Firli Bahuri, Ketua KPK yang Jadi Tersangka Pemerasan


Jurnalis: Budi P Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion

Polda Metro Jaya akhirnya menetapkan Firli Bahuri, purnawiran Polri dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal, itu sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasim Limpo. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menjadi penegas bahwa para mantan pemimpin lembaga rasuwah selalu berakhir karena bermasalah dengan hukum.

Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 23 November 2023, menegaskan penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka setelah setelah penyidik gabungan Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan Dittipidkor Bareskrim Polri memeriksa hampir seratus orang saksi sejak 9 Oktober 2023.

Cerita tentang Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang bertemu dengan tersangka kasus korupsi,  Syahrul Yasim Limpo, hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk keputusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi  trending topic di berbagai media. Publik tak fokus pada hasil pemeriksaan para saksi di Polda Metro Jaya, justru pada persoalan baru perihal apakah akronim MK adalah Mahkamah Konstitusi atau telah menjadi Mahkamah Kekuasaan.

Publik berharap Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tidak ikut-ikutan kehilangan focus. Pasalnya,  kasus Firli Bahuri bisa berdampak serius terhadap runtuhnya citra Polri sebagai lembaga penegakan hukum. Citra yang terlanjur buruk pasca kasus hukum para perwira tinggi (pati) Polri seperti  Ferdy Sambo, ini semakin membuat public kehilangan ekspektasi terhadap kinerja Polri dalam penegakan hokum di negeri ini.  Publik akan membenarkan pendapat umum yang mengatakan “hukum di negeri ini tak berlaku bagi para penegak hukum itu sendiri, karena hukum hanya bisa tajam ke bawah”. 

Sebab, selain sebagai Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri merupakan anggota Keluarga Besar Korps Bhayangkara. Keberadaannya di internal KPK menjadi semacam antiklimaks dari konflik berkepanjangan  KPK versus Polri yang  menyita konsentrasi dalam laku pemberantasan korupsi di negeri ini.  Konflik sejak era Ketua KPK Antasari Azhar sampai era Ketua KPK Agus Rahardjo,  ini menumbalkan komisioner-komisioner di KPK dan para perwira di lingkungan Mabes Polri.

Ketika mendaftar sebagai  Ketua KPK, Firli Bahuri masih menjadi Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatra Selatan dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjend). Sebagai polisi aktif yang berjabatan Kapolda, Firli Bahuri tidak mungkin mengambil keputusan sendiri untuk mendaftar sebagai Ketua KPK.  Sebagaimana para anggota Korps Bhayangkara yang masih aktif dan diperbantukan di lingkungan KPK, maka keberadaan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK bisa disebut bagian dari penugasan Mabes Polri untuk agenda besar Polri merebut kembali hak untuk menyidik dan menyelidiki perkara korupsi yang menjadi domain KPK sejak 2001. 

Sebagai anggota Polri aktif yang sedang bertugas menjadi  Ketua KPK, ada visi dan misi Polri yang harus diperjuangkan Firli Bahuri. Salah satu visi dan misi itu berkaitan sumber daya manusia (SDM) yang punya kapasitas profesional sebagai penyelidilk maupun penyidik berlimpah di lingkungan Polri, dan SDM ini berpengalaman melakukan kerja-kerja penyelidikan dan penyidikan. Kapasitas itu menjadi syarat penting untuk menghasilkan kerja penyelidikan dan penyidikan yang berkualitas, sehingga harapan-harapan dalam pemberantasan korupsi bisa direalisasikan.

Banyaknya anggota Korps Bhayangkara yang diperbantukan sebagai penyidik di KPK membuat sistem kerja penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi di KPK mengadopsi sistem kerja yang biasa dilakukan di lingkungan Polri. 

Ketika KPK dipimpin oleh pati Polri yang masih aktif, independensi KPK layak diragukan. Apalagi Firli Bahuri pernah menunjukkan kekuasaannya sebagai pati Polri dengan memecat penyidik KPK yang juga merupakan anggota Polri hanya karena perbedaan penafsiran.  Pemecatan penyidik KPK itu mempertegas bahwa loyalitas yang berlaku di lingkungan KPK adalah loyalitas yang biasa ditemukan di internal Mabes Polri.

Loyalitas kepada komandan inilah yang ditunjukkan Firli Bahuri ketika ia melepaskan jabatan sebagai Kapolda Sumatra Selatan demi menjadi Ketua KPK. Tanpa perintah dari komandan, mustahil Firli Bahuri akan berhenti jadi Kapolda Sumatra Selatan.  

Pada tataran inilah kasus hukum yang mendera Firli Bahuri akan menjadi buah simalakama. Meskipun Polda Metro Jaya terlihat begitu bersemangat melakukan penyelidikan atas dugaan kasus hokum yang melibatkan Firli Bahuri, bisa dibilang orientasi para penyelidik bukan untuk menegakkan hokum setegak-tegaknya. 

Pasalnya, puluhan saksi yang diperiksa menegaskan bahwa fakta berupa potret pertemuan Firli Bahuri dengan Syahrul Yasim Limpo masih belum memadai sebagai bukti.  Pertemuan antara penegak hokum dengan tersangka itu akan dikesankan sebagai sesuatu yang tak banyak mempengaruhi, pasalnya status Syahrul Yasim Limpo pada waktu pertemuan itu belum menjadi tersangka dalam kasus korupsi di Kementerian Pertanian.  

Polri piawai melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara hokum.  Kerja pemolisian (policing) Polri dilakukan dengan pendekatan preemptif, preventif, dan represif. Pendekatan ini sangat tergantung pada status masalah, di mana setiap status masalah hokum akan dikaitkan dengan fungsi-fungsi kepolisian yang masing-masing memiliki keahlian serta prosedur tetap. 

Citra Polri 

Polda Metro Jaya yang menangani kasus Firli Bahuri tidak akan tergesa-gesa menetapkan status tersangka, karena ada banyak hal yang harus mendapat pertimbangan. 

Pertimbangan paling subtansial, bila Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka, dengan sendirinya kepadanya akan dikenakan satu atau lebih forced measures (ditangkap, ditahan, ditembak, digeledah, disita, ataupun disadap).  Bagi  Firli Bahuri yang menjadi Ketua KPK karena penugasan pimpinan Polri,  status tersangka berimplikasi negative terhadap citra Polri.  

Ini membuktikan, anggota Polri yang masih aktif  saat menjadi Ketua KPK, tidak lebih baik dibandingkan Ketua KPK yang bukan dari lingkungan lembaga negara penegak hokum. Pada akhirnya, public akan menganggap bahwa keterpilihan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK hanya untuk melemahkan KPK sebagai lembaga antikorupsi. 

Wajar bila Polda Metro Jaya sangat hati-hati menangani kasus hokum yang melibatkan Firli Bahuri, dan terkesan lamban.  Sikap hati-hati seperti itu tidak dimiliki Polri ketika menangkap Ketua KPK Antasari Azhar, atau Ketua KPK Abraham Samad dan komisioner KPK Bambang Widjajanto beberapa tahun lkalu.  

Ketika Polri menangkap Ketua KPK, Abraham Samad, pada 2015 lalu,  berlangsung cepat dan gampang. Aksi Polri saat itu menunjukkan, respon polisi sesuai program Quick Wins dalam menjalankan kegiatan pemolisian. Renspon yang luar biasa itu menimbulkan kontroversi, membuat publik menduga-duga bahwa Abraham Samad merupakan korban politisasi dan kriminalisasi Polri, dan polisi tidak terpengaruh.  Cuma, respon polisi sebaliknya berkaitan Firli Bahuri, menjauh dari semangat program Quick Wins.


alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes