Kebiasaan pejabat di negeri kita bila terjadi bencana alam seperti banjir bandang selalu lebih cepat mencari kambing hitam, mulai dari cuaca yang ekstrem dan sulit ditebak sampai pada hal-hal yang dilakukan masyarakat dianggap sebagai biang kerok. Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, salah satu contohnya.
Menyikapi banjir bandang yang menenggelamkan 16 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), dia langsung menuding pelaku penambangan emas liar dan pelaku pembalakan hutan sebagai biang kerok. Tudingan itu menunjukan, seakan-akan Gubsu Edy baru tahu soal penambangan liar dan pembalakan liar.
Padahal, soal penambangan emas illegal di Madina sudah diketahuinya sejak sebelum menjadi Gubernur Sumut. Bahkan, ketika dia baru dilantik jadi Gubernur Sumut, dia berjanji akan menghapuskan penambangan liar di Madina. Alasannya, masyarakat mengeluhkan dampak buruk penambangan liar karena limbahnya mengganggu kesehatan masyarakat selain merusak lingkungan.
Nyatanya, janji menghapus penambangan liar itu tidak kunjung dilakukan dan aksi penambangan liar justru semakin banyak dan dilakukan di depan masyarakat. Tambang-tambang liar muncul di sepanjang daerah aliran sungai-sungai yang ada di Madina, dan menjadi sektor ekonomi yang mampu mengurangi angka pengangguran di masyarakat.
Penambangan emas liar merupakan kegiatan ilegal, tapi akhirnya terkesan legal. Pasalnya, meskipun para pelaku penambang menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk material yang diduga mengandung emas dan untuk mengangkutnya dari lokasi penambangan ke tempat pengolahan, pemerintah melakukan pembiaran. Aksi para penambang tidak kunjung dihentikan.
Bagai mendapat angin segar, sektor ekonomi yang satu ini pun diminati banyak kalangan sebagai areal investasi. Para pemilik lahan, atau para pelaku usaha tambang emas ilegal, sengaja mencari investor yang bersedia berinvestasi dalam kegiatan penambangan emas. Penawaran dilakukan secara diam-diam, door to door, dan lintas daerah.
Nilai investasinya pun rendah, berkisar Rp15 juta sampai Rp50 juta per satu lubang tambang. Dengan berinvestasi sebesar itu, seseorang bisa dapat keuntungan tiga kali lipat setelah setelah penjualan emas dibagi untuk biaya operasional. Tidak heran bila peminat investasi ini berlimpah, mereka ada di Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten dan beberapa daerah di regional Tapanuli bagian Selatan.
Bukan hanya pemilik modal, tidak sedikit elite yang mempertaruhkan dananya dalam tambang ilegal. Mereka hanya perlu menyediakan dana, sudah ada pekerja yang melakukan penambangan dan memproses hingga hasil tambang bisa dijual. Mereka juga tidak perlu datang ke lokasi tambang, cukup hanya menyerahkan dana yang akan dipakai sebagai modal untuk operasional, lalu menunggu hasilnya dalam hitungan bulan.
Kegiatan penambangan emas liar ini seharusnya dihentikan sejak lama sebelum menjadi semacam duri dalam daging mengingat telah banyak pihak yang terlibat. Tentu saja kesalahan layak dituduhkan kepada Gubernur Sumut karena dia pernah berjanji untuk menghapuskannya. Dia, bahkan, telah merancang strategi untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi para pelaku penambang emas ilegal. Tapi, Gubsu Edy tidak pernah benar-benar ingin menghapus penambangan emas liar.
Sebab itu, terdengar aneh ketika Gubsu Edy menyalahkan pelaku penambangan liar sebagai kambing hitam atas banjir bandang yang mendera Kabupaten Madina. Aneh karena dia sudah tahu, tetapi dia tidak berbuat.*
Posting Komentar