Tak Ada Makan Siang Gratis

Oleh: Budi Hatees Peneliti Pustaha Institute



Tak ada makan siang gratis. Para politisi sangat paham pemeo ini, apalagi setelah mereka membaca Niccolò Machiavelli sambil menyeruput kopi. 

Bagi mereka, siapa pun yang berbuat baik, hal itu hanya tampak berbuat baik. Jauh di dalam diri mereka selalu ada pamrih, entah, mungkin, sebuah angan-angan. 
Selalu akan ada pendukung para politisi, apalagi bila politisi bersangkutan punya rencana untuk naik panggung. Tapi, politisi yang andal tahu persis bagaimana mengelola pendukung, mengkodifikasi mereka ke dalam kotak-kotak tertentu seperti seorang ahli botani melakukan riset di hutan dan memasukkan spesimen sesuai klasifikasi yang sama. Mereka tak akan melihat manusia sebagai manusia, tetapi sebagai batu loncatan, tempat kaki-kakinya berpijak agar bisa menyeberang. 
Sebongkah batu, tidak akan pernah jadi roti, meskipun sudah membantu seseorang menyeberangi. 
Politisi memahami soal itu, tetapi pendukung kurang paham. Para pendukung selalu merasa bahwa dirinya yang paling setia, karena itu pula setiap pendukung selalu merasa dirinya yang paling berjasa. Makanya, setiap kali seorang pemimpin politik berhasil naik ke panggung, para pendukung akan ramai-ramai menuntut jasa. 
Ini lakon yang lumrah, apalagi di daerah, pasca pemilihan kepala daerah (Gubernur atau Bupati/Wali Kota). Ketika kepala daerah berhasil, para pendukung akan minta bagian. Ada yang berpura-pura tidak butuh, tetapi di dalam dirinya merasa bahwa Kepala Daerah pasti tahu bahwa dia berjasa dan akan memberi jatah, meskipun Kepala Daerah justru melupakannya. 

Dengan berpura-pura arif, dia akan membela Kepala Daerah, bahwa kesibukannya membuatnya tidak bisa memikirkan semua pendukungnya. Namun, jauh di dalam dirinya, dia menggerutu, menilai Kepala Daerah sebagaimana para politisi, hanya cerdas dalam mengecewakan hati rakyat. 
Ada juga pendukung yang terang-terangan menuntut jatah. Minta ini dan itu, terutama jabatan, dan Kepala Daerah memberikan. Selesai peristiwa politik, biasanya, terjadi restrukturisasi manajemen badan usaha milik daerah (BUMD)--orang lama dibuang dan orang baru (para pendukung Kepala Daerah) dimasukkan. Jabatan membuat para pendukung senang, apalagi menjadi direksi karena jabatan selalu diikuti dengan fasilitas. 
Tidak ada hidup yang asyik dan mengasyikkan selain hidup orang yang memiliki jabatan. Bahwa setiap jabatan selalu diikuti dengan tanggng jawab besar, itu persolan belakangan. Tanggung jawab bukan hal utama, kecakapan pun bukan prioritas. Sebab, mereka tidak punya kecakapan kecuali cerdas mendukung, meskipun cerdas bukan syarat menjadi pendukung. Syarat utama menjadi pendukung hanya "mau mengeluarkan uang", semacam investasi bagi para pemain saham, yang resikonya bisa rugi tujuh turunan.
BUMD dibuat dengan peraturan daerah memang untuk "penjara" bagi para pendukung politik agar mereka tidak berteriak. Suara para pendukung, apalagi bernada miring, tidak bagus bagi keberlangsungan kekuasaan. Mereka akan terus menggongong, meskipun tidak akan punya keberanian untuk menggigit. Sebab, Tuhan melahirkan para pendukung khusus untuk menggonggong, dan para penggonggong cocok ditaruh dalam sangkar.
Itu sebabnya, BUMD lebih banyak menjadi "beban" bagi APBD? Di sana ada kecurangan, tapi setiap orang menutup mata. Sebab, mereka yang ada di BUMD adalah para penggonggong, orang-orang yang mendukung Kepala Daerh, dan biarkan mereka dalam sangkar agar tidak mengacak-acak yang lain. 
Di tingkat nasional, kita lihat para pendukung Presiden Joko Widodo. Satu per satu dari mereka, terutama yang terlibat saat Jokowi berkampanye, mendapat jatah jabatan. Mulai dari pribadi-pribadi tertentu sampai partai politik yang berkolaborasi dengan PDI Perjuangan, mereka dapat jatah, meskipun ada yang meminta jatah khusus. 

Jangankan pendukung, Jokowi malah memberi jatah bagi lawan politiknya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Calon Presiden-Wakil Presiden dari partai Gerindra itu dikasih tempat menjadi menteri. Kita sulit membayangkan, orang yang pernah ingin jadi presiden dan wakil presiden, justru sudah sangat senang ketika menjadi pembantu presiden. 

Politik dan orang-orang yang hidup berpolitik sangat mencengangkan sekaligus mengecewakan. Semua karena jabatan, kekuasaan. Para politisi begitu mudah terkena bujuk rayu kekuasaan. 

Vaclav Havel ketika menerima  Sonning Prize pada 28 Mei 1991 untuk kontribusinya bagi peradaban Eropa punya jawaban soal itu. Havel, sang sastrawan yang pernah menjadi Presiden Cekoslowakia (periode 1989-1993) dan Presiden Republik Ceko (periode 1993-2003), menyatakan, ada tiga dorongan yang menjadikan seseorang berkeinginan kuat menggapai kekuasaan politik. 

Pertama, gagasan-gagasan lebih baik untuk mengorganisasikan masyarakat. Nilai- nilai dan ideal-ideal politik itu diperjuangkan ke dalam kenyataan sosial. 

Kedua, motivasi peneguhan diri. Kekuasaan memberikan peluang besar untuk membentuk dunia sebagaimana yang telah digambarkan dalam diri seseorang. 

Ketiga, menggapai berbagai keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan politik. 
Pada alasan inilah akan terlihat betapa kejamnya bujuk rayu kekuasaan.

Dirumuskan dalam bahasa yang lebih transparan, dorongan pertama bernama ideologi, dorongan kedua berupa cita-cita,  dan dorongan ketiga adalah oportunisme. 

Dalam perpolitikan kita, ideologi telah sirna karena ideologi tidak lebih berkedudukan sebagai label dagangan politik belaka. Mewujudkan cita-cita merupakan dorongan yang paling sering didengungkan, setidaknya fenomena ini tampak dalam sekian slogan kampanye dan iklan-iklan politik. Jargon dan iklan sekadar perkakas muslihat untuk meraih simpati massa. Dorongan ketiga lebih dominan, yakni oportunisme.

Politisi kita adalah kaum opurtunis. Mereka selalu pamrih. Memang, tidak ada makan siang gratis.

PASANG IKLAN

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes