Habitat Terganggu, Warga Temukan Orangutan Keluar dari Ekosistem Batangtoru

Penulis: Hady Kurniawan Harahap | Jurnalis Sinar Tabagsel

Dokumen Yayasan Ekosistem Lestari

Masyarakat di Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, mengeluhkan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) makin sering menjarah tanaman budidaya di kebun mereka. Primata endemik yang hanya ditemukan di Ekosistem Batangtoru itu, diduga terganggu habitatnya akibat aktivitas konstruksi infrastruktur yang sedang berlangsung  di kawasan Pusat Listrik Tenaga Air Sipirok Marancar Batangtoru (PLTA Simarboru).

Kehadiran PLTA Simarboru yang dikelola PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) di dalam kawasan Ekosistem Batangtoru, sejak lama sudah mencemaskan kalangan aktivis lingkungan karena akan mempengaruhi kelangsungan spesies Orangutan Tapanuli, primata endemik di Ekosistem Batangtoru yang ditemukan pada 2017 lalu.  Kecemasan itu kini terbukti karena sejumlah Orangutan Tapanuli mulai keluar dari kawasan Ekosistem Batangtoru, mencari makan ke ladang-ladang budidaya milik  para petani di lingkat kawasan PLTA Simarboru.

Masyarakat yang ditemui Sinar Tabagsel di Dusun Sitandiang, Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok, mengaku acap berpapasan dengan kawanan Orangutan Tapanuli di kebunnya. Hewan yang dilindungi dan statusnya masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), menjarah buah-buahan dan tanaman lain yang ada di kebunnya. 

"Kami tidak mempersoalkan itu, karena masyarakat sudah terbiasa berada dekat dengan Orangutan," kata Bullah Hutasuhut. "kami tidak pernah menganggap orangutan sebagai hama."

Meskipun begitu, Bullah Hutasuhut mengkhawatirkan habitat Orangutan Tapanuli di dalam Ekosistem Batangtoru sudah terganggu, membuat Orangutan tidak mau lagi menempati hutan dataran rendah area inkubasinya selama ini. Kegiatan di dalam kawasan PLTA Simarboru berupa aktivitas konstruksi juga penambangan batuan, mengeluarkan suara-suara yang mengganggu kenyamanan Orangutan Tapanuli.

Hal seperti ini sudah pernah diungkapkan David Brown, pemilik Brown Brothers Energy and Environment, ketika memprotes keberadaan prioyek PLTA Simarboru bakal mengganggu habitas Orangutan Tapanuli. Tapi, protes yang disampaikan Brown ditanggapi miring oleh PT NSHE, menuduh Brown hanya membawa kepentingan dari pihak yang dikampanyekannya. 

Kini terbukti, kegiatan konstruksi pembangunan infrastruktur oleh PT NSHE yang berlangsung bertahun-tahun, ditambah lagi aktivitas penambangan, penebangan, dan padatnya jumlah tenaga kerja asing dari China yang ada di dalam kawasan Ekosistem Batangtoru,  berdampak terhadap enggannya Orangutan Tapanuli untuk bertahan. 

"Kami sering bertemu Orangutan di pinggir jalan raya Marancar-Sipirok. Sepertinya mereka ingin menyeberangi jalan untuk pindah ke kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali," kata Ahmad Mardi, aktivis lingkungan dari SEP (Sumatra Ecosystem Patnersip) yang bermarkas di Kota Sipirok. 

Ahmad Mardi menambahkan, upaya Orangutan Tapanuli untuk pindah ke kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali bukan karena siklus mereka dalam mencari makan, tapi karena keterhubungan antara blok di dalam Ekosistem Batangtoru sudah tidak ada. 

"Kami menemukan aktivitas manusia di dalam kawasan Ekosistem Batangtoru sangat tinggi. Mulai dari masyarakat pencari hasil hutan sampai para tenaga kerja asing," katanya.

Data SEP menunjukkan,  populasi Orangutan Tapanuli terancam punah karena habitat mengalami deforestrasi.  Kawasan hutan yang lebab dan tenang tidak ada lagi, dan kawanan Orangutan tapanuli telah menjadi objek penelitian yang gencar oleh sejumlah non-goverment organization (NGO) dalam dan luar negeri. 

"Kawasan Ekosistem Batangtoru tidak pernah kosong dari kegiatan manusia. Banyak orang beraktivitas di dalamnya, belum lagi para peneliti yang rutin keluar masuk kawasan," katanya. 

Wanda Kuswanda, peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli, di dalam disertasinya yang meneliti tentang Orangutan Tapanuli mengatakan wilayah sebaran Orangutan Tapanuli berada pada area seluas 29.192 ha, mencakup Ekosistem Batangtoru berikut daerah penyanggah seperti Cagar Alam Dolok Sipirok dan Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Tingkat kepadatan populasinya 0,41-0,65 individu/km2 dengan total populasi sekitar 155 (121-187) individu.

Wanda Kuswanda yakin, populasi orangutan masih dapat meningkat, meskipun dengan laju pertumbuhan yang lambat, hanya jika kondisi habitatnya bisa dipertahankan. Namun, banyaknya orangutan yang tinggal dan mencari makan di kebun masyarakat di daerah penyangga telah mengakibatkan konflik yang merugikan manusia dan orangutan sendiri. Tanaman masyarakat, seperti durian dan petai, sering dikonsumsi terlebih dahulu oleh orangutan sebelum bisa di panen manusia. 


Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes