Oleh Budi Hutasuhut | Penulis pernah bekerja sebagai peneliti komunikasi untuk United Nation Development Program dalam Project United Manajemen Advisor Kota Metro.
Tampilan halaman depan salah satu website milik OPD di Kabupaten Tapanuli Selatan yang menampilkan Bupati Tapanuli Selatan, Syahrul M. Pasaribu. |
Betapa ganjilnya bila pemerintah daerah bicara berbuih-buih tentang persiapan menyambut Revolusi Industri 4.0. atau bertumpah ludah tentang pentingnya transformasi digital dalam rangka pelayanan publik sebagai solusi paling efektif menghadapi pandemi Covid-19, sementara website milik pemerintah daerah sendiri tak pernah diperbaharui content-nya. Padahal, website adalah pijakan dasar dalam membangun infrastruktur dan suprastruktur e-goverment atau pemerintahan berbasis elektronik yang sudah dimulai sejak periode awal reformasi.
Sebagai sebuah fondasi, Website milik pemerintah daerah mestinya memiliki empat infrastruktur utama. Suprastruktur e-government yang memuat antara lain kepemimpinan manajemen lembaga (e-leadeship), sumberdaya manusia (human resources) dan peraturan di tingkat lembaga yang terkait dengan pengembangan e-Government (regulation).
Selain itu, tidak kalah penting adalah infrastruktur jaringan yang memuat antara lain protokol komunikasi, topologi, teknologi dan keamanan. Lebih penting lagi harus ada infrastruktur informasi yang memuat antara lain struktur data, format data, metoda berbagi data (data sharing), dan sistem pengamanannya, dan penyimpanan data yang terintegrasi. Dan, sangat pasti, suprastruktur dan infrastruktur tersebut harus memiliki infrastruktur aplikasi yang memuat aplikasi layanan publik, aplikasi antarmuka (interface), dan aplikasi back office. Suprastruktur dan infrastruktur ini mesti sesuai standar mutu yang ada dengan jangkauan layanan yg masimak.
Seluruh infrastruktur tersebut dibangun dalam satu kerangka berpikir yang utuh, dan kita menyebutnya sebagai cetak biru pengembangan e-government pemerintah daerah.
Website OPD memuat data tahun 2016 |
Sayangnya, kondisi yang normal itu tidak kita temukan saat membuka website milik Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, www.tapselkab.go.id. Isinya begitu statis, kaku, dan sangat mengesankan bahwa domain induk berikut subdomain yang memuat profil OPD (organisasi pemerintah daerah) tidak dikelola oleh tenaga profesional webmaster. Pasalnya, domain maupun subdomain sering mengalami "page unrespon" sampai "page eror", yang lebih menegaskan bahwa admin tidak bekerja ekstra mengontrol website tersebut.
Kondisinya semakin parah karena content domain dan subdomain tidak berubah layaknya sebuah medium komunikasi, padahal Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mengalokasikan anggaran tidak sedikit untuk urusan operasional domain dan subdomain tersebut. Anggaran itu diajukan OPD Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Tapanuli Selatan, dan sudah tentu ada petugas khusus yang ditempatkan sebagai admin dengan manajemen kerja yang jelas.
Admin mesti menyampaikan informasi-informasi penting yang terbaru dari setiap OPD agar masyarakat tahu dan paham terkait kinerja OPD-OPD terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik. Namun, admin tak perlu update 24 jam apabila Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan merancang website hanya sebagai tampilan, atau sekadar ikut-ikutan tren pemerintah daerah memiliki website.
Domain www.tapselkab.go.id merupakan aset atau barang milik daerah yang dirancang dengan biaya dari APBD. Dalam kajian pembangunan, rancangan website bisa digolongkan sebagai bagian dari program infrastruktur telekomunikasi dan informatika, dan dia inklud bersama item-item kegiatan pembiayaan lainnya seperti operasional website, perawatan website, dan belanja bandwit agar website bisa dioperasionalkan. Jika lebih direnungkan, keberadaan website merupakan gagasan yang korelatif dengan visi dan misi pemerintah pusat, sehingga ada sinkrionisasi program pemerintah daerah dengan program pemerintah pusat.
Pseudo Pemerintah Daerah
Namun, harus diakui, pemerintah daerah sering menderita pseudo (merasa paham namun tidak mengerti sama sekali) terkait tawaran-tawaran inovasi dari pemerintah pusat. Begitu juga halnya ketika pemerintah pusat pada awal dekade 2000-an menawarkan inovasi pelayanan publik dengan memanfaatkan TIK dalam bentuk e-goverment. Merasa mengerti tentang e-goverment, pemerintah daerah langsung menerima inovasi bidang pemerintahan itu dengan berinvestasi membangun infrastruktur dan suprastruktur TIK.
Tidak sedikit pemerintah daerah yang memahami e-government hanya persoalan aplikasi-aplikasi, jaringan internet pemerintah atau mungkin website pemerintah. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa e-government adalah hal-hal teknis berbau teknologi informasi, lalu merasa memahami persoalan itu kemudian menrancang program-program beraroma TIK dengan menggandeng para pelaku usaha di bidang TIK. Tidak sedikit pemerintah daerah tertipu sebagai pembeli aplikasi bodong, atau terkecoh oleh pihak-pihak yang mengaku profesional webmaster.
Pada tahun 2000, saya bekerja sebagai peneliti untuk United Nation Development Programs dalam proyek komunikasi publik pemerintah daerah, dan sejak itu saya banyak terlibat dalam sejumlah proyek e-goverment pemerintah daerah di Indonesia. Pengalaman mengelola proyek e-goverment mengesankan, bahwa pemerintah daerah selalu lebih paham atas hal-hal baru tetapi senantiasa tidak mengerti tentang apa yang akan dilakukan.
Sesungguhnya e-government bukan hal yang remeh temeh terkait penghamburan uang negara yang sifatnya sekadar tampilan. E-goverment memiliki konsep yang lebih luas dari sekedar Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Secara konseptual, pengertian e-government dirumuskan Bank Dunia.
Bank Dunia adalah pemrakarsa digunakannya TIK oleh pemerintah dalam menjalankan birokrasi pemerintah untuk pemanfaatan Teknologi informasi oleh pemerintah guna mengubah pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, sektor swasta atau lembaga pemerintah lainnya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat, pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah.
Dari pengertian di atas tergambar bahwa e-government bukan sekadar pemanfaatan TIK semata, akan tetapi ada nilai-nilai yang diharapkan muncul dari pemanfaatan TIK tersebut yaitu meningkatnya pemberdayaan masyarakat, meningkatnya pelayanan publik dan meningkatnya transparansi dan akuntabilitas serta meningkatnya efisiensi penyelenggaraan pemerintah. Inti utama dari e-government adalah transformasi relasi yaitu perubahan cara berhubungan antara pemerintah dengan stakeholdernya.
Realitanya, selama ini kita lebih berfokus pada teknologinya saja tanpa memperhatikan transformasi relasi yang dihasilkan, akibatnya banyak kita temui instansi pemerintah yang merasa telah melaksanakan e-government melalui pengadaan aplikasi pelayanan dan jaringan internet akan tetapi pelayanan publiknya masih tetap lambat dan masyarakat tetap juga datang ke kantor pemerintah untuk mendapatkan layanan. Seharusnya Pemerintah dapat melakukan perubahan pola pelayanan publik dengan memanfaatkan karakteristik TIK yang berkembang saat ini, sehingga masyarakat dapat memperoleh pelayanan kapanpun dan dimanapun.
Penerapan e-government menghendaki perubahan pola relasi antara pemerintah dengan stakeholder sehingga sangat membutuhkan peran top level manajemen dalam pengambilan kebijakan terhadap transformasi relasi tersebut. transformasi relasi akan membutuhkan perubahan kebijakan, perubahan SOP dan perubahan budaya kerja. Perubahan–perubahan tersebut memerlukan power yang dimiliki oleh top level manajemen.
Salah satu peran TIK adalah sebagai enabler yang berarti dengan TIK memungkin terjadi hal-hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Untuk memungkinkannya sesuatu yang tak mungkin terjadi menjadi mungkin terjadi, memerlukan kebijakan, memerlukan payung hukum supaya hal yang memungkinkan terjadi tersebut dapat direalisasikan dengan aman. Oleh sebab itu implementasi E-government memerlukan figur pemimpin yang mampu dan punya kemauan untuk mengadopsi TIK dalam menjalankan organisasinya atau yang lebih dikenal sebagai E-leadership. Dengan adanya peran strategis top level manajemen maka manfaat yang diharapkan dapat terealisasi dengan baik.
Kesenjangan Digital
Variabel pembangunan infrastruktur TIK yang dirumuskan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan sudah tentu memiliki indikator-indikator yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Setidaknya, punya visi dan misi meliterasi masyarakat agar lebih paham tentang pelayanan publik yang kini dikembangkan berbasis elektronik (e-) dan menginduk pada domain maupun subdomain milik pemerintah daerah.
Masyarakat akan mudah mengakses pelayanan berbasis elektronik itu lewat website pemerintah daerah dan OPD. Namun, apabila domain dan subdomain itu tidak update karena admin tidak bekerja, bagaimana bisa mengharapkan pelayanan berbasis elektonik akan berjalan dengan baik. Bukankah layanan berbasis elektronik mensyaratkan pelayanan 24 jam dengan tata kelola manajemen pelayanan yang mumpuni, di mana masyarakat tidak perlu menunggu berhari-hari untuk mendapatkan layanan dari pemerintah daerah.
Kondisi tidak update ini sering disebabkan pemerintah daerah tidak memiliki infrastruktur memadai terkait cetak biru digital, sehingga ada OPD di lingkungan pemerintah yang menderita kesenjangan digital. Konsep kesenjangan digital pada awalnya dipakai untuk menjelaskan perihal blankspot layanan telekomunikasi, namun saat ini kesenjangan digital bisa dipahami akibat tidak jelasnya visi dan misi pemerintah daerah terkait TIK.
Ketidakjelasan visi dan misi itu menyebabkan tidak terjadinya pemerataan pembangunan infrastruktur telekomunikasi, ditandai dengan tidak adanya investasi memadai untuk untuk menyediakan sinyal telekomunikasi atau minimnya usaha berlangganan bandwit. Ada OPD di lingkungan Pemda Kabupaten Tapsel yang merasa tidak perlu mengalokasinya anggaran untuk membeli bandwit guna menggerakkan dan mendinamisasi subdomain websute OPD yang dikelola. Bahkan, upaya OPD memiliki media sosial saja sering tidak bermanfaat akibat akun media sosialnya tidak dimanajemen dengan baik. malah, ada akun media sosial milik elite-elite di lingkungan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan yang diset sebagai privasi, dan ini memberi kesan betapa para elite tersebut tidak paham apa yang dimaksud dengan konsep media sosial. *
Posting Komentar