Penambangan Pasir Diduga Ilegal Marak di Muara Batangtoru

Penulis: Budi Hutasuhut | Jurnalis Sinar Tabagsel

GOOGLEMAP. Penampakan tangkahan pasir pada GoogleMap. Puluhan pangkalan pasir, tempat para penambang menumpuk pasir yang baru dikeruk dari dasar Aek Batangtoru, berbentuk bukit-bukit kecil. 

Tambang galian C atau kini disebut penambangan batuan bermunculan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Aek Batangtoru di wilayah Kecamatan Muara Batangtoru. Diduga perusahaan-perusahaan pengeruk sumber daya alam di Kabupaten Tapanuli Selatan itu tidak mengantongi izin usaha penambangan (IUP), dikhawatirkan ulah mereka akan merusak lingkungan karena tak ada pengawasan dari pemerintah. 

Mengendarai sepeda motor memasuki kawasan perkebunan sawit, melewati jalan yang mengikuti aliran Aek Batangtoru, sungai terpanjang di Kabupaten Tapanuli Selatan, Marwan membawa Sinar Tabagsel ke Desa Muara Hutaraja, Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan.  Di desa yang persis di pinggir Aek Batangtoru itu, ada banyak pasir hasil penambangan, ditumpuk membentuk bukit-bukit kecil di pinggir sungai. 

Tak jauh dari sebuah kawasan tambang pasir, sepeda motor berhenti, Marwan menunjuk ke pinggir sungai. "Di sini ada pangkalan pasir, di tempat lain juga ada. Kampung ini jadi daerah penambangan pasir," kata Marwan, lalu mengajak melihat lokasi lainnya, melintasi kebun sawit.  

Sepanjang perjalanan, sembari menatap ke bentang Aek Batangtoru yang mengalir coklat, tampak para penambang pasir sedang bekerja mengeruk pasir dari dasar sungai. Tumpukan-tumpukan pasir di pinggir sungai yang membentuk bukit-bukit kecil oleh masyarakat sekitar disebut tangkahan. 

Tumpukan-tumpukan pasir itu hasil mengeruk dasar Aek Batangtoru. Di sekitar tumpukan pasir, ada juga pemandangan truk-truk keluar-masuk tangkahan, membentuk kompoi di jalan desa yang sempit. Putaran roda truk-truk yang sarat muatan pasir mengepulkan debu-debu di udara, menciptakan polusi yang dikeluhkan masyarakat.

Ratusan truk, tiap hari, dari pagi sampai malam, keluar masuk ke tangkahan-tangkahan pasir yang ada di sepanjang daerah aliran sungai Aek Batangtoru di Kecamatan Muara Batangtoru.  Kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun, membuat masyarakat keberatan. Debu-debu yang berhamburan mengotori dinding-dinding rumah masyarakat. 

Penambang pasir dari dasar Aek Batangtoru dikhawatirkan masyarakat akan menyebabkan abrasi, karena badan sungai semakin lebar yang akan berdampak terhadap hilangnya kebun-kebun sawit rakyat. "Kami tidak tahu siapa pemilik tangkahan ini," kata Marwan. "Kami sudah sering mengeluhkan kepada pemerintah, tapi tidak ada tanggapan."

Marwan dan beberapa warga mengaku, tambang-tambang pasir itu dikelola oleh perusahaan besar. Pasalnya,  armada angkutan truk yang digunakan untuk mengangkut pasir sangat banyak. Namun, masyarakat tidak tahu dengan pasti, perusahaan apa yang mendapat izin menambang pasir di wilayah Kecamatan Muara Batangtoru itu. 

Masyarakat sudah pernah mengadu ke Pemda Tapanuli Selatan, tapi tidak ada tanggapan. Lantaran kesal keluhan warga tidak pernah ditanggapi, warga Kecamatan Muara Batangtoru meminta bantuan dari pengacara agar mendampingi mereka mengadu ke Pemda Provinsi Sumut di Kota Medan. 

Masyarakat menilai, Pemda Tapanuli Selatan punya wewenang di bidang pertambangan batuan. Sebagai pemilik wilayah, Pemda Tapanuli Selatan berwenang karena berkaitan dengan kelestarian daerah aliran sungai (DAS) Aek Batangtoru dan lingkungan masyarakat di Kecamatan Muara Batangtoru.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, terkait perizinan lingkungan untuk kegiatan tambang menjadi kewenangan provinsi. Untuk persoalan terkait izin lingkungan menjadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup di Provinsi, sedang untuk usaha ekonomi tambang batuan jadi tanggung jawab perizinan di provinsi dan dinas terkait. 

Namun, sebelum pemda provinsi memberikan izin untuk usaha pertambangan batuan, harus berkomunikasi dengan pemda kabupaten/kota sebagai pemilik wilayah.  Mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Provisni Sumatra Utara No. 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Penambangan Umum, disebutkan, penetapan wilayah investasi usaha pertambangan (WIUP) di suatu daerah dilakukan Pemda Provinsi Sumatra Utara berdasarkan keputusan Gubernur Sumatra utara. Meskipun begitu, Pemda Sumatra Utara akan berkomunikasi dengan kabupaten/kota selaku pemilik wilayah sebelum menetapkan WIUP.

Setelah berkoordinasi dengan kabupaten/kota, Gubernur Sumatra Utara kemudian menetapkan WIUP. Pasca penetapan, Pemda Provinsi Sumatra Utara akan melelang WIUP itu untuk mendapatkan perusahaan yang berhak mengelolanya. Lelang harus dilakukan transparan. Perusahaan yang ditetapkan sebagai pemenang lelang akan mengantongi Izin Usaha Penambangan (IUP). Namun, sebelum melakukan eksplorasi, setiap perusahaan pemilik IUP harus menyusun rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) penambangan atas WIUP yang dikuasai.

Masyarakat di Kecamatan Muara Batangtoru mengaku, pihaknya mendapat kabar bahwa perusahan-perusahaan penambang pasir di daerah mereka sudah memiliki IUP dari Pemda Provinsi Sumatra Utara. Kabar soal IUP perusahaan-perusahaan itu diketahui pada Senin, 16 Januari 2023, ketika wakil masyarakat dari beberapa desa di Kecamatan Muara Batangtoru mendatangi kantor Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMPPTSP) Provinsi Sumatra Utara. 

Didampingi kuasa hukum masyarakat, Ahmad Fitrah Zauhari SH dan Syahrul Ramadhan Sihotang SH,  Pemda Provinsi Sumatra Utara kemudian menggelar pertemuan yang melibatkan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sumut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumut, Dinas Lingkungan Hidup Sumut, dan Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) Sumut. 

Dari pertemuan itulah terungkap, perusahaan-perusahaan penamban batuan di  Kecamatan Muara Batangtoru baru saja mengantongi IUP.  Namun, perusahaan-perusahaan itu sudah melakukan eksplorasi pasir di Aek batangtoru selama bertahun-tahun. Masyarakat meragukan izin yang dimiliki perusahaan-perusahaan itu legal karena perizinan itu butuh proses panjang lagi sebelum eksplorasi karena perusahaan harus menyusun dokumen RKAB sebagai syarat operasional. 

Menurut data di Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumatra Utara Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) di Sumut sebanyak 398 dengan rincian: yang masih berlaku 217 dan IUP yang habis masa berlakunya 181. Total luas wilayah IUP-OP yang masih berlaku 3.646,87 hektar dan yang habis masa berlakunya 9.721,95 hektare.

Menurut peraturan di Kementrian ESDM, setiap perusahaan pemegang IUP di daerah diwajibkan melakukan reklamasi pasca tambang. Dokumen reklamasi itu harus dilampirkan para pemegang IUP beserta garansi dengan menitipkan sejumlah uang ke bank.  Berdasarkan dokumen reklamasi itu, Dinas ESDM akan memonitor pelaksanaan reklamasinya secara teknis. 

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes