Tradisi di Tabagsel, Akhir Tahun Banjir Mengepung

Foto: Ilustrasi

Badan Metereologi dan Geofisika mengeluarkan data, curah hujan di wilayah Tapanuli bagian Selatan akan tinggi atau sebanyak 118 hari hujan setiap bulan Desember, lebih tinggi dari curah hujan pada bulan-bulan lainnya. Data itu terbuka untuk umum, dan pemerintah daerah di wilayah regional ini sudah tentu mengetahuinya karena data curah hujan itu acap dipakai dalam membuat kajian-kajian untuk menyursun program kerja. 

Data curah hujan, misalnya, dipakai Dinas Pertanian untuk menentukan jadwal musim tanam. Selain itu, data curah hujan itu mengisyaratkan, pemerintah daerah seharusnya punya antsipasi sejak awal agar curah hujan yang tinggi tidak menimbulkan banjir yang akhirnya merugikan masyarakat. Nyatanya, pemerintah daerah tidak punya antisipasi ketika Desember tiba dan hujan mulai turun, sementara Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) hanya sibuk memberi aba-aba agar hati-hati.

Anjuran atau peringatan tidak cukup untuk mengatasi bencana alam. Perlu ada langkah strategis dari pemerintah daerah untuk mengurangi penderitaan masyarakat akibat banjir seperti yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, dan Kabupaten Mandailing Natal. Langkah strategis itu berupa program-program kerja yang lebih relebvan degan variabel dan indikator yang jelas, dan tidak sekadar asal ada program demi agar agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terealisasi di akhir tahun sesuai pagu yang ada.

Mereka yang dihantam banjir adalah warga yang tinggal di bantaran sungai, di daerah yang seharusnya menjadi kawasan hijau. Disebut kawasan hijau, bantaran sungai harus diubah menjadi kawasan hutan karena berfungsi sebagai tanggul banjir sekaligus daerah penyimpanan air. Tapi, jangankan wilayah bantaran sungai yang hanya beberapa meter, kawasan  hutan yang menjadi penahan banjir dan longsor sudah habis ditebangi atas nama investasi.

Kerugian masyarakat bisa dideretkan satu per satu: rumah mereka terendam, perbotan rumah tangga rusak, listrik padam, tanaman budidaya hanyut dan puso, usaha peternakan dan perikanan terganggu, ketentraman terganggu, kenyamanan dan ketenangan hidup tidak didapatkan. Bila intensitas hujan tinggi, masyarakat yang tinggal di kawasan daerah aliras sungai (DAS) akan menderita psikologis, selalu dihantui oleh rasa takut kalau-kalau banjir datang menerjang. Lebih parah lagi, banjir juga sering diikuti dengan longsor.

Itulah yang dialami masyarakat di Kota Padang Sidimpuan selama intensitas hujan meningkat pada bulan Desember 2021. Ketika curah hujan meningkat, sungai-sugai kecil di Kota Padang Sidimpuan yang sudah menyempit dan beberapa diantaranya hilang karena ditimbun untuk kepentingan perkampungan warga, tiba-tiba akan meluap. Sebut saja Aek Sibontar, sungai kecil yang mengalir di Kecamatan Padang Sidimpuan Utara, mendadak mengamuk dan menghanyutkan rumah salah seorang penduduk. Tidak ada korban jiwa, tapi jelas menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.

Sungai-sungai dan kawasan DAS perlu dirawat dengan baik, perlu ada strategi dari pemerintah daerah. Tapi strategi itu yang tidak ada, dan hutan di sepajang DAS perlahan-lahan hilang dengan pasti. Itulah yang terjadi di DAS sejumlah sungai yang ada di Kabupaten Madina, sebut saja DAS Batang Gadis. Sungai yang menjadi urat nadi Kabupaten Madina ini, menampung air dari sungai-sungai kecil, dan melintasi sebagian besar wilayah Kabupaten Madina. Tapi, DAS Batang Gadis telah hancur mulai dari ulah pembalakan lar sampai penambangan liar.

Beberapa riset menunjukkan dua faktor alam dapat menyebabkan banjir bandang, yaitu cuaca dan kemiringan lereng. Tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa banjir bandang adalah bencana buatan manusia. Deforestasi, alih fungsi lahan yang cepat di hulu bertanggung jawab atas munculnya banjir bandang.

Semoga pemerintah daerah di wilayah regional Tapanuli bagian Selatan menyadari bahwa lingkungan hidup dengan ekosistem yang baik akan menghasilkan masyarakat yang baik, sehingga usaha-usaha produktif untuk mengantisipasi banjir terus dilakukan. Jangan sampai korban jiwa berjatuhan baru ada upaya serius dari pemerintah daerah. 

Annual Disaster Statistical Review yang disusun oleh Pusat Penelitian Epidemiologi Bencana (CRED) Catholic University of Louvain (UCL) Belgia secara global melaporkan angka kematian yang tinggi akibat banjir bandang, mencapai 5.000 orang per tahun. Di Indonesia, menurut CRED, dari 7.000 banjir yang terjadi dalam satu dekade terakhir, 10% berasal dari banjir bandang.

Belum ada data total kematian dalam satu dekade terakhir akibat banjir bandang di negeri ini, tapi setiap kali kejadian banjir bandang, ada banyak kematian. *

PASANG IKLAN

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes