Kasus begal bukan tindak kriminal yang baru saja terjadi di Kota Medan, tapi sudah sering terjadi selama beberapa tahun terakhir. Korban jiwa pun sudah banyak.
Melansir data Biro Pusat Statistik (BPS) tentang Statistik Kriminal 2021, Provinsi Sumatra Utara memiliki tingkat kriminalitas tertinggi di Indonesia. Aksi-aksi kejahatan yang terjadi di mana-mana, berupa pencurian dengan pemeberatan yang acap menghilangkan nyawa manusia seperti begal dan geng motor, menjadi penyebab utamanya.
Pada 2020, Polda Sumatera Utara mencatat jumlah kejahatan di provinsi ini 32.990 kasus. Angka tersebut terdiri dari berbagai jenis kejahatan seperti kejahatan terhadap nyawa, kejahatan kesusilaan, hingga kejahatan terhadap ketertiban umum. Jumlah kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan di Provinsi Sumatera Utara mencapai 99 kasus. Angka tersebut merupakan angka tertinggi dari semua provinsi di Indonesia selama periode 2020.
Kemudian, untuk kejahatan terhadap fisik dan badan, Polda Sumut mencatat sekitar 6.207 kasus, kejahatan terhadap kesusilaan 774 kasus, kejahatan terhadap kemerdekaan orang 55 kasus, dan kejahatan terhadap hak/milik dengan kekerasan sebanyak 780 kasus. Selain itu, ada juga kejahatan terhadap hak/milik tanpa kekerasan sebanyak 10.916 kasus, kejahatan terkait narkotika 5.932 kasus, dan yang terakhir kejahatan terkait penipuan dan penggelapan 5.562 kasus.
Data-data statistik itu membuktikan, tindak kriminalitas sangat tinggi di Provinsi Sumut sejak lama. Bahkan, pada 2020, ketika tindak kejahatan berkurang dampak pandemi covid-19, di Provinsi Sumatra Utara justru tinggi.
Tingginya angka tindak kejahatan itu mensyaratkan pentingnya solusi yang solutif, terutama dari pemerintah daerah setempat dan aparat penegak hukum. Sayangnya, solusi itu tidak muncul. Pemerintah daerah terkesan menganggap tindak kejahatan yang terjadi itu masih dalam batas normal. Akibatnya, terjadi pembiaran selama bertahun-tahun, membuat para pelaku tindak kehatan merajalela.
Lantas, sekarang, mendadak upaya menindak begal digembar-gemborkan. Bermula dari pernyataan Wali kota Medan. Bobby Nasution, yang mendorong aparat penegak hukum di Kepolisian Republik Indonesia (Polri) agar--bila perlu -- menembak mati para pelaku begal. Polisi langsung menyambut dengan menembak mati begal.
Bagaimana bisa Wali Kota Medan, pemimpin yang dipilih oleh rakyat, mengusulkan tembak mati terhadap rakyatnya yang kebetulan pelaku tindak kriminal? Seorang pemimpin publik harus menerima kenyataan bahwa rakyat yang dipimpinnya berasala dari berbagai lapisan sosial, ada yang kaya raya, dan banyak yang miskin papa. Ada yang alim, tak sedikit yang menjadi pelaku tindak kriminal. Sebagai pemimpin publik, yang sangat mungkin juga terpilih karena suara dari warga yang mendekam di penjara karena semua orang punya hak suara, wajib menghormati hak asasi manusia (HAM) seluruh warganya. Mendorong agar dilakukan vonis tembak mati terhadap pelaku begal sama sekali tidak menghormati HAM seluruh warga bangsa.
Kita tahu, Wali Kota Medan mengusulkan tembak mati begal karena menilai bahwa kelakuan para begal sangat sadis, sehingga mereka layak divonis mati oleh polisi. Masyarakat pun menilai, tembak mati merupakan solusi paling tepat. Tapi, siapa pun tidak boleh melakukan vonis tembak mati tanpa keputusan dari pengadilan. Di negara hukum, setiap orang tanpa pengecualian, harus menghormati hukum yang berlaku. Membenarkan vonis tembak mati yang berarti mengabaikan azas hukum praduga tak bersalah, sama saja dengan melanggar hukum yang ada.
Wali Kota Medan menyampaikan hal yang melanggar hukum yang membuat polisi terprovokasi untuk menembak pelaku begal. Tindakan ini akan memperburuk citra Polri, yang seakan-akan mereka baru bertindak jika Kepala Daerah sudah bicara. Padahal, menangkap dan menembak pelaku tindak kriminal tidak bisa dilakukan asal-asalan. Ada aturannya, dan tidak dibenarkan anggota Polri menembak pelaku tindak kejahatan jika keselamatannya tidak terancam.
Posting Komentar