten Madina untuk menertibkan PETI. Mereka mengaku aktivitas pertambangan itu  sangat membantu ekonomi keluarga,  dan khawatir penutupan tersebut akan berpengaruh terhadap meningkatkan angka kemiskinan. 

Protes itu disampaikan warga saat pertemuan di Aula Kantor Bupati Mandailing Natal (Madina), Kamis, 4 Maret 2024 lalu. Di dalam pertemuan yang dipimpin Wakil Bupati Atika Azmi Utammi,  warga menyatakan mendukung pertambangan dengan alasan sangat membantru perekonomian keluarga.  Mereka menyebut banyak warga yang menggantungkan hidup dari berusaha di sektor pertambangan tersebut.

Ratusan warga dari sejumlah desa di Kecamatan Kotanopan mendatangi Markas Polsek Kotanopan, Sabtu, 30 Maret 2024  malam. Massa yang terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak dan pemuda-pemudi, itu meminta agar Pertambangan Emas Tanpa Izin (Peti) jangan ditutup karena sumber mata pencaharian mereka. 

Menjadi penambang emas  bukan pekerjaan yang asing bagi sebagian besar warga sejumlah desa di daerah aliras  sungai (DAS) Batang Gadis di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Tapanuli Selatan.  Sungai beraliran sedang itu memberi masyarakat mata pencaharian sampingan, pekerjaan tradisional yang dilakukan turun-temurun,  dikerjakan seusai melakukan pekerjaan utama sebagai petani padi maupun holtikultura. 

Mereka menyebutnya manggore -- istilah tradisional masyarakat -- yakni mendulang emas dengan cara mengayak pasir yang diambil dari dasar Sungai Batang Gadis.  Alat dulang atau disebut gore  itu berbentuk seperti kuali, terbuat dari kayu, permukaannya halus,  dan memiliki cekungan yang tak terlalu dalam.  Alat itu yang digoyang-goyang warga sembari dicelupkan berkali-kali ke air sungai.

Manggore, pekerjaan mendulang emas di Kecamatan Kotanopan yang dilakukan turun-temurun dan mulai ditinggalkan masyarakat.

Tradisi ini sering dilakukan sambil mandi sepulang dari ladang.  Warga akan mengambil pasir di dasar Sungai Batang Gadis dengan tempurung kelapa atau ember,  membuat mereka harus menyelam karena kedalaman air bervariasi.  Pasir itu kemudian diayak dengan gore untuk menghilangkan tanah dan pasir yang berat jenis massanya lebih ringan dibandingkan emas. Kalau beruntung,  setelah tanah dan pasir atau material lain tersingkir, akan diperoleh emas berbentuk pasir (tepung). 

Ketika warga manggore di Sungai Batang Gadis,  pemandangan itu terlihat dari jalan Lintas Sumatra yang dibangun mengikuti alur sungai terbesar di Kabupaten Mandailing Natal itu.  Tidak cuma orang tua (laki-laki dan perempuan), tetapi anak-anak juga ikut terlibat.  Anak-anak sering membantu orang tua melakukan pekerjaan mendulang sepulang sekolah.

Terkadang, mereka mendapatkan butir-butir emas yang lebih besar,  kerikil sebesar biji beras. Namun, hasil yang diperoleh tak menentu, lebih sering mendapatkan hasil di bawah setengah gram dengan harga jual bervariasi, dari Rp50.000 sampai Rp100.000. 

Meskipun hasilnya kecil,  tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari para warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka mendulang secara tradisional agar sungai jernih tersebut tetap terjaga dan bisa menghidupi keluarganya secara turun-temurun.

Pekerjaan turun-temurun dari beberapa generasi ini bagian dari kearifan tradisional masyarakat untuk menjaga dan melestarikan Sungai Batang Gadis agar tetap bisa memberi tambahan penghasilan bagi mereka. Namun, pasca reformasi 1989, situasi kemudian berubah dan tradisi itu pun berubah. 

Para panggore (pendulang emas) tradisional itu mulai jarang melakukan aktivitas manggore di Sungai Batang Gadis. Kalau pun masih ada, hanya beberapa keluarga saja yang tampak di arus air sungai sedang manggore. 

Korporat Tambang

Aktivitas para peneliti di PT Sorikmas Mining yang tak kunjung menemukan emas selama 26 tahun  

Pekerjaan tradisional ini tidak ditinggalkan sepenuhnya, sebaliknya membuat masyarakat menjatuhkan pilihan untuk menjadikan  penambang emas sebagai pekerjaan utama.  Pilihan ini dilakukan setelah demam emas, di mana masyarakat menyadari kalau daerahnya kaya akan mineral barang tambang berupa emas dengan kadar yang sangat baik.

Di dalam Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) yang disusun dan disahkan pada era Presiden Habibie,  dibatasi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, hanya membolehkannya secara terbatas di dalam hutan produksi dan tambang tertutup (underground mining) di hutan lindung. Pada masa rezim Megawati Soekarnoputri terbit peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu 1/2004) sehingga perusahaan-perusahaan tertentu dibolehkan menambang secara terbuka (open pit) di dalam hutan lindung. 

Berbasis perppu ini Presiden Megawati kemudian menerbitkan Keppres 41/2004 yang membolehkan 13 korporasi menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektare (dari total luas izin 6.257.640.49 hektare). Dari 927.648 hektare untuk korporasi pertambangan di seluruh Indonesia,  PT Sorikmas Mining mendapat 201.600 hektare lahan di Kabupaten Mandailing Natal untuk menambang emas. 

Lahan seluas 201.600 hektare itu tertera dalam Kontrak Karya (KK)  PT SM tertanggal 19 Februari 1998.  Namun, luas wilayah Kontrak Karya itu direvisi pemerintah menjadi 66.200 hektare dalam Kontrak Karya generasi VII berdasarkan surat Keputusan Direktur Pertambangan Umum Nomor 755.K/20.01/DJP/2000 tanggal 19 Desember 2000 dengan jangka waktu hingga tanggal 6 Oktober 2049.

Dari 66.200 hektare wilayah KK PT SM,  sebanyak 63.616 hektare  terletak di Kabupaten Mandailing Natal, dan siusanya sebesar 2.584 hektare di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.  Namun, sejak beroperasi pada 19 Februari 1998, PT SM  belum menemukan emas yang konon digadang-gadang sebesar  1.4 juta ounces.  Pihak PT SM dalam berbagai pertemuan resmi dengan pemerintah mengaku,  cadangan emas 1,4 juta ounces itu terbukti kurang ekonomis.


Meskipun PT SM tidak berhasil menemukan cadangan emas di Kabupaten Madina, namun perusahaan yang merupakan patungan Australia-Indonesia ini tak kunjung angkat kaki setelah 26 tahun beroperasi.  Sebuah institusi bisnis yang mengejar profit, mustahil mampu bertahan selama 26 tahun tanpa mendapatkan keuntungan apapun dari bisnis yang dikelolanya.


Saham PT SM dikuasai Sihayo Gold Limited (SGL), sebuah perusahaan tambang milik Australia yang listing di Australian Securities Exchange (ASX) dengan kode: SIH.  SGL kemudian menunjuk Aberfoyle Pungkut Investments Pte Ltd., perusahaan investasi berbasis di Singapura,  untuk menguasai 75% saham PT SM dan 25%  saham lainnya dikuasai MIND ID--induk BUMN tambang-- yang diberikan kepada PT Aneka Tambang (ANTAM). 

Meskipun PT SM yang mengelola Proyek Sihayo Pungkut Sumatra -- begitu nama yang diberikan SGL terhadap proyek tambang emas mereka di Kabupaten Madina -- belum melakukan eksploirasi emas,  namun SGL mengkomunikasikan tambang emas di Sumatra ini kepada Australian Securities Exchange. Dalam website SGL (https://www.sihayogold.com), disebutkan, Proyek Sihayo Pungkut Sumatramerupakan proyek paling maju dengan Sumber Daya Mineral sebesar 24 Mt pada 2,0 g/t untuk 1,5 Moz kandungan emas dan Cadangan Bijih sebesar 12,5 Mt pada 2,1 g/t untuk 840 koz emas yang terkandung. 

Lahan Kontrak Karya dipromosikan sebagai prospektif mineralisasi emas dan logam dasar dengan beberapa prospek yang diidentifikasi menyasar emas yang mengandung karbonat, emas urat epitermal, skarn emas-tembaga, porfiri tembaga-emas, dan mineralisasi gaya skarn timbal-seng.

Sebab itu, perusahaan mempunyai program eksplorasi aktif termasuk pengeboran lanjutan di Proyek Sihayo Pungkut Sumatra,  pengeboran di Prospek Hutabargot Julu yang terletak 6 km sebelah selatan Proyek Emas Sihayo serta target lain di seluruh wilayah KK.

Potensi itu berkaitan dengan lokasi Proyek Sihayo Pungkut Sumatrayang bertepatan dengan Zona Sesar Trans Sumatera (TSFZ) yang produktif secara geologis dan Busur Magmatik Neogen yang terkait,  yang merupakan hasil dari tumbukan miring dua lempeng tektonik dan subduksi terkait. 

TSFZ disebut-sebut telah menguntungkan proyek emas penting,  Tabang Emas Martabe milik PT Agincourt Resources, di mana wilayah KK PT SM bersebelahan dengan wilayah KK PT Agincourt Resources.  

Menurut SGL,  Hutabargot Julu merupakan lahan multi elemen emas seluas 3,5 km x 3,0 km yang sebagian besar belum teruji anomali geokimia. Letaknya kira-kira 6 km tenggara dari lokasi Proyek Sihayo Pungkut Sumatra. Pemetaan prospek sebelumnya menunjukkan adanya area perubahan hidrotermal yang luas pada gunung berapi dan batuan vulkaniklastik. 

Pengeboran pra-muka pada urat-urat di Hutabargot Julu selama 2011-2013 menghasilkan intersep emas-perak yang signifikan.  Hutabargot Julu dianggap berpotensi prospektif

 untuk deposit emas-perak epitermal yang tersebar dalam skala besar dan secara lokal, urat emas-perak bermutu tinggi.

Dengan potensi mineral seperti itu, seharusnya Proyek Sihayo Pungkut Sumatra sudah berproduksi. Namun, SGL tampaknya menunda produksi PT SM untuk mengupayakan peningkatan nilai tambah Proyek Emas Sihayo. 


Dalam laporan keuangan SGL per 31 Desember 2023 disebutkan,  SGL akan menerapkan dua metode penambangan di Proyek Emas Sihayo. Metode tambang bawah tanah dan metode tambang permukaan akan dipilih setelah SGL melibatkan grup konsultan Mining One. 


Perubahan ini mengacu pada studi kelayakan terbaru yang dirilis pada tahun 2022, di mana proyeksi rata-rata perolehan metalurgi Proyek Sihayo Pungkut Sumatra meningkat dari 71,2% menjadi 83,6% dengan total produksi emas meningkat dari 551.000 oz menjadi 653.000 oz.

Arus kas sebelum pajak selama umur tambang telah meningkat dari 253 juta dolar AS menjadi 353 juta dolar AS, sedangkan nilai sekarang bersih setelah pajak meningkat dari 114 juta dolar AS menjadi 169 juta dolar AS, dan tingkat pengembalian internal dari 16,2% menjadi 20,4%. 

Perkiraan biaya modal awal Proyek Sihayo Pungkut Sumatra menurun dari 243 juta dolar AS menjadi 221 juta dolar AS, sementara biaya pemeliharaan keseluruhannya telah meningkat dari 972 dolar AS per oz menjadi 1.007 dolar AS per oz. 

SGL melaporkan perkiraan cadangan bijih pada Proyek Sihayo Pungkut Sumatra sebesar 11,7 juta ton dengan kadar 1,98 g/t emas untuk 747.000 oz emas yang terkandung . 

Bisnis Tambang Rakyat
Kabupaten Madina dengan sungai yang menjadi titik aktivitas Pertambang Emas Tanpa Izin (PETI)  sekaligus merupakan wilayah Kontrak Karya PT Sorikmas Mining. 

Data deposit yang dikeluarkan SGL tentang potensi mineral Proyek Sihayo Pungkut Sumatra,  dilaporkan kepada publik yang mau investasi pada saham SGL di Bursa Efek Australia. Informasi publik ini dilengkapi dengan hasil-hasil studi yang dilakukan SGL dan bisa diakses dengan mudah, sehingga deposit mineral emas dan perak di Kabupaten Madina menjadi informasi yang terbuka. 

Disadari atau tidak, informasi ini punya andil besar memunculkan penambangan liar di sekitar wilayah KK PT SM.  Pasalnya, deposit mineral emas di Kabupaten Madina yang tak kunjung ditambang PT SM  mendorong munculnya demam emas di masyarakat.  

Warga lokal yang biasa bekerja sebagai petani sawah dan ladang,  akhirnya berubah haluan menjadi penambang emas liar.  Awalnya, demam emas mendera masyarakat untuk membuka tambang emas di sekitar Kecamatan  Hutabargot. Para penambang ini awalnya menerapkan metode tambang bawah tanah, menggali lubang-lubang tambang hingga ke perut bumi untuk menelusuri urat emas. 

Para penambang yang beraktivoitas di kawasan hutan, mampu menciptakan sumber mata pencaharian baru bagi warga lainnya yakni usaha penggelondongan material galian. Unit usaha yang menawarkan jasa gelondong material hasil penggalian ini bermunculan di lingkungan masyarakat, membawa kabar baik tentang hasil penambangan berupa emas yang kadarnya sangat tinggi.

Sejak itu, demam emas melanda Kabupaten Madina. Para penambang muncul di berbagai kecamatan di Kabupaten Madina seperti Siabu, Naga Juang,  Muara Sipongi, Batang Natal. Kotanopan, Lingga Bayu, dan lain sebagainya.  Para penambang tidak hanya menerapkan metode tambang bawah tanah di kawasan hutan yang medannya sangat sulit dengan resiko tinggi tertimbun material galian.

Para penambang mulai menerapkan metode tambang terbuka yang resikonya lebih sedikit. Metode tambang terbuka ini mirip dengan manggore, pekerjaan mendulang emas secara turun-temurun. Bedanya, jika dalam manggore material yang didulang sangat sedikit, maka dalam tambang terbuka pendulangan dilakukan dengan bantuan alat-alat berat seperti eksavator. 

Sejumlah penambang emas mengaku melakukan penambangan karena PT SM tidak  kunjung beroperasi padahal deposit emas di Kabupaten Madina berlimpah.  Lambatnya operasional PT SM yang selalu beralasan hasil tambang kurang ekonomis,  justru dijawab masyarakat dengan memperoleh hasil dari tambang liar tersebut. 

"Banyak penambang yang mendadak jadi kaya raya. Kurang ekonomis bagaimana itu," kata Ahmad Suhali, seorang penambang di Hutabargot Julu. 

Sulaiman, penambang lainnya, mengatakan sebaiknya pemerintah menyerahkan  kegiatan penambangan emas kepada rakyat daripada kepada perusahaan asing yang tidak jelas kemampuannya. 

Keuntungan yang diperoleh warga saat menambang emas di beberapa titik di Kabupaten Madina, ternyata membuat demam emas mempengaruhi sejumlah pemodal yang bersedia berinvestasi.  Para pemodal yang berbasis pengusaha lokal, ramai-ramai mengalihkan investasikan ke sektor pertambangan. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit pengusaha dari berbagai daerah seperti Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidimpuan yang berinvestasi di sektor tambang. 

Para pengusaha ini ada yang menerapkan pola membeli lahan milik masyarakat untuk ditambang metode tambang terbuka menggunakan alat-alat berat. Ada juga pemilik lahan yang memberikan lahan miliknya, biasanya lahan pertanian yang berada di daerah aliran sungai, untuk ditambang oleh para pengusaha dengan sistem bagi hasil atau sistem sewa. Untuk sistem sewa, ada jangka waktu yang disepakati, dan lahan dikembalikan pemodal kepada warga pemilik lahan setelah areal bekas tambang dikembalikan lagi seperti semula.

Meskipun usaha tambang yang dilakukan tidak dapat izin dan pemerintah menyebutnya PETI (tambang emas tanpa izin),  namun usaha itu tidak  banyak dipersoalkan pemerintah setempat.  Masyarakat yang bekerja di sektor tambang semakin banyak dan meyakini usaha tersebut tidak keliru.  

PETI mulai menjadi persoalan ketika merebak kasus pencemaran sungai oleh zat yang diduga merkuri (air raksa) pada tahun 2019. Merebaknya dugaan 12 anak yang lahir cacat diduga akibat terkontaminasi limbah pembuangan tambang, sehingga Gubernur Sumatra Utara waktu itu, Edy Rahmayadi, membuat kebijakan menutup PETI di wilayah Kabupaten Madina. 

Sejak kebijakan Gubernur Edy Rahmayadi itu, keberadaan PETI menjadi sorotan.  Aksi menentang PETI muncul dari aparat penegakan hukum, mengait-kaitkan aksi PETI dengan pelanggaran peraturan-perundangan. Pelarangan semakin ketat ketika banyak penambang emas yang mendapat kecelakaan dan terkubur di lubang-lubang tambang. 

Kebijakan Setengah Hati

Kapolres Mandailing Natal, AKBP Arie Soepandi Paloh, dengan  melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi-lokasi PETI di Kecamatan Kotanopan, Sabtu, 10 Feberuari 2024. 
Ketika Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, melarang aksi PETI di Kabupaten Madina pada 2019, kebijakan itu ditindaklanjuti aparatur penegak hukum dengan melakukan operasi poenangkapan para pelaku. Aksi tersebut membuat PETI menghilang sementara, meskipun di beberapa titik di kawasan hutan masih terus berlangsung aksi penambangan bawah tanah. 

Lokasi-lokasi tambang bawah tanah yang berada di lereng-lerang pegunungan di sekitar Sorik Merapi dan kawasan Taman Nasional Batang Gadis,  sulit dijangkau sehingga aksi penutupan tidak sampai ke sana.  Lokasi tambang yang ditutup justru penambang metode lahan terbuka, yang biasanya berlokasi di DAS sungai-sungai yang ada di Kabupaten Madina atau tidak jauh dari lingkungan penduduk. 


Larangan PETI terkesan setengah hati, sehingga warga di beberapa kecamatan di Kabupaten Madina hanya berhenti saat aparat penegak hukum melakukan aksi penutupan. Namun, PETI yang oleh masyarakat disebut tambang rakyat, tetap beroperasi karena demam emas memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat.


Kebijakan penutupan PETI mestinya diimbangi pemerintah dengan memberikan alternatif pekerjaan kepada masyarakat. Namun, pemerintah tidak punya alternatif tersebut dan lebih memilih mensosialisasikan PETI sebagai tindakan kriminal yang bisa mendapat sanksi hukum. 

Digertak dengan sanksi hukum atas tindakan PETI, rakyat Kabupaten Madina yang menjadikan penambang emas sebagai mata pencahariannya justru tidak berhenti. Mereka tetap melakukan aktivitas tambang dan berlangsung secara  terbuka di hadapan publik. 

Kondisi ini terjadi di Kecamatan Kotanopan, misalnya. Di daerah ini, menurut catatan Camat Kotanopan dalam surat pengaduan yang dilaporkan kepada Bupati Madina,  terdapat 23 alat berat jenis beko (excavator) yang melakukan pengerukan tanah dalam aktivitas penambangan emas. Lokasi umumnya berada di lahan-lahan pinggiran Sungai Batang Gadis.

Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Batang Gadis di Kecamatan Kotanopan, adalah lubang-lubang bekas tambang emas ilegal.  Lubang-lubang yang digenangi air itu tercipta akibat penggunaan alat-alat berat seperti eksavator oleh para penambang. Dalam situs blibli.com,  Eksavator ISUZU CC-6BG1TRP kapasitas 1.05 m3 dengan kekuatan 128.5 kW / 2100 rpm ditawarkan seharga Rp1,3 miliar.  Harga beko merek Komatsu lebih murah, sekitar Rp300 juta sampai Rp900 juta.  

Hal ini menandakan, alat-alat berat ini mustahil dimiliki oleh masyarakat yang sering disebut sebagai pelaku penambangan liar.  Alat-alat berat yang beroperasi di Kecamatan Kotanopan milik para investor, pengusaha pemilik modal yang menjadi masyarakat sebagai pekerja tambang.  

Warga selaku pekerja tambang tidak bisa ditakut-takuti dengan sanksi hukum atas aktivitas PETI. Warga akan berhenti melakukan aktivitas penambangan apabila para pemodal pemilik alat-alat berat itu yang dihentikan aktivitasnya. Namun, aparat penegak hukum tampaknya tidak bekerja maksimal untuk menegakkan hukum, sehingga para pemodal masih bisa beraktivitas mengaktifkan PETI. 

Sebanyak 23 unit alat-alat berat di sepanjang Sungai batang gadis di Kecamatan Kotanopan tidak akan ada si sana jika aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum.  Kondisi inilah yang melatarbelakangi Pemda Madina kembali menggaungkan anti-PETI. Dimulai dari pengaduan Wakil Bupati Madina kepada Kapolda Sumatra Utara lewat surat bernomor : 660/0131/DLH/2024 tanggal 24 Januari 2024. 

Selain menyurati Kapolda, Wakil Bupati juga menggelar pertemuan dengan perwakilan warga dari Kecamatan Kotanopan.  Wakil Bupati menjanjikan, jika warga berhenti melakukan aktivitas PETI, ada peluang menjadi pertambangan legal di wilayah Kecamatan Kotanopan dengan pengajuan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) kepada pemerintah Indonesia di Jakarta. Namun, warga meragukan tawaran WPR tersebut karena kebijakan itu belum ada contohnya. 

Menindaklanjuti surat pengaduan Wakil Bupati Madina, Kapolres Mandailing Natal, AKBP Arie Soepandi Paloh, dengan  melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi-lokasi PETI di Kecamatan Kotanopan, Sabtu, 10 Feberuari 2024. Tapi, aksi Kapolres Madina hanya membawa dua alat berat yang diduga dipergunakan pelaku PETI.

Wilayah Pertambangan Rakyat

Tawaran Bupati Madina tentang melegalkan sektor pertambangan dengan mengusulkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), bisa dibilang sebagai solusi yang tidak solutif. Pasalnya, jika mengacu data pada sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) sampai Juli 2022, ada 10.120.574 hektare konsesi tambang yang diobral pemerintah kepada korporat. 

Sebelumnya jumlah izin pertambangan mencapai 11 ribu izin, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginisiasi koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi sektor pertambangan mineral dan batu bara (Korsup Minerba) jumlah izin menyusut karena banyak yang dicabut, hingga kini menjadi 6,5 ribu izin.

Dari jumlah izin itu, 4.114 izin tambang yang aktif di Indonesia. Terdiri dari 4.015 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 8 Izin Usaha Pertambangan Khsusu (IUPK), 31 Kontrak Karya (KK) dan 60 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). 

Menurut Laporan "Indonesia Tanah Air Siapa - Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi", yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara, seperlima dari izin tambang itu dimiliki/dikuasai oleh 10 grup usaha. Dua perusahaan milik BUMN, PT Timah dan PT Antam, menempati urutan teratas. Masing-masing menguasai 487.516 hektare dan 454.885 hektare. 

Pada era reformasi, terjadi “pemberontakan” perizinan oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan izin-izin tambang skala kecil-menengah melalui Kuasa Pertambangan (KP).  Namun, berdasarkan UU Minerba 4/2009 baik KK, PKP2B, maupun KP dilebur menjadi IUP,  meski hingga sekarang proses peleburan tersebut belum sepenuhnya selesai, sehingga masih ada berbagai KK yang masih aktif seperti KK PT Sorikmas Mining di Kabupaten Madina dan KK milik PT Agincourt Resources di Kabupaten Tapsel.


Dalam catatn MODI, tidak ada sama sekali izin usaha pertambangan rakyat yang diterbitkan hingga saat ini. Bahkan, pemerintah belum pernah menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan Rakyat (WIPR) sebagai basis untuk menerbitkan izin pertambangan rakyat. 


Padahal, sudah ada PP No. 25 Tahun 2023 yang dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan Wilayah Pertambangan Indonesia, di mana Gubernur memiliki peran besar bekerja sama dengan Bupati/Wali Kota di dalam menetukan wilayah pertamabangan di daerahnya. 

Namun, jika Pemda Madina tetap akan membuat kebijakan tentang penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR),  dibutuhkan kjerja pengkajian dan penelitian tentang kandungan minerba sebagaimana amanat PP 25 Tahun 2023.  Cuma, sukar bagi Pemda Madina untuk melakukan kajian dan penelitian deposit sumber daya mineral di daerahnya, mengingat investor sebesar Sihayo Gold Limited yang mengelola PT Soorikmas Mining membutuhkan 26 tahun untuk bisa mengetahui deposit mineral di Kabupaten Madina.  Tanpa keterlibatan Mining One Pty Ltd, perusahaan konsultan tambang berbasis di Melbourne, Australia. 

Semoga Pemda Madina punya solusi yang tak merugikan rakyatnya.

Tidak ada komentar

Beranda