Lumongga Harahap | Jurnalis Sinar Tabagsel di Jakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi di negeri kembali dapat protes. Kali ini Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI) memprotes penetapan status tersangka kepada Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto. KPK sendiri, melalui Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, meminta maaf sembari menyalahkan penyelidik.
Komandan Puspom TNI, Marsekal Muda Agung Handoko, dalam jumpa pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur, menyebut, Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai Kepala Kepala Basarnas dan anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, merupakan anggota TNI yang masih aktif.
“Kami berkeberatan kalau (mereka) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan diumumkan kepada publik,” kata Agung. "Keeberatan ini bukan untuk melindungi anggota TNI dari kesalahan yang diperbuat. Intinya saling menghormati, TNI punya aturan dan KPK juga punya aturan.”
Bagi TNI, apa yang dilakukan KPK dengan menetapkan personel militer sebagai tersangka menyalahi ketentuan. Sebab, mekanisme penetapan sebagai tersangka merupakan kewenangan TNI sebagaimana undang-undang yang berlaku.
Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, Laksamana Muda Kresno Buntoro, menjelaskan, personel militer yang diduga melanggar hukum ditindak dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Di dalam UU itu diatur mengenai masalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, dan pelaksanaan eksekusi.
Karena itu, untuk dugaan korupsi yang melibatkan Henri dan Afri Budi, seharusnya tidak ditangani sendiri oleh KPK. “Yang sipil diperiksa-diproses di KPK, sedangkan anggota militer diperiksa di Puspom TNI,” kata Kresno.
Kresno menjamin bahwa tentara yang terlibat pidana pasti ditangani secara serius. Penanganan bakal dilaksanakan seobyektif dan sebaik mungkin. Tidak ada lagi yang namanya TNI itu kebal hukum.
Di dalam peradilan militer, hanya ada tiga pihak yang bisa melakukan penangkapan dan penahanan terhadap anggota TNI. Mereka adalah atasan yang berhak menghukum, Polisi Militer, dan Oditur Militer. Selain tiga ini, pihak lain tidak punya kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan,” ujarnya.
Pemimpin KPK Salahkan Penyelidik
Pemimpin KPK diwakili oleh Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyampaikan permohonan maaf atas penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan terhadap Henri dan Afri Budi. "Kesalahan itu ada pada penyelidik. Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan, manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kami yang tangani, bukan KPK," kata Johanis.
Johanis menegaskan, KPK akan berbenah dan lebih berhati-hati dalam penanganan kasus korupsi, khususnya yang melibatkan TNI. "Ke depan, kami akan berupaya kerja sama yang baik antara TNI dan KPK," katanya.
Penyidik KPK kemudian menyerahkan Letkol Afri Budi kepada Puspom TNI.
Pada Rabu lalu, komisi antirasuah mengumumkan telah menjaring 10 orang dalam operasi tangkap tangan di Jakarta dan Bekasi, sehari sebelumnya. Operasi itu sebagai tindak lanjut atas penyidikan dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas.
Dari operasi penangkapan itulah KPK kemudian menetapkan lima tersangka.
Para tersangka itu adalah Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi; anggota TNI AU sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS), Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK), Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU), Roni Aidil.
Henri dan Afri Budi diduga menjadi penerima suap dari beberapa proyek di Basarnas pada 2021-2023. Adapun uang yang mereka terima dari berbagai vendor pemenang proyek mencapai Rp 88,3 miliar.
Posting Komentar