.

Menyusu Pada Penjual Susu

 Oleh : Bang Harlen 

Cukup lama aku menimbang-nimbang apakah kisah yang kualami beberapa tahun lalu ini perlu kutuliskan agar sekiranya dapat  membuka ruang kontemplasi bagi orang lain, atau kubiarkan begitu saja mengendap dan hanya kunikmati seorang diri. 

Pertimbanganku saat itu adalah adanya sebuah anggapan yang mencengkeram otakku bahwa kisah ini tidak akan banyak mempengaruhi apalagi sampai merubah logika berpikir orang yang akan membacanya. Pasalnya, kisah ini tidak berhulu dari orang yang dapat dikatakan sukses secara ekonomi. Sebagaimana ungkapan Jack Ma yang sepintas pernah kubaca : Kalau kau belum sukses, omonganmu tidak akan pernah didengarkan. Sebaliknya, begitu kau sukses, kentutmu pun akan terasa wangi. Setidaknya begitulah logika mayoritas mayarakat kita.

Pengalaman tersebut rupanya terus menyeruduk otakku. Ia seperti menuntut haknya untuk segera terbebas dari pikiranku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menuliskannya setelah memilih judul yang kurasa lumayan asyik. Judul yang tentunya tidak mengindikasikan peristiwa fisik yang sesungguhnya. Karena saat itu, secara sadar aku tidak sedang menempelkan bibirku ke puting penjual susu itu kemudian mengisapnya dengan buas. Akan tetapi, aku menganggap bahwa omongan penjual susu itu tak ubahnya air susu yang kaya kandungan gizi dan nutrisi bagi jiwaku yang rupanya masih kering kerontang ini.

Tepatnya tiga tahun lalu, aku pernah “terkurung” di Probolinggo. Di kota yang berjuluk kota santri itulah aku bertemu dengan seorang kakek tua penjual susu yang kuperhatikan kerap menyempatkan dirinya untuk sholat zuhur di masjid setempat. Setelah beberapa hari menghimpun niat, aku lantas membulatkan tekad untuk membeli dagangannya. Dengan berbekal selembar uang lima puluh ribu, aku kemudian mencegat kakek tua itu yang tampak telah mengayuh gerobaknya begitu keluar dari masjid.

“Susunya enam ya, Pak!”

“Mau yang rasa apa Dik?” sahut kakek itu ramah sambil membuka tutup gentong yang berisi puluhan bungkus es.

Untuk beberapa detik aku mencoba mengedarkan pandanganku menjelajahi tumpukan es yang dikemas berwarna-warni tersebut. Usai mendapat sedikit pencerahan,  pilihanku akhirnya jatuh kepada varian rasa coklat, stroberi, dan vanilla. Lantas segera kusodorkan selembar uang lima puluh ribu setelah sebelumnya kakek itu menyebut harga keenam susu itu cuma seharga Rp.18.000. Sambil menebar senyum, kukatakan kepada kakek itu untuk menyimpan saja uang kembaliannya. Dan betapa terkejutnya aku ketika tawaranku justru ditolaknya mentah-mentah. Dengan tergesa-gesa, kakek itu kemudian mengulurkan beberapa lembar uang kembalian ke hadapanku.

“Ambil saja, Pak. Ini rezeki Bapak. Aku ikhlas kok.” Aku tetap bersikeras menolak uang kembalian yang ia sodorkan.

“Enggak, Dik. Saya enggak bisa menerima uang ini. Saya ini pedagang susu. Rezeki saya itu dari berapa jumlah susu yang terjual. Di luar itu berarti bukan rezeki saya. “

Jleb. Mendengar omongannya yang tak biasa itu telingaku bagai tertampar. Seperti ada sebuah tinju yang tiba-tiba  menonjok dadaku hingga memar. Jiwaku rasanya rontok seketika. Kepalaku bagai dihantam sebutir kelapa. Dalam beberapa detik, seakan-akan ada aliran listrik yang menyentak ujung rambut hingga ujung kakiku. Tak berselang lama, kulihat kakek penjual susu itu sudah berlalu dan kembali mengayuh gerobaknya. Terus terang,  ada sedikit perasaan menyesal mengapa tadinya aku tidak menghabiskan saja uang lima puluh ribu tersebut untuk memborong susu kakek itu. Kenapa tadinya aku cuma beli enam saja. Namun, aku kembali berpikir, siapa pula yang akan menghabiskan susu sebanyak itu nanti? Peristiwa dengan kakek penjual susu tersebut tiba-tiba saja membuatku mengutuk diriku sendiri. Bahkan, aku sampai sedikit menggerutu atas sikap kakek tersebut yang bagiku terlalu naïf untuk zaman yang semakin mendewakan keuntungan materi ini. Harusnya ia menerima saja uang kembalian tadi, toh itu juga bukan sebuah dosa karena aku memberinya dengan ikhlas. Sepanjang jalan pulang aku terus saja menggerutu. Kendati demikian, harus kuakui bahwa kakek penjual susu itu telah mencerahkanku mengenai konsep rezeki yang tidak banyak orang sadari.

Yang jelas, kakek tersebut bukanlah seorang pemalas. Ia adalah seorang pekerja keras karena terus berusaha memetik rezeki yang terhampar luas di kebun-kebun kehidupan ini. Namun, di sisi lain, ia tidak silau dengan yang laba yang datang secara tiba-tiba. Ia bukan orang yang bermental miskin yang terbiasa menjual rasa prihatin. Baginya, harga diri adalah harga mati. Sebagai seorang penjual susu, ia begitu teguh merawat batasan dan tak ingin menjadi orang- orang yang melampaui batas. Kemudian tanpa kuduga peristiwa ini malah membuatku jadi malu sendiri. Tanpa kusadari, secara tidak langsung aku telah meremehkan eksistensi kakek itu sebagai penjual susu dengan bersikap seolah mengasihani kemelaratan hidupnya. Secara halus aku juga telah mempertontonkan sikap sombong, sebab telah menggeser hubungan kami yang semestinya hanya berbentuk transaksi jual beli biasa antara si penjual dan si pembeli, menjadi peristiwa sumbangan antara si kaya dan miskin. Dengan semena-mena aku juga telah menempatkan posisiku sebagai "tangan di atas" dan kakek tersebut sebagai "tangan di bawah".

Fenomena sosial ini barangkali sering kita lakoni dalam kehidupan sehari-hari. Kendati maksud hati kita memang ikhlas untuk menolong orang lain yang kita anggap membutuhkan bantuan, sayangnya kita kerap menafikan reaksi psikologis si penerima bantuan yang mungkin saja dalam hatinya bisa merasa terhina dengan cara kita memperlakukannya. Betapa sempitnya otak kita yang selalu menyimpulkan bahwa “orang kecil” pasti tak punya harga diri dan menganggap hanya mereka yang memiliki pangkat, jabatan, dan mapan secara ekonomi saja yang selalu berjuang memelihara harga dirinya.

Ilmu hidup yang baru saja kuisap dari kakek penjual susu tersebut pastinya tidak akan pernah kudapatkan di seminar-seminar motivasi  yang sering digelar di gedung dan hotel berbintang. Alasannya tentu sudah jelas, siapa pula yang sudi mengundang seorang kakek berpakaian kumal dan lusuh untuk berpidato di atas podium kemudian berteriak-teriak memberikan motivasi tentang hidup, sementara penampilan dirinya saja jauh dari kesan “termotivasi”. Siapa pula yang akan rela menyisihkan waktu berharganya  menyimak celotehan kakek tua soal bagaimana membangun bisnis agar cepat melejit, sementara ia sendiri hanya penjual susu keliling yang tidak jeli menangkap peluang ekonomi yang terpampang jelas di depan mata.

Kendati demikian, jauh di palung hatiku terdalam, aku selalu berharap kelak takdir akan merajut pertemuan  kakek penjual susu tersebut dengan para pemangku kebijakan di Republik ini, agar sekiranya Bapak/Ibu yang terhormat tersebut dapat sedikit tercerahkan dengan hakikat sesungguhnya dari “rezeki". Meski terus terang lumayan pesimis bila harapan itu akan terjalin menjadi sebuah fakta.

Pertemuan dengan kakek penjual susu itu juga telah menyeretku untuk kembali bercermin. Kembali menemukan wajah yang semakin hangus dibakar hati yang serakah. Kembali memanggil pulang pikiran dan jiwa yang sudah terlalu jauh dari rumah. Kembali mengoreksi langkah yang gampang tergelincir ke tanah

Boleh saja kita menempelkan kata naïf dan tidak progresif terhadap perkembangan zaman di jidat kakek penjual susu itu. Namun, senaif-naifnya dirinya, kita harus tetap angkat topi atas kegigihannya untuk terus memelihara kehadiran Tuhan di dalam hatinya, sebuah sikap hidup yang semakin tergerus oleh kemajuan peradaban manusia yang hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi belaka.

Ah, kenapa aku baru menyadari hal ini justru di usia segini? Kenapa tidak ada yang "menyusuiku" dengan ilmu bergizi  ini sewaktu berada di bangku pendidikan dulu?



Tidak ada komentar

Beranda