Penulis: Hady Kurniawan Harahap | Jurnalis Sinar Tabagsel
Sinar Tabagsel | Budi Hutasuhut |
Program desa-desa wisata di Kabupaten Tapanuli Selatan jauh dari pengembangan industri pariwisata yang menawarkan keindahan alam di desa-desa. Desa-desa itu diabaikan setelah diresmikan sebagai desa wisata.
Kabut tipis perlahan-lahan menuruni lereng Gunung Lubuk Raya, menyulap gunung yang menjadi Cagar Alam Dolok Lubuk Raya seluas 5.000 hektare menjadi hilang dari pandangan. Hari itu Senin, 30 Januari 2023, pukul 09.00 Wib, gunung yang menjadi perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Kota Padang Sidimpuan itu tak terlihat dari Desa Huta Ginjang, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten tapanuli Selatan, Beberapa menit berselang, lansekap hijau ketuaan dari gunung itu mulai tampak di sebelah Timur, manakala cahaya matahari mengintip dari balik awan.
Desa Huta Ginjang, salah satu Desa Wisata di Kabupaten Tapanuli Selatan, yang ditetapkan Bupati Dolly Putra Parlindungan Pasaribu berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) No.64 Tahun 2020 tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Tapanuli Selatan, sesungguhnya memiliki alam yang indah, pemandangan yang memikat, dan udara sejuk asri. Namun, semua sumber daya alam yang bisa dikembangkan menjadi potensi pariwisata itu, jauh dari sentuhan kreatif para pelaku industri wisata hingga tak berkembang meskipun sudah sejak 2021 dibuka untuk umum.
"Jarang orang berwisata ke tempat ini," kata Salah seorang warga yang ditemui Sinar Tabagsel di Huta Ginjang. "Waktu pembukaan, pemerintah melalui Kepala Dinas Pariwisata dan Kepemudaan Tapanuli Selatan gembar-gembor akan mengarahkan para wisatawan ke tempat ini."
Sejak dibuka tahun 2021, belum pernah ada wisatawan dalam jumlah besar yang sengaja datang berkunjung. Para wisatawan hanya dua orang dan dalam sebulan belum tentu ada yang datang. Paling banyak justru warga di sekitar Desa Huta Ginjang. "Tak ada orang yang datang ke tempat ini, karena ada banyak alternatif tempat wisata di daerah ini. Orang lebih memilih ke Aek Sabaon atau ke Sipirok," kata warga lain.
Sinar Tabagsel | Budi Hutasuhut |
Masyarakat mengaku, sebagai objek wisata, Desa Huta Ginjang kalah populer dibandingkan tempat-tempat wisata yang pernah ada sebelumnya. Sejak awal masyarakat sudah mengingatkan, terutama ketika pendamping desa di Kecamatan Angkola Timur menawarkan gagasan dengan konsep desa wisata, berupa pembangunan saung-saung di atas lahan pertanian milik masyarakat tanpa mengganggu lahan sebagai tempat budidaya. Namun, konsep yang ditawarkan pendamping desa dan disetujui Kepala Desa Huta Ginjang, tiba-tiba sudah menjadi program Dinas Pariwisata dan Kepemudaan Tapanuli Selatan.
"Kami tidak tahu kenapa tiba-tiba Desa Wisata Huta Ginjang menjadi program pemerintah daerah padahal pembiayaannya berasal dari anggaran dana desa. Penganggarannya ada dalam APBDes 2021," kata warga lainnya.
Desa Wisata Huta Ginjang hanya sebuah tempat wisata berupa tiga saung yang dibangun di atas lahan budidaya pertanian, bekas sawah. Lahan itu tidak lagi ditanami dengan padi, tapi sebagian ditanami dengan tomat. Dari saung-saung itu, bisa menatap ke arah Gunung Lubuk Raya yang selalu hilang setiap pagi karena ditutup kabut dan baru muncul cahaya matahari muncul. Saat musim hujan, pemandangan Gunung Lubuk Raya akan menghilang.
Di latar depan Gunung Lubuk Raya, tampak pemandangan perkampungan Huta Ginjang berupa rumah-rumah penduduk yang berdiri di pinggir jalan lintas Desa Huraba-Desa Pargarutan Julu. Namun, tak satu pun dari rumah itu yang dikonsep sebagai homestay (tempat penginapan) sehingga konsep Desa Wisata Huta Ginjang seakan-akan dipersiapkan hanya sebagai tempat wisata yang sekadar didatangi.
"Kami tidak tahu siapa penanggung jawab program desa wisata itu dan bagaimana ke depannya," kata warga lain.
Desa Wisata
Tahun 2020, setahun setelah Dolly Putra Parlindungan Pasaribu dilantik jadi Bupati Tapanuli Selatan, keluar Perbup tentang penetapan Desa Wisata yang menjadi tanggung jawab Dinas Pariwisata dan Kepemudaan Tapanuli Selatan. Ada 18 desa wisata yang ditetapkan berdasarkan Perbup Tahun 2020 tersebut, hanya ada satu desa wisata di Kecamatan Angkola Timur.
Sebanyak enam Desa Wisata ada di Kecamatan Sipirok, empat desa wisata di Kecamatan Maratcar, dan sisanya di Kecamatan Arse, Saipar Dolok Hole, Sayur Matinggi, Tano Tombangan Angkola, Angkola Sangkunur dan Muara Batang Toru.
Dari 18 desa wisata itu, hampir tidak ada satu desa pun yang berkembang sebagaimana diamanatkan dalam Perbut Tahun 2022 tersebutDalam Pasal 4 disebutkan, fungsi penetapan Kawasan Desa Wisata untuk pengembangan sarana edukatif dan rekreasi, pengembangan sarana seni dan budaya, pengembangan sarana pariwisata berbasis masyarakat, dan pengembangan sarana perilaku dan budaya wisata.
Kenyataannya, desa-desa wisata yang ditetapkan itu sebelumnya sudah menjadi wisata, tapi kemudian menjadi kurang berkembang setelah Dinas Pariwisata dan Kepemudaan Tapanuli Selatan ikut campur terutama dalam hal mengurus distribusi.
Sinar Tabagsel | Budi Hutasuhut |
Sebagai contoh Desa Wisata Padang Bujur di Kecatan Sipirok yang mengandalkan Aek Milas Parandolok. Objek wisata aek milas yang sudah ada menjadi tempat kunjungan wisatawan sejak lama, setelah ditetapkan jadi Desa Wisata Padangbujur justru menimbulkan konflik antara masyarakat Desa Padangbujur dengan masyarakat desa tetangganya yang selama ini memiliki Aek Milas Parandolok.
Konflik semakin menajam karena Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tak ada rencana untuk menyelesaikan masalah yang menyebabkan masyarakat bersitegang.

Posting Komentar