Penyebab Rendahnya Serapan APBD di Sumut

Di akhir tahun, pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selalu akan mempersoalkan rendahnya serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah. Berbagai fakta kemudian diapungkan, antara lain menyebut ada pemerintah daerah yang menyimpan dana APBD di bank, menidurkan dana itu sehingga tidak bisa dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 

Tahun 2022 lalu, Presiden Joko Widodo mempersoalkan rendahnya serapan APBD dari pemerintah daerah. Dana daerah di bank mencapai Rp278 triliun. Sebagian dari dana itu milik pemerintah daerah yang ada di Provinsi Sumatra Utara. Banyak juga dari dana itu bersumber dari APBD Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2022. Pasalnya, sebagian proyek fisik yang dibiayai APBD Tapanuli Selatan 2022 ditangguhkan pengerjaannya dengan berbagai alasan. APBD pemerintah daerah lain juga banyak yang disimpan di bank.

Meskipun begitu, pada penutupan tahun anggaran, tepat sebelum batas akhir sebagaimana amanat peraturan perundangan-undangan, seluruh pemerintah daerah akan happy ending. Pasalnya, serapan APBD itu berjalan sempurna, 100%. Tidak sedikit pemerintah daerah yang kemudian mengumumkan bahwa pengelolaan APBD selama satu tahun anggaran itu merupakan sebuah prestasi yang membanggakan, sama seperti pengelolaan anggaran pada tahun-tahun sebelumnya.  Rasa bangga pemerintah daerah itu diwujudkan dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang disampaikan buru-buru kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, misalnya, sangat bangga karena menjadi pemerintah daerah yang pertama kali menyerahkan LKPD Tahun Anggaran 2022. Padahal, APBD Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2022 itu banyak mengundang kontroversi di kalangan masyarakat dan para elite di DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan. Bahkan, Fraksi Partai Golongan Karya, sampai hari ini masih belum menerima kenapa APBD Tapsel Tahun 2022 itu memiliki sisa hingga miliaran rupiah. 

Meskipun APBD pemerintah daerah di Provinsi Sumatra Utara sebetulnya menyisahkan banyak persoalan mengingat serapannya sejak awal tahun selalu rendah, ternyata Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah Sumatra Utara tidak memakai fakta rendahnya serapan APBD pemerintah daerah itu sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja keuangan pemerintah daerah. Tinggi atau rendah serapan APBD dari pemerintah daerah tidak akan mempengaruhi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang selalu dibangga-banggakan pemerintah daerah.Akibatnya, pemerintah daerah di Provinsi Sumut lebih fokus pada upaya mempertahankan predikat WTP yang sudah diperolehnya ketimbang menata strategi serapan APBD tiap tahun. 

Bukan sesuatu yang mencengangkan ketika pemerintah daerah di Provinsi Sumatra Utara lebih bersemangat untuk mengumpulkan predikat WTP setiap tahun. Mereka berlomba-lomba menjadi daerah yang paling banyak mendapat predikat WTP.  Mereka menunggu sampai akhir Semester I APBD tahunan, saat  BPK mengumumkan laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas LKPD pemerintah daerah. Sudah tradisi setiap tahun, dalam menyampaikan laporan itu, BPK akan mengumumkan predikat yang disandang setiap pemerintah daerah. Ketika BPK mengumumkan predikat WTP masih melekat, maka pemerintah daerah akan merasa baru saja mendapat prestasi soal pengelolaan keuangan pemerintah daerah.

Tahun 2023 ini, puluhan pemerintah daerah di Provinsi Sumatra Utara yang LKPD-nya selalu mendapat predikat WTP dari BPK Wilayah Sumatra Utara, akan kembali mengoleksi predikat WTP. Dengan predikat WTP yang selalu diperoleh setiap tahun, maka predikat itu juga menjadi penentu betapa suksesnya pemerintah daerah bersangkutan. Saat itulah akan diabaikan, bahwa hampir semua APBD pemerintah daerah di Provinsi Sumatra Utara, sebetulnya tidak tertib aturan sejak kuartal pertama APBD. Pasalnya, sampai pada Maret yang merupakan batas akhir kuartal I APBD, serapan APBD pemerintah daerah di Provinsi Sumatra Utara tidak lebih dari 15%. 

Malangnya, minimnya serapan APBD pada awal tahun, tidak pernah menjadi pengalaman berharga bagi pemerintah daerah di Provinsi Sumut. Penyebabnya, serapan APBD di awal tahun hampir tidak pernah menjadi persoalan krusial, karena APBD hanya akan menjadi persoalan krusial apabila serapannya di akhir tahun masih rendah. Makanya, tidak mengherankan jika pada awal tahun, grafik pembangunan daerah kurang berdinamika. Padahal, pemerintah daerah memiliki kewajiban menyampaikan laporan serapan anggarannya per bulan, sehingga semua pihak semestinya sudah bisa memprediksikan akan seperti apa dinamika pembangunan di suatu daerah.

Laporan serapan APBD pemerintah daerah tiap bulan disampaikan kepada BPK, dan semua laporan serapan APBD itu menjadi bahan dalam rapat koordinasi di lingkungan pemerintah daerah. Pasalnya, laporan serapan itu sangat menentukan kinerja APBD tahun berjalan untuk melindungi masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi nasional sepanjang tahun. Jika setiap bulan serapan APBD dari pemerintah daerah di Provinsi Sumut sangat rendah, sudah bisa dipastikan dampaknya terasa pada beberapa indikator perekonomian di Provinsi Sumatra Utara. 

Dalam hal stabilitas harga di tingkat konsumen, misalnya. Rendahnya serapan APBD akan berdampak terhadap melemahnya daya beli masyarakat yang menyebabkan inflasi. Alhasil, berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah untuk mengendalikan inflasi, tidak membawa hasil signifikan. Pada akhirnya, target-target program pembangunan daerah yang direncanakan dalam APBD,  tidak bisa dicapai sebagaimana seharusnya.  Sayangnya, hal ini tidak membuat pemerintah daerah merasa bersalah, justru merasa sangat berprestasi karena mampu mempertahankan predikat WTP.

Serapan APBD dari pemerintah daerah semestinya menjadi persoalan sejak awal tahun anggaran berjalan, bukan justru di akhir tahun anggaran. Jika pemerintah pusat melalui Menkeu dan Mendagri mengharapkan agar kinerja APBD menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya karena kinerja itu menjadi penentu kinerja APBD tahun berjalan, seharusnya sejak awal tahun sudah ada upaya untuk mengawasi serapan APBD yang dilakukan pemerintah daerah. Melalui mekanisme laporan serapan APBD tiap bulan, pengawasan bisa dilakukan sehingga target-target bulanan dalam pengelolaan APBD akan terawasi.  

Sayangnya, pemerintah pusat baru akan memperketat pengawasan terhadap serapan APBD di akhir tahun. Hal ini tidak lepas dari kelemahan pemerintah pusat sendiri dalam penyaluran dana-dana pusat ke daerah. Sudah umum diketahui, sebagian besar dana APBD merupakan dana yang berasal dari pusat, yang ditransfer ke daerah dan proses transfernya sering menimbulkan persoalan baru bagi pemerintah daerah. Akibatnya, ketika serapan APBD pemerintah daerah sangat rendah di awal tahun, pemerintah belum bisa melakukan pengawasan mengingatfaktor transfer dana pusat juga mempengaruhi serapan APBD tersebut. 

  

Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes