Ditinggal Investor AS, Proyek Gasifikasi Batubara Dinilai Tidak Ekonomis

Lumongga Harahap | Jurnalis SInar Tabagsel di Jakarta

Ditinggal pergi Air Products & Chemical Inc., investor Amerika Serikat,  dua Proyek Gasifikasi Batubara yang ditetapkan sebagai Proyek Starategis Nasional oleh Presiden Joko Widodo,  akhirnya dihapus.  Selain investasinya terlalu besar,  pemerintah beralasan kedua proyek itu tidak ekonomis untuk saat ini.

Masih lekat dalam ingatan saat Presiden Joko Widodo pada 24 Januari 2022 melakukan pelatakan batu pertama (groundbreaking) proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.  Proyek yang digarap PT Bukit Asam (PTBA) ini bertujuan memproduksi metanol yang punya karakteristik hampir mirip liquefied petroleum gas (LPG) sehingga bisa digunakan sebagai subtitusi.

Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG makin meningkat seiring kenaikan kebutuhan LPG tiap tahunnya.  Pasalnya, produksi LPG dalam negeri sangat terbatas. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),  hanya sekitar 1,98 juta metrik ton padahal kebutuhan konsumsi LPG sebesar 8,56 juta metrik ton per tahun. 

Pada 2022, porsi impor mencapai 78,7% dari total kebutuhan konsumsi LPG dengan biaya yang dikeluarkan untuk impor LPG mencapai Rp80 triliun per tahun.  Sebab itu,  pemerintah mencari alternatif lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG dengan mengembangkan gasifi kasi batu bara menjadi DME. 

DME adalah jenis gas turunan yang dapat diproduksi dari berbagai bahan baku, seperti batu bara, gas alam, bahkan biomassa.  Proyek Gasifikasi Batu Bara untuk memproduksi DME ini diserahkan kepada PT BA bersama PT Pertamina (Persero) dan Air Products & Chemical Inc. . Kapasitas produknya ditarget mencapai 1,4 juta metrik ton DME untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun. 

Presiden Joko Widodo menaruh harapan besar proyek strategis nasional ini dapat menekan beban impor LPG dan meminta proyek tersebut rampung dalam waktu 30 bulan. Tapi, memasuki awal 2023, Air Products sebagai investor utama mendadak cabut dari proyek dengan nilai investasi US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun itu.

Ditinggal pergi Air Products & Chemical Inc., rencana produksi DME menjadi batal. Padahal, sebagai negara pemilik sumber daya batu bara yang melimpah, Indonesia memiliki potensi tinggi untuk mengembangkan DME berbasis batu bara. Terlebih, bahan baku DME batu bara dapat menggunakan low-rank coal yang memiliki nilai kalor relatif rendah yang tidak terserap oleh PLTU batu bara. Dengan mengembangkan DME yang berasal dari sumber daya batu bara domestik,  jumlah dan beban biaya impor LPG dapat ditekan secara bertahap. 

Pemanfaatan DME juga telah dipertimbangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memproyeksikan, DME untuk dapat menggantikan 12 persen dari total konsumsi LPG mulai dari tahun 2025 sampai dengan 2030, atau bertahap dari 10,5 juta SBM di 2025 hingga 13,4 juta SBM di 2030.

Dari sisi ketahanan energi nasional dan pengurangan impor energi, pemanfaatan DME memang memberikan keuntungan. Akan tetapi, DME yang diproduksi dari batu bara memiliki potensi dampak negatif yang penting untuk diperhatikan: dampak emisi gas rumah kaca (GRK). Sementara Indonesia telah menegaskan komitmen menurunkan emisi GRK sesuai Paris Agreement sebesar 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri, atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. 

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Joint Research Center European Comission (JRC EC), proses produksi DME dari batu bara menghasilkan emisi sebesar 153 kg CO2/SBM dan proses pembakaran DME menghasilkan emisi sebesar 412 kg CO2/SBM. Emisi pembakaran DME tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan emisi pembakaran LPG 386 kg CO2/SBM. 

Menimbang dampak positif dan negatif dari pemanfaatan DME batu bara, jika Indonesia berencana memanfaatkan energi tersebut Indonesia perlu mempertimbangkan upaya-upaya penetralan emisi yang dihasilkan dari pemanfaatan DME. 

Proyek Strategis Nasional

Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI pada 21 November 2022 lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif memaparkan bahwa Proyek Gasifikasi Batubara PT. Bukit Asam (PTBA) menjadi DME akan Commercial Operation Date (COD) pada kuartal empat tahun 2027. PTBA akan memproduksi DME sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan bahan baku batubara sebanyak 6 juta ton per tahun.

Jika proyek itu berjalan, pemerintah dapat menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahun, sehingga akan ada penghematan devisa impor LPG sebesar 9,1 triliun rupiah per tahun, serta akan menambah investasi sebesar USD 2,1 miliar. 

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahap konstruksi proyek gasifikasi batubara menjadi DME akan menyerap sebanyak 10.600 tenaga kerja, sedangkan pada tahap operasi akan menyerap 8.000 tenaga kerja.  

Sementara itu, benefit bagi PTBA adalah termanfaatkannya batubara kalori rendah GAR<4000 kalori yang selama ini memiliki nilai jual rendah. Kemudian PT Pertamina (Persero), sebagai penyerap produk DME, akan mendapatkan marjin dari penjualan dan menjadi satu-satunya distributor penjualan DME.

Melihat keuntungan dari Proyek Gasifikasi batubara ini, pemerintah mencantumkannya sebagai Proyek Strategis Nasional di dalam Perpres No 109 Tahun 2020 tanggal 20 November 2020. 

Pemerintah bahkan membuka Proyek Gasifikasi Batubara yang kedua  di Bengalong, Kalimantan Timur. Proyek ini dikerjakan konsorsium Bakrie Group-- PT Bumi Resources Tbk., PT Ithaca Resources, dan Air Products & Chemical Inc. -- yang  membentuk usaha PT Air Products East Kalimantan (PT APEK). 

PT APEK  bersama PT Kaltim Prima Coal (KPC) berkomitmen membangun industri metanol senilai Rp33 triliun lewat penghiliran batu bara di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Namun,  belum separuh jalan, Air Products & Chemical Inc. keluar dari konsorsium PT APEK. 

Kementerian ESDM memastikan Air Products & Chemical Inc hengkang dari dua proyek gasifikasi batu bara dalam negeri yang dikembangkan masing-masing oleh PT Bukit Asam Tbk. dan anak usaha PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), PT Kaltim Prima Coal (KPC). 

Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite mengungkapkan, alasan mundurnya Air Products & Chemical Inc karena perusahaan tersebut akan fokus pada pengembangan blue hydrogen atau hidrogen biru.

Idris menyebut, Air Products akhirnya lebih memilih proyek blue hydrogen karena pemerintahan Amerika Serikat memberikan insentif lebih besar kepada perusahaan untuk mengolah hidrogen biru, daripada DME atau metanol.

PASANG IKLAN

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes