Oleh : Hady K Harahap
Tentu masih segar dalam benak kita ketika film Parasite yang pertama tayang di tahun
2019 lalu berhasil menyeret perhatian orang-orang. Bagaimana tidak? Untuk pertama
kalinya dalam sejarah film dari Asia berhasil meraih 4 kategori penghargaan dalam
Oscar 2020. Setelah setahun sebelumnya dianugerahi penghargaan bergengsi
lainnya dalam dunia film Palme d’Or Cannes 2019. Padahal, dalam catatan
sejarah, boleh dikatakan Indonesialah yang bergerak lebih dulu dan mampu
berbicara dalam festival-festival film
internasional. Buktinya, film Si Pintjang
karya Kotot Sukardi dan Pulang karya
Basuki Effendi mendapat penghargaan dalam Festival Karlovy Vary di Cekoslovakia
pada tahun 1952. Setahun kemudian, Djadug Djajakusuma lewat film Harimau Tjampa (1953) sukses menyabet
penghargaan ilustrasi musik terbaik pada Festival Film Asia Tenggara pada tahun
1955. Setahun berselang, giliran Tamu
Agung karya Usmar Ismail yang membawa pulang penghargaan sebagai film
komedi terbaik pada Festival Film Asia di Hongkong.
Tanete Pong Masak dalam bukunya Sinema Pada Masa Soekarno (2016) menyebut pada masa Demokrasi
Liberal 1950-1957 adalah tonggak suburnya produksi film dalam negeri. Ia menuturkan
telah mengidentifikasi 74 perusahaan yang memproduksi 317 film dalam kurun
waktu tersebut. “Peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah
sinema Nusantara yang bermimpi mengubah ibukota menjadi Djakartawood,” Ungkap
Tanene. Djakartawood berarti Jakarta akan dijadikan pusat perfilman serupa
Hollywood.
Harus diakui bahwa munculnya film-film berbobot tersebut tak lepas
dari pengalaman dan pembelajaran yang diperoleh para sineasnya. Semisal Usmar
Ismail, Djadug Djajakusuma tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk belajar
film dan mengasah kemampuan sinematografi mereka di Universitas California,
disusul Asrul sani dan Sitor Situmorang untuk kritik film.
Beberapa dekade pun berlalu dan Indonesia kembali mencuri
perhatian ketika nama-nama seperti Iko Uwais, Yayan Ruhiyan, dan Joe Taslim
menunjukkan aksinya lewat film laga The
Raid dan The Raid 2. Bahkan dalam
sebuah wawancara, aktor sekelas Samuel L. Jackson membeberkan bahwa film favoritnya sepanjang masa adalah The Raid 2. Meski film The Raid dan The Raid 2 sukses dan nama-nama aktornya seperti Joe Taslim yang
kemudian berhasil mengambil salah satu karakter utama sebagai Sub Zero dalam
film Mortal Kombat, bukan berarti
industri film Indonesia sudah benar-benar bagus. Pasalnya, sutradara dari film The Raid dan The Raid 2 adalah Gareth Evans yang notabene berasal dari Wales dan
bukan orang Indonesia.
Dari segi ekonomi, industri perfilman Indonesia juga mulai bangkit
kembali dan berhasil mencapai nilai total Rp.7,1 Triliun pada 2019 sebelum pandemi.
Industri film Hollywood juga disebut segera akan menargetkan pasar Indonesia.
Namun, pencapaian ini masih dianggap kurang maksimal oleh kemenparekraf karena
angka pertumbuhannya selama 10 tahun masih di bawah rata-rata pendapatan
industri kreatif. Pada 2010 kontribusi perfilman berada angka 0,43% terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB). Bahkan, pada 2015 merosot di angka 0,16% terhadap PDP.
Pencapaian tersebut tentu masih sangat jauh dari keseluruhan potensi industri
kreatif pada ekonomi nasional yang berada di angka 7,1% terhadap PDB. Menurut
peringkat global, pada 2019 Indonesia berada di urutan 16 dan kalah jauh dari
Korea Selatan yang bertengger di posisi ke-3 hingga memikat pasar
internasional.
Lantas, untuk dilirik pasar internasional dan mengambil tempat
dalam industri perfilman global seperti yang telah sukses diraih oleh Korea
Selatan, tentunya Indonesia harus terlebih
dahulu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Dengan kata lain, Indonesia
mesti mampu menahan gempuran film-film asing, baik secara kuantitas, kualitas,
maupun orisinalitas. Sebagai produk budaya, sineas Indonesia juga tidak boleh
mengesampingkan nilai-nilai lokalitas serta problematika sosial yang dihadapi
oleh masyarakat Indonesia dalam setiap film yang mereka garap. Seperti yang
pernah dikatakan oleh Soekarno bahwa produk budaya seperti musik, dance, dan
film adalah alat revolusi. Dalam bukunya Movie
as Social Critism, Ian Jarve juga mengungkapkan bahwa film bisa menuntun
masyarakat pada sebuah perubahan sosial. Dan apa yang dikemukakan oleh kedua
tokoh tersebut, tentunya sudah berhasil diterapkan dengan sangat baik oleh
Korea Selatan dengan menggaungkan “Korean Wave” ke seluruh penjuru sehingga
“Demam Korea” kini telah menjangkiti orang-orang di seluruh dunia. Sementara Indonesia,
jangankan untuk menjangkiti, kita saja masih belum bisa menjadi tuan rumah di
negara sendiri. Kita masih nyaman menjadi konsumen dan belum berani bergerak
menjadi produsen dalam skala global industri perfilman.
Aku sependapat dengan apa yang pernah diungkapkan oleh komika Ernest
Prakasa di halaman twitternya. “Musuh kita apa? Musuh utama kita adalah film
Indonesia yang asal bikin. Investasi rendah dengan berharap untung yang besar.
Merusak kepercayaan penonton. Untungnya sekarang penonton sudah lebih kritis
memilah. Banyaknya reviewer independen juga berperan penting,” tutur sutradara
film Susah Sinyal dan Teka-teki Tika tersebut. Harus diakui
bahwa film Indonesia yang diproduksi secara asal-asalan dan hanya berorientasi
pada kepentingan ekonomi belaka masih kerap disuguhkan kepada para penonton
Indonesia . Film-film tersebut cenderung hanya mengikuti tren dan sensasi, bahkan
tidak jarang cuma sekadar mengadaptasi dari buku-buku atau film-film asing.
Minimnya penggalian ide dan tema film secara lebih mendalam adalah
faktor utama rendahnya kualitas film Indonesia, tentunya di samping aspek
sinematografi dan kemampuan aktor dan aktrisnya yang ternyata juga masih banyak
yang belum memuaskan. Dan entah mengapa layar sinema Indonesia masih gatal dan terus
ketagihan untuk menampilkan orang-orang yang tenar karena sensasi, bukan karena
kemampuan acting yang mereka miliki.
Keberhasilan yang telah berhasil direngkuh oleh Korea Selatan
tentu tidak merupakan buah kerja keras para sineasnya saja, tetapi ada faktor
dukungan pemerintah di dalamnya. Tumbuhnya industri perfilman Korea dimulai
pada tahun 1990-an ketika era kebebasan sipil mulai dibuka. Pemerintah Korea
Selatan akhirnya mulai mengalihkan fokus pemerintahannya kepada industri budaya
dan hiburan ketika mendapat laporan dari Dewan Penasehat Sains dan Teknologi
yang bilang pendapatan film Jurassic Park setara dengan pemasukan ekspor 1,5
juta mobil Hyundai. Pada dekade 90-an itulah Korea Selatan mulai gencar
memasarkan film, drama, dan musiknya ke pasar internasional. Drama Korea macam What is Love All About akhirnya mulai
tayang di televisi China pada 1997. Dua tahun berselang, film layar lebar Siri rilis di bioskop dan ditonton 5,8
juta orang di Korea Selatan dan memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang oleh Titanic. Pada 2002, Winter Sonata laku keras di Asia dan Timur Tengah. Bahkan di negara
kita, drama seri ini ditayangkan ulang hingga berkali-kali. Padahal, beberapa
dekade sebelumnya, mereka masih mengandalkan pendapatan negara dari sektor
industri berat seperti kimia, otomotif, dan elektronika.
Keseriusan Korea Selatan mengembangkan industri perfilman, baik
dari para sineasnya maupun dari pihak pemerintahnya lewat kebijakan-kebijakan
yang mendukung tentu patut diacungi jempol. Harus diakui bahwa nyaris tidak ada
satu pun film atau drama seri yang produksi oleh mereka secara sembarangan dan asal
jadi. Semuanya dikerjakan secara detail dan teliti. Sehingga di masa sekarang
Korea Selatan telah mampu mengambil posisi sebagai salah satu pemain utama
dalam industri perfilman global.
Sayangnya, potensi keuntungan besar dari industri kreatif semacam
film masih belum mendapat fokus yang lebih luas dari pemerintah Indonesia. Indonesia
masih sangat menggantungkan diri kepada pasokan sumber daya alam sebagai pendapatan
negara yang memang ketersediaannya jauh melebihi Korea Selatan. Namun, mau
sampai kapan Indonesia terus mengandalkan sumber daya alam yang stoknya semakin lama
tentu akan semakin berkurang. Kita berharap pemerintah juga semestinya mulai gencar
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki untuk ikut mendobrak
perekonomian negara. Dan salah satunya adalah lewat industri kreatif bernama
film.
Ayolah, masa kita diam saja “dipecundangi” terus sama Korea yang
notabene sama-sama negara bekas jajahan Jepang?
Tidak ada komentar
Posting Komentar