Ekspedisi Haminjon ke Cagar Alam Sipirok: Peradaban Terbangun Karena Haminjon

Pamor haminjon sebagai primadona perdagangan sejak berabad-abad lalu semakin redup. Padahal, haminjon memiliki sejarah yang panjang sebagai salah satu komoditas dagang yang turut andil membangun peradaban manusia di Tapanuli, terutama di daerah pesisir pantai barat Pulau Sumatra. Perdagangan haminjon yang disebut kapur barus menjadi cikal-bakal terbangunnya Kerajaan Barus.


Pada Selasa, 26 Januari 2021, pagi pukul 07.00 Wib, kicau Srigunting (Dicrurus sumatranus) dari atap hutan membangunkan kami. Suara merdu yang bervariasi itu disahuti kicau kawanan sepah gunung yang mencericit dari pucuk-pucuk pepohonan, ditimpali siul panjang dan melengking dari sepasang sikatan (Cyornis rufigastra) yang meloncat di dahan-dahan di permukaan tanah. 

Pagi begitu riuh khas suasana alam asri. Sepasang burung  berwarna biru cerah terbang mendekati tenda. Burung yang dikenal sebagai selendang biru (Cyornis unicolor) meloncat-loncat bagai sengaja datang untuk membangunkan rombongan. Di kejauhan terdengar suara siamang, imbo dalam bahasa setempat. Tenda-tenda terbuka, penghuninya keluar. Kicau Srigunting kembali sahut bersahutan.

Rombongan ekspedisi berbenah. Ada yang memasak sarapan, mengumpulkan kayu bakar, memberesi tenda. Aroma kopi yang diseduh melambung ke udara. Pagi yang dingin karena hujan semalaman diiisi percakapan tentang rencana perjalanan, rute menemukan jejak tombak haminjon di dalam kawasan. 

Informasi awal diperoleh dari Burhan Dalimunte (65), warga Desa Sisundung, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan. Dia pernah tinggal bersama saudaranya di Dusun Hopong selama 10 tahun. Saat itu tahun 1970-an, dan dia sering diajak saudaranya pergi ke tombak haminjon di dalam kawasan CAS II. 

Lokasi persis tombak haminjon itu masuk dari Dusun Lumban Garaga (dusun ini sekitar dua kilometer dari Dusun Hopong), berjalan kaki sekitar lima jam perjalanan memasuki kawasan. Di dalam kawasan, ada kebun haminjon. Pohon-pohon itu sudah besar dan telah menghasilkan. 


Leluhur masyarakat Dusun Hopong (waktu itu disebut Huta Hopong) yang menanamnya. Mereka rutin pergi ke tombak haminjon untuk menyadap getah getahnya. Cara menyadap getah haminjon berbeda dengan cara menyadap getah karet. 

Pohon-pohon yang tinggi dipanjat dengan alat bantu berupa rotan. Batang itu kemudian dibersihkan dari lumut. Setelah bersih, kulit dicukil dengan sugi dan dibiarkan tetap menempel pada batang. Setelah itu kulit tersebut dipukul-pukul selebar 50-60 cm.  

Dalam satu batang haminjon dibuat bekas cukilan sebanyak tiga  baris. Penyadapan haminjon tidak bisa setiap saat dilakukan. Penyadapan dapat dilakukan saat haminjon berganti daun, saat daunnya yang telah gugur kembali rimbun dan tumbuh segar, saat itulah dilakukan penyadapan.

Setelah penyadapan, enam bulan kemudian baru bisa diambil getah haminjon. Getah itu mengumpul pada bagian kulit kayu yang dipukul-pukul. Saat panen, getah masih menempel pada kulit. 

“Pekerjaan saya saat itu membersihkan getah haminjon dari kulit sehingga bersih. Getah-getah itu yang akan dijual kepada penanpung,” katanya.

Burhan Dalimunte mengaku sudah lama tidak pergi ke Dusun Hopong, sejak saudaranya memutuskan tidak tinggal di dusun itu. Sebab itu, dia tidak tak tahu apakah tradisi tombak haminjon masih berlaku atau tidak. 

“Dulu, saya merasakan, masyarakat Dusun Hopong hidup dari menjual getah haminjon,” katanya. 

Amin Siregar mengatakan, dia belum pernah bertemu tombak haminjon di dalam kawasan CAS II. Namun, dia pernah mendengar ada masyarakat yang masih melanjutkan tradisi tombak haminjon, terutama di daerah-daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara seperti di Desa Padang Mandailing Garugur, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan. 

“Tombak haminjon itu sudah ditinggalkan warga, karena harga hamonjon tidak sebanding dengan lelah petani,” katanya. 

Tradisi tombak haminjon masih berlaku hingga hari ini di lingkungan masyarakat Batak di wilayah Utara, terutama di Kabupaten Humbang Hasundutan. Salah satu buktinya adanya pengakuan pemerintah pusat atas hutan adat tombak haminjon milik masyarakat Pandumaan Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Pengakuan berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu diberikan awal Januari 2021 lalu untuk lahan seluas 2.393 hektare.

Namun, tegakan pohon haminjon di Kabupaten Humbang Hasundutan terancam akan tergusur megaproyek pemerintah yang disebut Food Estate. Dampaknya, matapencaharian masyarakat akan tergusur sekaligus kearifan budaya lokal dalam melestarikan kawasan hutan akan terabaikan, sehingga produktivitas kemenyan menjadi menurun. 

Pengalihan fungsi lahan tombak haminjon menjadi salah satu penyebab hilangnya tradisi tombak haminjon, selain perubahan pola budidaya yang dilakukan masyarakat. 

Merujuk pada data BPS Sumatera Utara, luas tanaman dan produksi kemenyan pada 2010 mencapai 33.916,85 hektare dengan produksi 4.730,38 ton. Dalam waktu setahun, yakni pada tahun 2011, luas tanaman kemenyan menyusut jadi 23.017,42 hektare dengan produksi 4.978, 48 ton. Pada 2017, luas tanaman kemenyan 22.912,13 hektare, dengan total produksi 6.177,036 ton.

Pamor haminjon sebagai primadona perdagangan sejak berabad-abad lalu semakin redup. Padahal, haminjon memiliki sejarah yang panjang sebagai salah satu komoditas dagang yang turut andil membangun peradaban manusia di Tapanuli, terutama di daerah pesisir pantai barat Pulau Sumatra. Perdagangan haminjon yang disebut kapur barus menjadi cikal-bakal terbangunnya Kerajaan Barus.

H. Kern dalam tulisannya, Verspreide Geschriften onder Zijn Toesicht Verzameld yang dipublikasikan di The Hague: Nijhoff, Volume 6, 1917, menyebut nama kapur barus sudah ada dalam catatan Cina tentang sebuah bandar kapur barus dan kemenyan di pantai barat Sumatra yang bernama P`o-lo-chi. Kemenyan dan kapur barus dibeli oleh para pedagang yang berasal dari India Selatan, pedagang Tamil, kemudian dijual ke berbagai negara, termasuk kepada pedagang Cina. 

Selain pedagang Cina, Barus juga telah dikenal oleh para pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada abad ke-10. Mereka langsung mendatangi pantai barat untuk mencari kapur barus dan kemenyan. Pada abad ke-14 para pedagang Yahudi dari  Kairo telah berniaga ke Barus. Orang yang datang ke Barus menyebut bandar itu dengan nama yang berbeda-beda. 

Orang Aceh menyebutnya dengan Baro, yang berarti ilir. Dalam pandangan orang Aceh, negeri Barus terletak di bagian ilir daerahnya. Orang  Mesir sendiri  menyebut  Barus  sebagai Kapuradwipa dan Ophir. 

Tome Pires, pengembara dari Spanyol, seperti dikutif Denys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia II (1996), menyebut bandar Barus ramai dikunjungi para pedagang. Barus mempunyai hubungan yang erat dengan Minangkabau, baik  dengan daerah pedalaman maupun daerah pesisir, seperti Tiku dan Pariaman.

Kepopuleran Barus hanya disebabkan oleh kapur barus dan kemenyan yang dijual melalui pelabuhan lautnya. Kedua barang itu adalah jenis getah pohon kayu yang banyak tumbuh di daerah pedalaman hutan Pulau Sumatra. Dalam Archieven Cultures (Arsip Perkebunan) 1816-1900 terbitan ANRI tahun 1982 disebut, selain  kemenyan dan kapur barus yang berasal dari pedalaman Pulau Sumatra, Barus juga kaya dengan rotan, kulit manis, lada, dan sebagainya.

Semua fakta tentang sejarah Barus yang panjang telah dibuktikan oleh Claude Guillot dalam bukunya, “Lobu Tua: Sejarah Awal Barus”, setelah melakukan penggalian di situs Lobu Tua. Nama Barus pada awalnya Lobu Tua, namun setelah dipinah-pindahkan akibat kondisi alam, namanya berubah menjad Barus. 

Barus mengacu pada sejenis resin yang dihasilkan oleh pohon, dan pohon penghasil resin ini tidak ditemukan di Barus. Pohon-pohon itu berasal dari pedalaman Pulau Sumatra, daerah-daerah pegunangan, lalu dikumpulkan para pedagang hasil bumi. 

Christine Dobbin dalam bukumnya Islamic Revivalism in Changing Peasant economy central Sumatra, 1784-1847, menyebut para pedagang ini sebagai pialang pantai. Pialang pantai adalah pedagang yang menjadi perantara dalam perdagangan atau disebut makelar.

Para pedagang perantara berkembang di bandar dagang atau kota bandar, tempat bertemunya jalur dagang dari daerah pedalaman (hinterland) dan pedagang pantai. Sepanjang pantai barat Pulau Sumatra, sebagaimana ditulis William  Marsden dalam bukunya, Sejarah  Sumatra, atau seperti ditulis Jane Drakard dalam Sejarah Raja-raja Barus, Dua Naskah Dari Barus, disebut bahwa kota-kota di pantai Barat Pulau Sumatra merupakan kota dagang: Sibolga, Kolang,  Sorkam, Barus, Singkel, Natal, dan Pariaman.

Para pedagang perantara ini membawa barang berupa kain sutra, candu, garam, dan keramik ke daerah pedalaman. Kemudian mereka menukarkannya dengan hasil hutan dan barang komoditi lainnnya yang dimiliki oleh penduduk pedalaman, dan dibawa kembali ke bandar di pesisir barat. 

Sementara para pedagang asing berdiam di kota, mereka bertindak sebagai penumpuk barang yang diproduksi di daerah belakang, yang didapatkan melalui pedagang perantara. Kemudian barang tersebut diangkut apabila kapal dagang dari negaranya datang dan merapat di bandar. 

Para pedagang perantara memasuki daerah pedalaman melalui jalur darat dan sungai. Barus merupakan kota pelabuhan yang menjadi muara dari banyak sungai. Sebuah penelitian dilakukan M.C. Suprapti terhadap penyebab memudarnya Kota Barus menyebutkan, kejayaan bandar  Barus  berlangsung selama  abad  ke-17  dan  18.  Wilayah bandar  Barus  merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai: Aek Sirahar, Aek Tapus, Aek Hantu, Aek Pane, Aek Sibuluh, Aek Sibintang, Aek  Maco (Aek  Batanguar), Aek Busuk, dan Aek Sipauhat. 

Pada tahun 1678, Belanda menyerang Raja Barus dan adiknya Raja Lelawangsa menggunakan kapal perang yang didatangkan dari Padang. Sejak itu, pamor Barus sebagai kota pelabuhan berangsur-angsur runtuh. Komoditas kemenyan dan kapur barus yang diperdagangkan di Barus tidak pernah lagi muncul, karena dampak serangan Belanda memporakporandakan perekonomian dan mengubah pola kekuasaan di Barus. Para pedagang perantara tidak lagi bisa berniaga karena segala dinamika perekonomian diatur oleh Belanda yang memposisikan raja-raja sebagai kuria.

Pengambilalihan kekuasaan di Barus oleh Belanda mendapat perlawanan dari Aceh. Situasi Barus makin mencekam karena menjadi medan pertempuran. Para pedagang perantara memindahkan wilayah operasionalnya ke Sibolga. Di daerah pelabuhan ini tercatat, kemenyan dan kamper kembali diperdagangkan. Naiknya pamor Sibolga sebagai kota pelabuhan, perlahan-lahan meruntuhkan Barus sebagai kota pelabuhan. 

Hal ini mengakibatkan perubahan jalur pelayaran dan perdagangan  di  pantai  barat Tapian  Nauli.  Kapal  yang semula berlabuh  di  Barus  beralih  ke  bandar  Sibolga.  Kapal  hanya berlabuh di barus apabila volume barang yang akan di angkut memenuhi  kapasitas  palka  (ruang)  kapal.  Apabila  ridak  ada barang yang akan di muat, kapal hanya melewati perairan Barus tanpa merapat ke dermaga. Namun pada tahun 1846-1848 masih tercatat pemasukan ke Barus sebesar F. 1.264.173.89

Pantai Baroes selalu ditiup oleh angin Barat sepanjang tahun yang disebut dengan Angin Muson Samudra Hindia. Angin ini  sangat deras terutama pada bulan Desember sampai April. Angin  Muson  menyebabkan tingginya gelombang laut yang bertiup ke   pantai sehingga  terjadi  abrasi  pantai  secara terus  menerus  di desa Padang Masiang, Kedai Gadang, dan Sibintang. 

Pada mulanya pelabuhan Barus terletak di Lobutua, lebih  kurang  5  kilometer di utara Barus sekarang. Penduduk setempat  menyebut lokasi tersebut dengan Kuala Batanguar karena   penduduk pedalaman mencapainya melalui Sungai Batanguar (Aek  Maco).Pada Abad ke-17 Kuala  Batanguar berfungsi sebagai  pelabuhan  dagang, terutama rempah-rempah dan kapur barus.  

Pada abad ke-19 Pelabuhan Batanguar tidak berfungsi lagi dan tidak dapat dilayari karena adanya pengendapan yang berasal  dari hulu sungai Batanguar. Lokasi pelabuhan Barus dipindahlkan kemudian ke arah selatan sekitar 5 kilometer  dekat  pantai  desa  Kedai  Gadang. Akan  tetapi  garis pantainya curam dan selalu diterjang oleh ombak besar, terutama pada masa angin musim Tenggara pada bulan Mei-Juli. 

Akibatnya abrasi pantai tidak  dapat  dihindari  dan  laut  semakin  dekat  ke daratan tempat  pemukiman  penduduk.  Lokasi  pelabuhan  tidak mungkin dipertahankan dan akhirnya dipindahkan lagi ke tempat yang lebih aman di muara sungai Aek Batu Gerigis yang agak jauh dari pantai. 

Namun, muara sungai ini mengalami hal yang sama dengan sungai Batanguar, yakni terbentuknya endapan di muara sebagai delta yang mengakibatkan badan sungai semakin sempit. Untuk mengatasi masalah alam tersebut maka pelabuhan dipindahkan lagi ke Bopet, yang dikenal sebagai Barus sekarang.

Untuk bisa mencapai Barus, para pedagang perantara menggunakan jalur sungai, mendatangi para petani penghasil kemenyan dan kamper. Namun, belakangan, peran pedagang peranta mulai berkurang, karena masyarakat pedalaman mengambil alihnya. Menggunakan perahu tradisional yang disebut pincalang, masyarakat dari pedalaman ikut meramaikan pelayaran di sekitar Barus, baik sebagai perahu dagang maupun sebagai perahu nelayan. Pincalang  merupakan  perahu  tanpa  motor  yang  kecepatannya tergantung pada angin. (Bersambung Bagian 5: Ekspedisi Haminjon ke Cagar Alam Sipirok: Situs Arkeologi Hopong

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes