Oleh: Budi Hatees | Penulis buku Ulat di Kebun Polri
Para pendukung HAM (hak asasi manusia) protes atas vonis mati terhadap Ferdy Sambo. Mereka bicara tentang seharusnya kita menghargai nyawa manusia. Tentu saja mereka mengatakan itu bukan karena abai bahwa Ferdy Sambo sendiri terbukti turut serta membunuh manusia.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri jakarta Selatan, Wahyu Iman Santoso, menilai bahwa Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua sebagaimana dakwaan jaksa.
Hukum formal di negeri ini memvonis mantan perwira tinggi (pati) di Kepolisian Republik Indonesia (Polri) itu bersalah karena membunuh. Dengan sendirinya dia tidak menghargai nyawa manusia. Peristiwa pembunuhan itu sendiri terencana, melibatkan banyak orang, dan terjadi di dalam rumah Ferdy Sambo.
Tulisan ini tidak akan bicara perkara pantas atau tidak manusia mendapat hukuman mati, meskipun sangat jelas tidak layak bagi manusia menghilangkan nyawa manusia lain apapun alasannya. Tulisan ini akan fokus pada sosok Ferdy Sambo sebagai pati Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjend) Polisi, dengan dua bintang di bahunya.
Saat melakukan kejahatan, Ferdy Sambo berstatus sebagai Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri. Jabatan ini dihuni para jenderal Polri sebelum mereka diangkat menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
Kapolri saat ini, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, adalah mantan Kadiv Propam Polri pada tahun 2018. Begitu juga Kapolri sebelumnya, Jenderal Polisi (Purn) Idham Azis, menjadi Kadiv Provam 2016-2017. Tidak sedikit mantan Kadiv Propam Mabes Polri yang menempati posisi penting di lingkungan Mabes Polri maupun lembaga vertikal lain di negeri ini.
Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Komjen Pol Budi Gunawan, misalnya, dikenal luas sebagai Kadiv Propam Mabes Polri. Pada masanya, Budi Gunawan banyak melakukan perbaikan terhadap Blue Print Divpropam Mabes Polri. Divisi di internal Mabes Polri ini diposisikan sebagai "benteng terakhir" Mabes Polri dalam segala hal.
Posisi sebagai "benteng terakhir" Mabes Polri ini menunjukkan betapa pentingnya Divpropam Mabes Polri. Pasalnya, divisi ini bertanggung jawab atas tiga hal penting di internal Mabes Polri, yakni: pengawasan dan pembinaan profesi, pengamanan di lingkungan internal organisasi Polri, dan penegakan hukum, ketertiban, disiplin, pengamanan, dan pengawalan di lingkungan Polri.
Setiap bagian tugas tanggung jawab ini dipikul oleh seorang pejabat berpangkat brigadir jenderal, sehingga seorang Kadip Propam Mabes Polri membawahi tiga pati berpangkat brigadir jenderal. Setiap brigadir jenderal yang menempati posisi sebagai kepala biro (Karo), dibantu oleh perwira menengah mulai dari komisaris besar polisi (Kombes), ajun komisaris besar polisi (AKBP) sampai ajun komisaris polisi (AKP).
Semua pati dan pamen di bawah kekuasaan Kadivpropam Mabes Polri, merupakan para pemimpin yang memiliki bawahan dan diposisikan sebagai komandan. Semua bawahan di lingkungan Divpropam Mabes Polri dengan sendirinya berada di level yang paling dasar jika dibandingkan kedudukan Kadiv Propam Mabes Polri, karena masih ada pamen dan pati yang harus menjadi komandan dalam kultur manajemen Polri.
Itu sebabnya, tingkat kepatuhan dan ketaklidan seorang bawahan di lingkungan Mabes Polri terhadap komandan sangat kental. Dalam kasus kematian Brigadir Joshua terungkap, eksekusi dilakukan oleh para bawahan di bawah komando Kadiv Propam Mabes Polri. Artinya, jika seorang komandan di internal Mabes Polri memerintahkan anak buahnya, tak ada alasan bagi si anak buah untuk menolak.
Secara kultural memang budaya komando dalam institusi kepolisian masih berlangsung sampai saat ini, meskipun Polri didorong untuk mengutamakan konsep pemolisian sipil. Tapi, anggota Korps Bhayangkara sulit mengubah budaya lama yang sudah tertanam melalui doktrin militerisme sejak menjadi bagian dari Polri.
Sesungguhnya institusi kepolisian sendiri telah memiliki aturan yang mengikat soal budaya komando ini, yaitu Perkap No.14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Peraturan tersebut merupakan langkah awal Polri untuk menumpas budaya kepatuhan antara perwira senior dan junior.
Pada Pasal 7 ayat 3 huruf a dan d secara tegas mengatakan bahwa anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib "menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama", dan “norma kesusilaan dan melaporkan kepada atasan pemberi perintah atas penolakan perintah yang dilakukannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari atasan pemberi perintah.”
Meski telah ada peraturan yang bertujuan menghapus kultur komando ini, namun para bawahan lebih tunduk pada komandan daripada hukum itu sendiri. Tentu saja para bawahan tidak bisa disalahkan, karena kultur yang terbangun di internal Mabes Polri sudah seperti itu.
Dari tahun ke tahun, dari generasi satu ke generasi berikutnya, kultur komando itu tidak diubah. Malah, setiap orang seakan-akan sengaja memelihara kultur itu, sehingga seorang bawahan tidak akan sanggup menolak perintah komandan. Konon jika komandan itu seorang Kadiv Propam Mabes Polri, yang kekuasaannya sangat penting karena menguasai persoalan karier, profesi, hukum, dan hal-hal yang sangat menentukan posisi dan jabatan seorang anggota Korps Bhayangkara.
Kondisi ini menunjukkan, reformasi Polri yang berlangsung sejak 2000 belum membawa perubahan signifikan. Polri yang seharusnya mengutamakan pemolisian sipil, mestinya sudah membuang jauh-jauh kultur komando. Pasalnya, reformasi instrumental, struktural maupun kultural sudah dilakukan dan menelan banyak anggaran, dan seharusnya hari ini masyarakat sudah bisa menikmati hasilnya.
Jika kultur ini tidak dihilangkan, akan muncul komandan-komandan lain yang lebih dari Ferdy Sambo. Beralasan untuk menjaga nama baik Mabes Polri, para komandan yang tentunya pamen maupun pati di internal Mabes Polri, akan tega mengorbankan anak buahnya. Kita tak bisa membayangkan seorang Kadiv Propam Mabes Polri sanggup mengorbankan pengawalnya, Brigadir Joshua. Tapi, itulah yang sudah terjadi, dan ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting bagi Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Kita berharap anggota Korps Bhayangkara menghargai nyawa manusia, apalagi sesama anggota korps.
Posting Komentar